More than 7,000 different compounds were identified and found in some 400 foodstuffs. Hundreds of these indigenous flavor compounds are isolated as natural flavor that used in food industry. Chemosynthesis of artificial flavor offends the consumers that tend to choose the safer ‘natural’ flavor. Extraction and isolation of flavor compounds from plant is one way to produce ‘natural’ flavor compounds which more expensive than chemosynthesis of artificial flavor. Involving biotechnology in production of flavor may reduce the high expense spent to recover the flavor from plant. Industrial application of biotechnology through gene expression, mutagenesis, whole-cell bio-catalysis, and others fermentation processes could find biocatalitic process to produce ‘natural’ flavor compounds. Use of the technology wisely gives cheaper process and safe products.
Senyawa flavor (aroma dan citarasa) sangat penting dan turut menentukan perkembangan industri makanan dan minuman. Senyawa tersebut menentukan sifat organoleptik yang merupakan salah satu atribut mutu makanan/minuman dan menentukan pasar produk tersebut. Ada dua kelompok flavor, yaitu kelompok senyawa indigenus (indigenous flavor) dan kelompok senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam produk makanan/minuman. Senyawa flavor indigenus berasal dari bahan baku makanan itu sendiri atau terbentuk di dalam makanan selama proses pengolahan. Sampai sekarang dilaporkan sedikitnya 7.000 senyawa flavor ditemukan di dalam 400 jenis bahan pangan (www.axxence.de). Kelompok senyawa flavor yang kedua adalah senyawa flavor yang sengaja ditambahkan untuk memperbaiki mutu sensoris (flavor) makanan atau minuman tersebut. Senyawa flavor ini termasuk ke dalam bahan tambahan makanan. Kelompok senyawa ini ada yang ‘alami’ (natural) dan sintetis/artificial. Senyawa flavor ‘alami’, sering juga disebut dengan bio-flavor, merupakan senyawa yang dihasilkan dari ekstraksi tanaman/hewan atau diproduksi secara mikrobiologis. Jenis flavor ini sering diperdagangkan dalam bentuk crude flavor maupun pure flavor. Flavor sintetis merupakan senyawa yang dibentuk secara kimia. Senyawa flavor sintetis mempunyai sifat sensoris yang sama dengan senyawa flavor ‘alami’.
Penggunaan senyawa flavor oleh industri pangan ditujukan untuk memperkuat flavor produk atau untuk membentuk flavor produk yang spesifik yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu sensoris produk tersebut. Selain itu, produksi flavor juga disesuaikan dengan keinginan konsumen. Bahkan sekarang ini ada kecenderungan konsumen menginginkan satu flavor dapat digunakan pada lebih dari satu jenis makanan. Secara umum, produksi jenis flavor oleh industri pangan dilakukan melalui pertimbangan mutu, ekonomi, dan keinginan konsumen, sehingga penelitian-penelitian flavor juga mengarah pada, selain nilai ilmiah, nilai ekonomis produk dan keinginan konsumen.
Gambar 1. Sintesis vanillin dari eugenol dengan menggunakan bakteri Pseudomonas sp. HR 199 yang dimodifikasi secara genetic. Enzim yang relevan terlibat diperlihatkan dengan nama gennya ada dalam lingkaran oval
(Schrader et al., 2004).
Dengan demikian hasil-hasil penelitian flavor haruslah sesuai dengan kebutuhan industri dan pada akhirnya untuk kepuasan konsumen. Penggunaan senyawa flavor sintetis sering masih menjadi pilihan industri pangan karena lebih murah dibandingkan dengan senyawa flavor ‘alami’.
