Rural Industrialization: Solusi Pengembangan Industri Pangan 2010


 

Kondisi perekonomian Indonesia di tahun 2009 masih lebih baik, tumbuh positif dibanding negara-negara lain, baik di Eropa, Amerika ataupun beberapa negara Asia lain. Sebagai contoh, pada kuartal II 2009 lalu, perekonomian Indonesia tumbuh 4,2%. Pertumbuhan tersebut terutama dikontribusikan oleh sektor transportasi dan komunikasi. Adapun untuk pertanian, pertumbuhannya 2,7%. Hal ini disebabkan fondasi ekonomi Indonesia cukup kuat. Adanya fondasi yang kuat itulah, maka diperkirakaan perekonomian Indonesia di tahun 2010 akan tumbuh 5%, 2011 6,2%, 2012 6,6% dan 2013 sebesar 7,2%.

Industri pangan diperkirakan akan tetap tumbuh dengan baik. Hal ini dipicu oleh antara lain karena laju pertumbuhan penduduk yang berarti perlu suplai pangan, dan juga karena adanya perubahan demografi penduduk. “Indonesia dan penduduk Asia pada umumnya memiliki indeks harapan hidup yang makin baik. Hal ini merupakan pangsa pasar tersendiri bagi industri pangan, karena penduduk seperti itu mempunyai daya beli kuat, sekaligus memerlukan produk pangan yang lebih berkualitas, lebih bergizi dan aman,” kata Direktur MB IPB Arief Daryanto. Perubahan demografi juga terlihat dari makin banyaknya penduduk berusia muda yang lebih menyukai produk pangan olahan seperti snack, bakery, minuman dalam kemasan, serta produk olahan lainnya. Hal ini menjadi tantangan khusus bagi para pelaku industri pangan untuk menyediakan produk pangan sesuai dengan permintaan pasar tersebut.

Makin banyaknya masyarakat urban juga telah memacu pertumbuhan industri pangan. Hal ini disebabkan kebutuhan masyarakat perkotaan ternyata berbeda dengan pedesaan. Mereka memiliki pendapatan yang terus meningkat, sehingga daya beli pun bertambah. Mereka juga menyukai produk pangan yang dikemas, praktis dan mudah dalam penanganannya. Pasangan usia muda yang sama-sama bekerja menyebabkan seorang istri tidak memiliki waktu yang cukup untuk memasak di dapur. Maka, memasak masakan yang sudah diolah atau makan di luar rumah menjadi gaya hidup masyarakat urban saat ini.

Tantangan lain industri pangan adalah saat ini masih begitu banyak hasil pertanian Indonesia yang dalam bentuk komoditi. ”Hal yang terjadi saat ini adalah, Indonesia mengekspor banyak produk segar, dan terlalu banyak produk pangan yang belum diproses,” kata Arief. Tantangan itulah yang harus dijawab oleh pelaku industri pangan untuk memproses produk segar menjadi produk olahan yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri.
Produk pangan yang diolah disamping memiliki nilai lebih juga menciptakan lapangan kerja baru di dalam negeri. ”Contohnya adalah biji kopi yang dijual dalam bentuk komoditi harganya berkisar US $ 2 per kg. Jika telah disangrai, harganya menjadi US $ 10 per kg, dan jika telah diberi merek dan dikemas dengan baik, harga naik dua kali menjadi US $ 20 per kg. Harga tersebut berlipat menjadi 5 kali jika kopi dijual dalam kafe bergengsi dengan aneka fasilitas, mejadi rata-rata US $ 100 per kg,” urai Arief. Contoh lain dari produk yang naik harganya karena telah diolah terlebih dahulu adalah singkong yang berupa komoditi dijual rata-rata Rp 300-450 per kg, ketika dijual dalam bentuk olahan seperti Modified Cassava Flour (MOCAF) harganya berlipat menjadi Rp. 4000-4500 per kg.

