Peluang pengembangan Green Tea Powder & Matcha di Indonesia


 

Oleh M. Iqbal Prawira-Atmaja Pusat Penelitian Teh dan Kina

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya gaya hidup sehat, minat konsumen terhadap produk green tea powder (GTP) dan matcha tea powder (MTP) di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berbagai potensi manfaat kesehatan GTP dan MTP menjadikan produk-produk ini semakin diminati konsumen.

GTP dan MTP kaya akan senyawa polifenol, asam amino, serta tinggi akan aktivitas antioksidan yang baik untuk kesehatan. EGCG, EGC, ECG, dan EC adalah jenis katekin yang dapat ditemukan dalam teh hijau, GTP, dan MTP. Selain itu GTP dan MTP kaya akan serat, pigmen warna, vitamin, mineral dan juga asam organik yang memiliki manfaat kesehatan ketika mengonsumsinya (Tabel 1). 



GTP dan MTP juga dapat dengan mudah diaplikasikan pada berbagai produk pangan seperti minuman penyegar, produk sereal, produk mie, roti dan biskuit, dan es krim. Penambahan GTP/MTP pada produk pangan mampu meningkatkan aktivitas antioksidan dan serta secara signifikan mengurangi produksi peroksida selama penyimpanan produk (Ning et al. 2017). Selain itu juga dari segi kesehatan, penambahan GTP/MTP pada produk roti akan dihasilkan produk roti dengan indeks glikemik rendah.

Berdasarkan data dari Indonesia Trade Data, mayoritas kebutuhan akan GTP atau MTP di pasar domestik Indonesia masih diimpor dari Jepang, Cina, dan Taiwan. Secara umum, perdagangan GTP atau MTP diidentifikasi dengan kode HS 09022090, HS 21012090 dan HS 21069055. Saat ini sudah cukup banyak beredar produk GTP atau MTP yang diproduksi oleh industri atau petani teh lokal (UKMK). Namun, belum semua produk ini sesuai dengan preferensi konsumen lokal, sehingga masih diperlukan upaya untuk meyakinkan konsumen lokal memilih dan membeli produknya. Pemenuhan GTP atau MTP dari sumber komoditas dan teknologi lokal masih menjadi sebuah tantangan dalam pengembangan dan penetrasi produk GTP baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Perbedaan teh hijau, GTP dan MTP
Hingga kini masih banyak konsumen lokal belum dapat membedakan antara teh hijau, green tea powder (GTP), dan matcha tea powder (MTP). Secara umum, proses pengolahannya serupa, yaitu berasal dari daun teh (Camellia sinensis) dengan komposisi pucuk dan daun muda (P+1 atau P+2) dilayukan menggunakan panas untuk inaktivasi enzim Polifenol oksidase (PPO), dan dilanjutkan dengan proses pengeringan. Untuk menghasilkan GTP/MTP, maka proses dilanjutkan dengan pengecilan ukuran (milling). 

Jika dikategorikan berdasarkan pengolahannya, terdapat dua tipe teh hijau yang umum dikenal yaitu teh hijau Cina (China style) dan teh hijau Jepang (Japan style). Kedua jenis teh hijau tersebut memiliki grade, bentuk, dan ukuran yang berbeda-beda. Standard Nasional Indonesia (SNI) 3945:2016 menjadi acuan untuk produk teh hijau Indonesia. Sedangkan bubuk teh hijau didefinisikan oleh SNI 01-4453-1998 sebagai bubuk kering yang dihasilkan dari pengolahan pucuk dan daun muda tanaman Camelia sinensis tanpa melalui proses fermentasi. 