Dekade belakangan ini, perkembangan penggunaan senyawa flavor mengarah pada penggunaan senyawa flavor ‘alami’ karena kekhawatiran konsumen akan bahaya penggunaan senyawa flavor sintetis. Meningkatnya kepedulian konsumen terhadap keamanan dan kesehatan menyebabkan meningkatnya permintaan akan penggunaan senyawa flavor ‘alami’. Dampak terhadap kesehatan sudah menjadi pertimbangan industri flavor maupun industry makanan/minuman yang banyak menggunakan senyawa flavor. Selain berfungsi untuk memperbaiki flavor produk, senyawa flavor ‘alami’ sering mempunyai fungsi kesehatan lain (Berger, 2009), seperti sebagai:
• Antimikrobial (vanillin, komponen minyak atsiri),
• Antifungal dan antiviral (beberapa senyawa alkanolida),
• Antioksidan (vanillin, eugenol dan lain-lain).
• Pengatur tekanan darah (2-[E]-hexenal), atau
• Bahan anti-inflammatory (1,8-cineole).
Peningkatan permintaan akan senyawa flavor ‘alami’ memacu penelitian-penelitian flavor yang mengarah pada produksi flavor ‘alami’ dengan biaya yang lebih rendah. Produksi senyawa flavor melalui proses biokatalis dalam industri sudah mulai dilakukan untuk mengatasi menurunnya permintaan senyawa flavor yang diproduksi secara kimia.
Peran Bioteknologi
Dewasa ini pemanfaatan bahan ‘alami’ yang berhubungan dengan makanan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Label ‘‘alami’’ (‘natural’) merupakan label yang ampuh digunakan untuk memasarkan produk yang dibutuhkan konsumen. Produk ‘alami’ dipercaya aman untuk dikonsumsi, bahkan produk tersebut termasuk ke dalam GRAS (generally recognized as safe) sehingga aman untuk dikonsumsi. Produksi senyawa flavor dari ekstrak tanaman, proses biokatalis maupun penerapan rekayasa genetik terhadap tanaman maupun ekspresi gen ke dalam sel bakteri atau yeast sudah mulai dilakukan secara komersial. Beberapa produk senyawa flavor yang diproduksi secara komersial dapat dilihat pada Tabel 1.
Untuk memperoleh senyawa flavor yang ‘alami’, ekstraksi dan isolasi senyawa flavor dari tanaman banyak dilakukan oleh industri flavor. Senyawa flavor ini mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa flavor sintetis. Kesulitan ekstraksi atau destilasi terjadi apabila kandungan senyawa flavor yang rendah, sehingga tidak dapat dilakukan produksi senyawa flavor dengan cara ekstraksi dan destilasi yang sederhana. Dengan demikian, diperlukan teknologi dengan biaya yang lebih tinggi untuk mengekstrak dan mengisolasi senyawa flavor tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengarah pada teknik rekayasa genetik terhadap tanaman untuk dapat menghasilkan komponen flavor yang lebih tinggi atau mengekspresikan gen yang bertanggungjawab terhadap produksi flavor itu sehingga dapat diproduksi secara mikrobiologis dengan produktivitas yang tinggi. Teknik modern biologi molekuler dan rekayasa proses, seperti ekspresi gen, mutagenesis, biokatalis dengan menggunakan sel mikroba (whole-cell biocatalysis) dan proses rekayasa lainnya, dapat menghasilkan lebih banyak proses biokatalisis untuk produksi senyawa flavor (Schrader et al., 2004). Aplikasi biokatalisis secara industri untuk produksi senyawa flavor ‘alami’ dapat dilakukan untuk produksi vanillin, Ύ-decalactone, asam-asam karboksilat, senyawa C6 aldehyda and senyawa alcohol, senyawa ester dan 2-phenylethanol. Dalam reviewnya Rabenhorst et al. membahas keterkaitan bioteknologi dengan aplikasi industri senyawa flavor tersebut.