Disinilah peran pemerintah, pelaku bisnis dan para ahli (peneliti) perlu bersinergi untuk menciptakan suatu rural industrialization yang dapat menciptakan nilai tambah bagi produk pertanian. Rural industrialization merupakan industri yang berbasis di pedesaan, mendekatkan sumber bahan baku industri pangan dan sumber daya manusia yang sebagian besar berada di pedesaan. Hal ini sekaligus dapat menggerakkan ekonomi pedesaan, karena sebanyak 41% dari tenaga kerja ada di pedesaan, di sektor pertanian. Di satu sisi, kontribusi pertanian terhadap Gross Domestic Product hanya 13%. Dengan kerjasama sinergi pemerintah, peneliti dan pelaku bisnis, maka rural industrialization akan terwujud, dan pertumbuhan industri pangan pun dapat lebih dipacu lagi. Saran lain dari Direktur MB IPB ini yakni pemerintah harus secara rutin dan terus-menerus melakukan promosi untuk menggunakan produk pangan lokal. ”Kita bisa ambil pengalaman dari Cina yang gencar mempromosikan produk pangan mereka, sehingga tercipta heroic consumption. Promosi ini berupa upaya-upaya untuk meningkatkan jiwa kepahlawanan dan kebanggaan masyarakat karena mengonsumsi produk pangan domestik,” tutur Arief. Hal ini bisa dilakukan di Indonesia, dan ia mengingatkan, jika masyarakat tidak dididik untuk menggunakan produk pangan lokal, masyarakat akan berorientasi pada produk dari luar negeri, juga lebih menyukai mengonsumsi rokok dan pulsa dibanding produk pangan lokal. Fri-08



(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Januari 2010)

Artikel Lainnya

  • Apr 11, 2025

    Pameran Food+Beverage Indonesia dan Indonesia Seafood & Meat (IISM) 2025 Siap Digelar

    Sektor makanan dan minuman di Indonesia kini memasuki era baru, di mana inovasi, keberlanjutan, dan kolaborasi bisnis mulai memainkan peran utama dalam membentuk masa depan industri ini. Dalam perkembangan pesat ini, Food+Beverage Indonesia 2025 hadir untuk mendorong pertumbuhan bisnis,  ...

  • Mar 30, 2025

    Reformulasi Minuman: Inovasi berbasis Ingridien Fungsional Indonesia

    Diskusi mengenai reformulasi minuman berpemanis sering mengacu pada laporan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO) tahun 2022 yang mengulas dampak kesehatan dari Pemanis NonGula (Non-Sugar Sweeteners/NSS) (Rios-Leyvraz and Montez, 2022).  ...

  • Mar 28, 2025

    Reformulasi Minuman: Ragam Strategi Pengurangan Kadar Gula

    Pemerintah menerbitkan PP 28 (2024) tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan pada 26 Juli 2024. Kebijakan itu untuk menjawab sejumlah tantangan kesehatan, salah satunya kandungan gula, garam, dan lemak (GGL). ...

  • Mar 26, 2025

    Performa Sensoris Beragam Pemanis Non-sukrosa

    Reformulasi minuman menjadi salah satu intervensi penting dalam upaya pengurangan konsumsi gula pasir (sukrosa) dan gula-gula dengan nilai glikemik tinggi seperti glukosa, fruktosa, dan lakotosa. Langkah formulasi ini diharapkan berkontribusi dalam mengurangi risiko obesitas dan penyakit diabetes. Pemanis non-sukrosa seperti pemanis rendah atau tanpa kalori, memainkan peran sentral dalam reformulasi ini, memungkinkan terciptanya produk minuman dengan rasa manis yang tetap nikmat namun dengan kandungan gula dan kalori yang jauh lebih rendah. ...

  • Mar 21, 2025

    RTD ALOE VERA FUNGSIONAL RENDAH GULA

    Permintaan terhadap produk pangan fungsional mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya gaya hidup sehat. Dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi peningkatan signifikan dalam kasus penyakit yang disebabkan oleh pola konsumsi yang kurang sehat, seperti Diabetes Melitus (DM) yang semakin umum ditemukan, bahkan pada populasi usia muda. ...