Meskipun GTP dan MTP memang tidak berbeda jauh jika dilihat dari penampakannya, keduanya sangat berbeda pada proses budidaya sebelum diolah menjadi produk bubuk. Matcha merupakan salah satu jenis green tea powder yang disajikan pada setiap kegiatan seremonial di Jepang. Matcha diproduksi dari daun teh yang telah dinaungi (bisa menggunakan paranet hitam) selama durasi waktu tertentu (minimal 20 hari) sebelum dipetik dan diolah. Proses penaungan bertujuan untuk melindungi daun teh dari paparan sinar matahari secara langsung, dan proses ini sangat menentukan kualitas matcha yang dihasilkan. Hal tersebut dikarenakan dengan proses penaungan akan meningkatkan senyawa klorofil, asam amino dan kafein, serta menurunkan kandungan katekin. 

Dalam produksi matcha, daun teh yang telah dilayukan dengan steam selanjutnya dikeringkan tanpa harus di-rolling terlebih dahulu dengan menggunakan pengering khusus yaitu “Tencha-ro” yang kemudian daun teh kering dikenal dengan nama “tencha” dan selanjutnya akan dihaluskan menggunakan stone-mill dan akhirnya produk ini diberi nama “Matcha ( ).

Saat ini, green tea powder yang dilabeli sebagai “matcha” telah banyak digunakan pada industri pangan dan juga pada berbagai produk lainnya seperti kosmetik. Lebih lanjut lagi, green tea powder (GTP) yang tidak dilabeli sebagai “matcha” juga banyak tersedia di pasaran dan banyak digunakan secara luas tidak hanya di produk pangan saja. Perbedaan antara teh hijau, green tea powder (GTP) dan Matcha disajikan pada Tabel 2.

Tantangan pengembangan GTP/MTP di Indonesia
GTP dan MTP dengan warna hijau dan memiliki rasa yang khas dikenal dengan rasa umami, serta intensitas rasa pahit dan sepat yang rendah lebih disukai oleh konsumen pada umumnya. Karakteristik mutu tersebut bisa didapatkan dari varietas dan kultivar teh yang memiliki kandungan klorofil dan asam amino yang tinggi serta rendah kandungan fenolik dan kafein. Sebagai negara produsen teh, produk GTP/MTP sangat berpotensi untuk dikembangkan oleh industri lokal di Indonesia. Ada beberapa tantangan dalam pengembangan bubuk teh hijau lokal Indonesia antara lain (i) pemilihan varietas/kultivar dan budidaya tanaman teh; (ii) teknologi milling; dan (iii) kualitas produk GTP/ MTP (penampakan warna, rasa, dan sifat fisikokimia). 

1. Pemilihan varietas/kultivar dan budidaya tanaman teh

Teh dari varietas sinensis umumnya digunakan secara luas untuk menghasilkan GTP/MTP. Varietas ini sangat umum dan banyak ditanam di negara Cina ataupun Jepang. Varietas sinensis menghasilkan GTP yang tinggi akan asam amino (theanin), memiliki rasa umami dan manis, sedikit rasa sepet, dan penampakan warna hijau cerah. Di Indonesia, varietas asamika lebih umum ditanam di perkebunan teh untuk menghasilkan produk teh hitam juga karena dikarenakan produktivitas yang tinggi. 

Pemanfaatan varietas asamika sebagai bahan baku GTP/MTP menjadi sebuah tantangan tersendiri, terutama karena rasa yang lebih sepet (astringent) dan warna cenderung yang hijau kekuningan. Penelitian kami sebelumnya, yang melibatkan beberapa klon lokal dari varietas asamika seperti GMB 3, GMB 4, GMB 7, dan GMB 9, telah dilakukan untuk mengembangkan produk GTP. Selanjutnya, penelitian oleh Manikharda dkk (2023) dari FTP UGM menggunakan naungan pada tanaman teh dari klon dari varietas asamika untuk mengembangkan matcha powder. Dalam penelitian ini, daun teh dinaungi dengan intensitas cahaya berbeda berkisar pada intensitas 50-70% selama periode tertentu sebelum dipetik dan diolah menjadi matcha powder. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penaungan pada tanamen teh varietas asamika dapat meningkatkan nilai nutrisi dan kualitas sensoris Matcha powder.

