Status Kesehatan Konsumen Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia baru saja merilis hasil terbaru dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Riset berbasis masyarakat ini bertujuan untuk menyediakan informasi indikator pembangunan kesehatan dengan menggunakan sampel rumah tangga yang mewakili wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Menurut siaran pers yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, tujuan dari Riskesdas 2013 adalah menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di berbagai tingkat administrasi. Selain itu, penyediaan peta status dan masalah kesehatan di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Termasuk juga informasi perubahan status kesehatan masyarakat yang terjadi dari tahun 2007 sampai 2013.
Tujuan lainnya adalah untuk membandingkan status kesehatan dan faktor yang melatarbelakangi antar propinsi dan kabupaten/kota, juga menilai disparitas wilayah kabupaten/kota menggunakan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)serta mengkaji korelasi antar faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan status kesehatan.
Penyakit degeneratif
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan beberapa prevalensi penyakit degeneratif di Indonesia. Penyakit jantung koroner berdasarkan wawancara menurut provinsi menunjukkan angka prevalensi sebesar 1,5% pada populasi umur lebih dari atau sama dengan 15 tahun. Sedangkan prevalensi penyakit stroke adalah 12,1 per seribu penduduk. Hal ini berdasarkan jawaban responden, baik yang pernah didiagnosis oleh tenaga kesehatan maupun dari gejala yang pernah dirasakan. Sedangkan prevalensi untuk penyakit diabetes mellitus (DM) pada populasi umur lebih dari atau sama dengan 15 tahun berdasarkan wawancara, baik menurut hasil diagnosis dokter maupun gejala, mencapai 2,1%, meningkat 1% dari tahun 2007. Data lain dari sumber yang sama juga menyebutkan, prevalensi tumor/kanker di Indonesia adalah 1,4 per 1000 penduduk.
Data ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang menyukai gaya hidup bermalas-malasan (sedentari), dengan aktifitas fisik yang kurang. Belum lagi ada data yang menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah masyarakat Indonesia setiap harinya masih sangat rendah.
Stunting
Indonesia saat ini juga masih menghadapi masalah dengan rendahnya status kesehatan dan gizi masyarakat. Salah satunya ditunjukkan dengan tingginya prevalensi anak pendek (stunting). Data Riskedas 2013 menunjukan balita di Indonesia mempunyai tinggi badan di bawah standar yang ditetapkan atau stunting. Prevalensi pendek pada balita meningkat dari 35,7% (2010) menjadi 37,2% (2013). Anak pendek sejatinya bukan hanya persoalan fisik, tetapi kondisi fisik anak menggambarkan adanya masalah gizi kronis. Masalah ini muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik. Kerusakan yang diakibatkan oleh ‘anak pendek’ tidak dapat diubah (irreversible). Dalam jangka panjang, ‘anak pendek’ akan berdampak pada rendahnya kecerdasan, kemampuan fisik dan produktifitas anak pada masa yang akan datang.
Untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat, peran industri sangat diperlukan. Melihat kondisi status kesehatan masyarakat, penyediaan pangan yang dapat mendukung kesehatan merupakan peluang yang besar bagi Industri. Karena tak hanya pemenuhan kebutuhan zat gizi makro, pemenuhan akan zat gizi mikro juga dinilai sangat penting untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat Indonesia. Fitria
Referensi
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Dasar Kesehatan 2013.
Artikel ini diterbitkan di majalah FOODREVIEW INDONESIA edisi Februari 2014. Artikel lainnya dapat dibaca di di sini