Produk senyawa flavor melalui proses menggunakan sel mikroba maupun rekayasa genetik bersaing dengan proses produksi dengan ekstraksi langsung dari tanaman. Beberapa pertimbangan yang diperlukan untuk penerapan bioteknologi dalam proses produksi senyawa flavor adalah gabungan antara pertimbangan ilmiah dan komersial, seperti:
• Senyawa flavor bernilai tinggi yang terkandung di dalam tanaman yang tidak mungkin dilakukan dengan cara ekstraksi atau destilasi klasik,
• Bahaya produk kemosintesis, konsumen merasa lebih aman mengkonsumsi produk ‘‘alami’’. Sebagai contoh: di Eropa 90% senyawa flavor yang digunakan di dalam produk minuman adalah senyawa ‘‘alami’’ (80% di US) (Berger, 2009),
• Biokatalis sangat selektif (chemo-, regio-, stereo- ), dan
• Biokatalis diterima sebagai proses yang ‘alami’ (white biotechnology).
Glutamat dalam bentuk monosodium glutamate (MSG) merupakan salah satu produk senyawa penguat flavor (flavor enhancer) yang sudah banyak dan umum diproduksi di berbagai negara. Sebagian besar produk ini diproduksi secara mikrobiologis melalui fermentasi bahan yang mengandung gula menjadi glutamate dengan menggunakan bakteri (Corynebacterium glutamicum). Di Indonesia
*Berger, 2009; aKemungkinan dapat berasal dari proses bioteknologi;
Berasal dari ekstrak tanaman; cTidak ditemukan di alam.
beberapa perusahaan MSG menggunakan tetes (molase) tebu sebagai substrat dalam proses produksi glutamat. Dengan proses rekayasa genetika dan rekayasa medium pertumbuhan bakteri tersebut dapat memproduksi glutamat dalam jumlah yang banyak.
Banyak senyawa flavor yang sedang diteliti untuk bisa dikembangkan dan diaplikasikan pada proses industri. Vanillin merupakan salah satu senyawa flavor yang dapat dikembangkan untuk diproduksi secara mikrobiologis. Vanillin dapat diproduksi dengan mengekstrak buah vanili. Ekstraksi vanillin dari buah vanili memerlukan biaya yang tinggi, sehingga produksi vanillin sintetik masih tinggi. Setiap tahun diproduksi lebih dari 10.000 ton vanillin secara kimia. Hal ini dipicu oleh permintaan vanillin yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut survey perkembangan produk baru 2012 (2012 New Products Development Survey) yang dipublikasikan oleh Zegler (2012), penggunaan flavor vanillin menduduki 10 besar dan terjadi peningkatan penggunaan (9%) dari tahun 2010 untuk produk minuman. Peningkatan 9% ini sama dengan peningkatan flavor apel dan peningkatan ini paling tinggi dibandingkan dengan flavor lain yang digunakan untuk minuman.
Akibat permintaan flavor vanillin yang tinggi dan terus meningkat, maka usaha produksi vanillin secara mikrobiologis terus diteliti untuk dapat dikembangkan agar biaya
produksi vanillin dapat lebih murah, setidaknya biaya produksi sama dengan proses sintesis kimia. Proses produksi secara bioteknologi didasarkan pada biokonversi asam ferulat, isoeugenol atau eugenol dengan mengaplikasikan bakteri, fungi atau mikroorganisme lain yang direkayasa secara genetika. Mikroorganisme yang sedang diteliti secara intensif adalah Amycolatopsis sp. dan Pseudomonas sp. Bakteri Pseudomonas sp. dapat mengkonversi eugenol melalui asam ferulat menjadi vanillin. Dengan mengganggu gen vdh (vanillin dehydrogenase) bakteri tersebut dapat mengkonversi eugenol menjadi vanillin (lihat Gambar 1). Eugenol merupakan substrat yang murah dan mudah diperoleh di Indonesia. Karena proses ini melibatkan organism yang dimodifikasi secara genetik (genetically modified organism/GMO), maka diperlukan penelitian yang intensif agar produk vanillin yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi.
Keamanan Produk Bioteknologi
Faktor kesehatan masih menjadi prioritas konsumen dalam memilih makanan. Penggunaan bahan-bahan alami dalam proses produksi makanan mempunyai pangsa pasar yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Demikian pula penggunaan senyawa flavor ‘alami’ masih menjadi pilihan masyarakat sebelum memilih senyawa flavor sintetis. Permintaan konsumen terhadap senyawa flavor alami merupakan salah satu faktor pemicu meningkatnya keinginan industri minuman menggunakan flavor alami dalam produknya (Zegler, 2012).