2. Teknologi milling
Proses pengecilan ukuran atau milling merupakan tahapan krusial yang menentukan kualitas mutu GTP/MTP. Proses milling bertujuan untuk menghasilkan ukuran partikel GTP/MTP yang seragam dan halus sehingga mudah dalam pengemasan dan pengaplikasian. Proses ini sangat tergantung pada jenis milling yang digunakan, suhu selama proses, dan ukuran partikel yang dihasilkan. Untuk menghasilkan matcha umumnya digunakan alat yang disebut stone-milling. Beberapa penelitian melaporkan berbagai teknologi milling yang telah digunakan untuk produksi GTP dan MTP seperti jet-milling, ball-milling, spray-drying, cyclone-milling, cryomilling, dan bead-milling.

Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK Gambung) misalnya, telah mengembangkan stone-milling berbahan dasar batu granit yang terdiri atas dua lapis yang saling berimpitan dengan diameter 90 cm, tebal 45 cm. Batu granit pada lapisan atas akan berputar searah jarum jam dengan kecepatan yang bisa atur, sementara itu batu granit di lapisan bawah dalam kondisi statis.

Teknologi yang dikembangkan ini telah dimanfaatkan oleh beberapa petani teh lokal/UMKM di Jawa Barat untuk meningkatkan mutu produk GTP/MTP yang mereka hasilkan. Sebelumnya, para petani teh lokal/ UMKM umumnya menggunakan disc-mill yang biasa digunakan untuk menghaluskan biji kopi. Penggunaan disc-milling tentu saja berpengaruh terhadap kualitas produk GTP/MTP

3. Kualitas Produk GTP/MTP
Tantangan pengembangan selanjutnya adalah mencapai kualitas keseragaman ukuran partikel dan warna pada produk GTP/MTP. Kualitas GTP dan MTP umumnya akan ditentukan dari sifat fisikokimianya. Sifat fisik melibatkan ukuran partikel, warna, kemampuan terdispersi (dispersibility) dan kemudahan mengalir (flowability). Sementara itu, sifat kimia di GTP dan MTP mencakup senyawa bioaktif seperti senyawa fenolik (katekin), asam amino, klorofil, alkaloid (kafein), dan polisakarida.
 
Ukuran partikel dan warna menjadi parameter mutu utama yang pertama kali dinilai oleh konsumen. Ukuran partikel dipengaruhi oleh jenis milling yang digunakan dan lama waktu proses milling. GTP dan MTP yang halus memiliki ukuran partikel berkisar antara 1-20 µm. Mesin stone-milling yang dikembangkan PPTK Gambung mampu menghasilkan GTP dengan ukuran partikel lebih kecil dan halus (d50: 1,4 µm). Ukuran partikel yang kecil dan halus dapat meningkatkan dispersibility, densitas, flowability, dan luas permukaan yang semuanya mempengaruhi sifat kimia GTP dan MTP. 

Selanjutnya, warna juga merupakan parameter mutu utama pada produk GTP/MTP yang akan mempengaruhi persepsi konsumen. Secara umum, Konsumen lebih menyukai GTP dan MTP dengan warna hijau (deep green) dibandingkan warna hijau kekuningan (dull yellowish green). Warna GTP/MTP dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pemilihan kultivar teh dan budidayanya, teknologi milling yang digunakan, lama durasi proses milling, serta keseragaman dan ukuran partikel yang dihasilkan. 

