Dari data Badan Statistik menunjukkan konsumsi protein daging di Indonesia sangatlah rendah. Tahun 2009 hanya 2,2 kg per kapita per tahun (lihat Tabel 1). Bandingkan dengan Malaysia 46,87 kg, Filipina 24,46 di mana Indonesia sangat jauh ketinggalan. Diproyeksikan konsumsi daging Indonesia pada 2011 ini adalah 2.7 kg.
Selain karena GDP yang rendah, mahalnya harga produk turut mempengaruhi tingkat konsumsi per kapita.
Tantangan lainnya adalah kondisi geografis Indonesia yang terdiri banyak pulau. Pendistribusian dan pemasaran produk daging olahan menjadi kendala tersendiri. Baik dari segi biaya maupun risiko kerusakan produk -mengingat produk daging olahan sangat mudah rusak karena suhu.
Belum lagi Indonesia terdiri dari barbagai macam suku, yang jenis makanan, pola masak dan pola makan sangat beragam. Sehingga dibutuhkan aneka produk yang bisa diterima oleh konsumen.
Dengan mempertimbangkan tantangan tersebut, sangat penting bagi industri daging untuk menghasilkan produk yang enak, murah, aman dikonsumsi, tahan lama, mudah diproduksi dan didistribusi, dijangkau, menarik konsumen, dan yang penting DIBUTUHKAN, DISAMBUT DICINTAI KONSUMEN, dan membuat produsen untung.
Tantangan inovasi yang utama adalah memperoleh bahan baku daging, dan bahan protein pengganti daging -baik cara perolehannya maupun jenis produknya.
Untuk jenis bahan pengganti daging banyak tersedia produk yang berasal dari kedelai seperti ISP (Isolated Soya Protein), SCP (Soya Concentrated Protein) HVP (Hydrolyzed Soya Protein), TVP (Texturized Soya Protein) dan meat analog yang lain.
Penggunaan bahan-bahan ini membutuhkan kecermatan dalam aplikasinya karena akan mempengaruhi tekstur, aroma dan rasa produk, sehingga diperlukan bumbu-bumbu yang tepat untuk menutupi aroma kedelai yang terkadang masih ada. Formulasi mencari bahan yang tepat untuk memenuhi protein tetapi dengan harga yang terjangkau membutuhkan ketrampilan dan pengalaman tersendiri.
Tantangan inovasi selanjutnya adalah bagaimana membuat produk yang enak, disukai konsumen, sesuai dengan kebutuhan konsumen, harga terjangkau. Sehingga dibutuhkan teknologi kuliner (kulinologi), teknologi pengemasan, teknologi pengawetan dan tak kalah penting adalah consumer research.
Ethnology consumer research belakangan juga mulai sering dilakukan oleh industri besar untuk menjawab tantangan tersebut. Dengan mengetahui perilaku sehari-hari konsumen bisa tercipta produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.Inovasi produk yang baru diluncurkan oleh Madusari Kimbo Kitchen adalah 3 rasa yaitu bolognese, semur daging dan kari ayam ditujukan untuk memenuhi tantangan yang telah disebutkan.
Produk ini dirancang untuk konsumen yang sibuk, konsumen yang ingin rasa enak, mudah disajikan, mudah disimpan karena tanpa pendingin, dan bisa dibawa bawa bepergian. Produk tersebut diolah menggunakan teknologi retort.
Teknologi retort merupakan salah satu metode pengawetan yang cukup populer dalam industri olahan daging saat ini.
Metode pengawetan lain yang sudah lama tetapi implementasinya masih sangat sedikit adalah teknologi iradiasi dan High Pressure Pasteurisation. Hal ini dikarenakan konsumen masih memiliki anggapan “negatif” terhadap iradiasi, dan prosesnya masih mahal.
Sementara itu, untuk kemasan dingin, teknologi pengawetan banyak dilakukan dengan vacuum pack yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Saat ini juga sudah ada teknologi Modified Atmosphere Packaging yaitu dengan menambahkan gas CO2, nitrogen untuk mengurangi oksigen dalam kemasan, sehingga mikroba sulit berkembang.
Selain itu ada pula produk inovasi pengawetan dengan menambahkan oksigen absorber pada kemasan, baik vacuum maupun MAP.
Oleh : Trisilowati
Mitindo Foods
(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Maret 2011)