Proses bioteknologi yang dapat diaplikasikan dalam proses industri produksi flavor meliputi proses ekstraksi dan isolasi langsung dari tanaman, isolasi senyawa flavor dari proses fermentasi, dan menggunakan mikroorganisme yang dimodifikasi secara genetik dalam proses produksi senyawa flavor. Ekstraksi dan isolasi senyawa flavor langsung dari tanaman atau melalui proses fermentasi merupakan proses yang biasa dilakukan, bahkan sudah dilakukan secara tradisional secara turun-temurun. Dengan demikian proses ini dapat menghasilkan senyawa flavor yang aman untuk digunakan di industri pangan dan termasuk GRAS. Kombinasi antara proses fermentasi dan ekstraksi senyawa flavor dapat meningkatkan produksi senyawa flavor. Dalam hal ini, proses fermentasi dapat memaksimalkan recovery senyawa flavor pada saat proses ekstraksi.
Senyawa flavor yang diproduksi secara mikrobiologis yang menggunakan GMO masih menjadi perdebatan antara pro dan kontra. Namun demikian, perkembangan bioteknologi yang mengarah pada biologi molekuler begitu pesat dewasa ini. Perkembangan ini menyebabkan berkembangnya makanan transgenik atau makanan yang mengandung ingredien transgenik, termasuk flavor. Pengembangan produk flavor dengan proses yang menggunakan GMO perlu mempertimbangkan aspek kesehatan dari produk tersebut. Penggunaan teknologi secara bijaksana akan menghasilkan proses produksi yang lebih murah dan produk yang aman.
Referensi
• Berger, R.G. 2009. Biotechnology of flavor – the next generation. Biotechnol. Lett. 31: 1651-1659.
• Krings, U. and Berger, R.G. 1998. Biotechnological production of flavors and fragrances. Appl. Microbiol. Biotechnol. 49: 1-8.
• Schrader, J., Etschmann, M.M.W., Sell, D., Hilmer, J.M. and Rabenhorst, J. 2004. Applied biocatalysis for the synthesis of natural flavour compounds –current industrial processes and future prospects. Biotechnol. Lett. 26: 463-472.
• Zegler, J. 2012. 2012 new product development survey. Beverage Industry, January 2012: 56-66
Nyoman Semadi Antara, Ph.D.
Professor on Food and Agroindustrial Technology
Laboratory of Bioindustry
Faculty of Agricultural Technology, Udayana University
Panjang waktu (time horizon) yang dilibatkan dalam proyeksi permintaan dan pasokan dalam siklus Sales and Operations Planning (S&OP) dapat bervariasi tergantung pada sifat industri, karakteristik produk, dan kebijakan perusahaan.
...
Kerusakan pangan merupakan kondisi di mana suatu produk pangan mengalami perubahan yang signifikan sehingga tidak lagi aman atau layak untuk dikonsumsi. Hal ini dapat berupa perubahan penampilan, tekstur, aroma, rasa maupun nilai gizi.
...
Label pada kemasan pangan olahan yang kita temui di warung, toko, pasar, atau platform online, memiliki peran penting. Label ini, yang bisa berupa stiker, cetakan langsung pada kemasan, atau bagian dari kemasan itu sendiri, berfungsi memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen. Informasi tersebut meliputi nama produk, komposisi bahan, tanggal produksi, tanggal kedaluwarsa, serta keterangan lainnya yang dibutuhkan. Konsumen berhak mengetahui sejelasjelasnya kondisi produk pangan yang dikemas sehingga memberikan rasa aman saat membeli dan/atau mengonsumsi pangan olahan.
...
Kemasan pangan telah berevolusi menjadi elemen penting dalam strategi pemasaran produk pangan. Desain kemasan yang menarik dan informasi yang jelas pada label secara signifikan memengaruhi keputusan konsumen dalam memilih dan membeli produk pangan.
...