Proses miliing sangat berpengaruh terhadap kecerahan warna produk GTP/MTP. Selama proses pengecilan ukuran GTP/MTP, terjadi gesekan antara produk dan permukaan milling sehingg terjadi peningkatan suhu. Peningkatan suhu ini dapat memicu degradasi klorofil pada GTP/MTP, sehingga warna produk yang dihasilkan cenderung hijau kekuningan. Beberapa faktor yang menyebabkan degradasi klorofil antara lain sensitif terhadap cahaya, suhu tinggi, dan pH. Selain itu juga, ukuran partikel turut berpengaruh terhadap kecerahan warna GTP/MTP. Menurut Hu et al. (2012) semakin kecil ukuran partikel dari GTP/ MTP maka akan meningkatkan nilai kecerahan (L) dan menurunkan nilai warna hijau (-a). 

Prospek pengembangan GTP/ MTP di masa depan
Indonesia sebagai negara salah satu produsen teh sangat berpotensi memproduksi GTP dan MTP untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Hal ini terlihat sudah banyak beredar di pasaran produk GTP/MTP yang diproduksi oleh industri/UMKM dalam negeri. Pengembangan GTP/MTP di Indonesia menghadapi tantangan dalam pemilihan bahan baku, teknologi pengolahan, dan pemeliharaan kualitas produk.

Upaya penelitian dan inovasi di bidang ini menjadi kunci untuk memenuhi preferensi konsumen dan meningkatkan daya saing produk lokal di pasar Pemanfaatan varietas asamika sebagai bahan baku pembuatan GTP/MTP memiliki keuntungan dengan tingginya senyawa bioaktif seperti katekin. Namun, dari aspek cita rasa dan visual produk akhir dari varietas asamika masih perlu dikaji lebih lanjut, terutama dari pemilihan kultivar/klon yang sesuai serta segi aspek budidaya (on-farm). Potensi dari berbagai kultivar/klon dari varietas asamika dan varietas sinensis yang telah dikembangkan oleh peneliti Indonesia dapat memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan produk GTP/MTP.

Pengembangan teknologi milling yang efisien dan ekonomis yang mampu menghasilkan produk GTP dan MTP yang berkualitas masih menjadi tantangan yang harus segera dicarikan solusinya bersama. Khususnya teknologi yang bisa diadopsi dan digunakan oleh kelompok tani teh atau UMKM. Hal ini berkaitan dengan nilai investasi, biaya produksi, dan juga nilai jual ekonomis produk GTP/MTP.

Kandungan senyawa bioaktif yang tinggi dalam GTP dan MTP menjadikannya bahan yang berpotensi untuk dikembangkan dalam produk pangan fungsional, kosmetik, dan farmasetikal. Ke depannya, diperlukan studi yang intensif untuk perluasan pasar GTP dan MTP lokal dengan dukungan informasi mengenai kualitas sifat fisikokimia produk GTP dan MTP serta klaim manfaat kesehatannya. 

Pentingnya peningkatan dan pembaruan standar acuan SNI 01- 4453-1998 tentang teh hijau bubuk menjadi bagian terpenting dalam mendukung pengembangan produk GTP/MTP nasional yang terjamin ketertelusurannya. Pembaharuan standar pada SNI 01-4453-1998 diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk GTP dan MTP lokal sehingga bisa memiliki daya saing dengan produk impor. 

Sebagai penutup, Pengembangan GTP dan MTP di Indonesia tidak hanya berkontribusi pada keberlanjutan industri teh, tetapi juga membuka peluang baru dalam ekonomi lokal dan industri kreatif. Melalui upaya bersama (Kolaborasi antara pemerintah, industri, UMKM, lembaga penelitian/universitas), diharapkan dapat mendorong kemajuan dan keberlanjutan dalam pengembangan produk GTP dan MTP serta dapat mengoptimalkan potensi Indonesia sebagai negara produsen GTP/MTP yang berkualitas dan kompetitif.

Referensi 
Koláčková, T., Kolofiková, K., Sytařová, I., Snopek, L., Sumczynski, D., & Orsavová, J. (2020). Matcha Tea: Analysis of Nutritional Composition, Phenolics and Antioxidant Activity. Plant Foods for Human Nutrition, 75(1), 48–53. https://doi.org/10.1007/s11130-019- 00777-z.

Luo, Y., Zhang, Y., Qu, F., Qian, W., Wang, P., Zhang, X., Zhang, X., & Hu, J. (2023). Variations of main quality components of matcha from different regions in the Chinese market. Frontiers in Nutrition, 10(March), 1–13. https://doi.org/10.3389/fnut.2023.1153983.

Manikharda, Shofi, V. E., Betari, B. K., & Supriyadi. (2023). Effect shading intensity on color, chemical composition, and sensory evaluation of green tea (Camelia sinensis var Assamica). Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences, 22(7), 407–412. https://doi.org/10.1016/j.jssas.2023.03.006.

Prawira-Atmaja, M. I., Harianto, S., Shabri, Maulana, H., & Rohdiana, D. (2018). Physical Characteristics of Green Tea Powder Processed by Disc and Stone Mills. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, 29(1), 77–84. https:// doi.org/10.6066/jtip.2018.29.1.77.

Ye, J. H., Fang, Q. T., Zeng, L., Liu, R. Y., Lu, L., Dong, J. J., Yin, J. F., Liang, Y. R., Xu, Y. Q., & Liu, Z. H. (2023). A comprehensive review of matcha: production, food application, potential health benefits, and gastrointestinal fate of main phenolics. Crit Rev Food Sci Nutr, 1-22. https://doi.org/10.1080/10408398.2023 .2194419.

 

Artikel Lainnya

  • Okt 04, 2024

    Jual Produk Non-Halal, Jasa Retailer Tetap Wajib Sertifikasi Halal

    Sertifikat halal untuk jasa retailer memberikan persepsi yang beragam di masyarakat. Sebagian memahami bahwa sertifikasi halal jasa retailer oleh LPH bukan berarti seluruh produk yang dijual sudah dipastikan halal. Sebagian lainnya beranggapan bahwa sertifikat halal pada jasa retailer menandakan kehalalan seluruh produk di dalamnya. Hal ini patut menjadi perhatian serius agar salah paham yang ada di masyarakat tidak terus mengakar.  ...

  • Okt 03, 2024

    Inovasi Ingridien Pangan: Tren & TANTANGAN

    Peningkatan populasi global yang pesat, ditambah dengan dampak perubahan iklim seperti gagal panen dan penurunan produktivitas pertanian, telah memicu krisis pangan global yang semakin mendesak.   ...

  • Okt 03, 2024

    ALLPACK Indonesia 2024 Siap Diselenggarakan

    Perkembangan industri pangan di Indonesia terus meningkat dan terus tumbuh di tahun 2024 ini, yang terbukti hingga triwulan pertama tahun 2024, struktur PDB industri non-migas didominasi oleh industri makanan dan minuman sebesar 39,91%, atau 6,47% dari total PDB Nasional. Sejalan dengan itu, industri pengemasan pangan. ...

  • Okt 02, 2024

    FOOMA akan Hadir di ALLPACK 2024

    The Japan Food Machinery Association (FOOMA) akan hadir dalam paviliun khusus di pameran akbar Allpack Indonesia yang akan berlangsung di JIEXpo Kemayoran Jakarta pada 9-12 Oktober 2024. Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan, seingga FOOMA bermaksud menginformasikan daya tarik mesin-mesin produksi pangan dari Jepang.  ...

  • Okt 02, 2024

    Klarifikasi LPPOM Soal Viralnya Penamaan Produk Halal “Wine” dan “Beer”

    Dalam sepekan ini, media sosial ramai memberitakan terkait dengan produk pangan dengan penamaan "tuyul", "tuak", "beer", dan "wine" yang mendapat sertifikat halal. Hal ini tidak sesuai dengan ketetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat disertifikasi Halal. Pada rilis persnya (01/10/2024), BPJPH menegaskan dua hal.   ...