Tempe merupakan warisan kuliner khas Indonesia yang telah dikenal di tingkat manca negara, khususnya untuk para vegan. Di Indonesia, tempe merupakan komponen makanan yang rutin disajikan pada berbagai menu makanan Indonesia khususnya yang berasal dari Jawa atau Bali. Karena relatif murah, memiliki nilai gizi yang tinggi, dan dapat dikonsumsi dalam jumlah tak terbatas, tempe telah menjadi sumber protein andalan bagi sebagian penduduk Indonesia. Meskipun demikian yang membedakan tempe dengan kedelai rebus atau tempe asal manca negara dan yang menjadi nilai keutamaan tempe Indonesia adalah kandungan jasad renik atau mikroorganismenya. Kandungan mikroorganisme pada tempe pada dasarnya tergantung pada cara pembuatan laru tempe, bahan baku yang digunakan, dan cara atau gaya produksi yang terkait dengan nilai budaya setempat.
Semua tempe yang diproduksi secara komersial di Indonesia melalui fermentasi polimikrobial. Rhizopus sp., khususnya R. oligosporus merupakan kapang yang umum dijumpai pada sebagaian besar laru tempe komersial, meskipun spesies Rhizopus lain juga dapat ditemukan pada sejumlah laru tempe yang lebih terbatas distribusinya. Disamping itu juga ditemukan berbagai jenis khamir dan bakteri. Hal ini terutama karena sifat laru, sumber bahan baku, teknik produksi atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Akibatnya, tempe Indonesia merupakan pangan fermentasi yang amat kaya dengan komunitas mikroba yang unik dan beragam. Satu gram tempe dapat mengandung sampai satu triliun bakteri. Jumlah dan ragam mikroorganisme yang terlibat dalam fermentasi tempe ini memberikan pengaruh pada tekstur dan cita rasa khas tempe. Oleh karena itu, konsumen tempe yang berpengalaman dapat membedakan kelompok tempe dengan sistem produksi khas daerah seperti tempe Malang, Yogyakarta, Pekalongan, atau Jember. Bahkan tempe yang dibungkus daun pisang memiliki bakteri lipolitik lebih banyak daripada tempe yang dibungkus plastik.
Komunitas mikroba tertentu, seperti keberadaan galur galur Klebsiella pneumoniae dan Enterobacteriaceae lain, dapat memberi kontribusi penting pada nilai unik gizi tempe seperti produksi vitamin B12. Kedelai pada dasarnya tidak mengandung vitamin B12. Meskipun demikian, tempe Indonesia dikenal sebagai makanan nabati yang relatif kaya akan vitamin yang hanya dapat disintesis oleh bakteri ini. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tempe yang dibuat “terlalu bersih atau aseptik” malah tidak mengandung vitamin B12. Tingkat kematangan (tingkat semangit atau “kebosokan tempe”) juga mempengaruhi jumlah bakteri penghasil vitamin B12 pada tempe. Selain itu, komunitas mikroba tersebut juga memberikan nilai probiotik atau para-probiotik pada tempe yang berperan dalam peningkatan sistem imunitas, atau supresi alergi dan asthma pada manusia. Beberapa mikroorganisme penting pada fermentasi tempe Indonesia, seperti Klebsiella pneumoniae, sangat mirip dengan bakteri sejenis yang patogen pada manusia. Bahkan jika hanya digunakan analisis sekuen 16S rRNA, maka hampir semua isolat koliform dan dapat menggunakan sitrat ini akan teridentifikasi sebagai Klebsiella peneumoniae. Meskipun demikian dalam sejarahnya tidak pernah ada laporan tentang asosiasi konsumsi tempe dengan penyakit radang paru-paru atau pneumoniae pada manusia. Penelitian pendahuluan kami menggunakan Enterobacterial Repetitive Intragenic Concensus Polymerase Chain Reaction (ERICPCR) juga menunjukkan bahwa secara genetik, galur-galur Klebsiella pneumoniae asal tempe Indonesia berada pada kelompok yang berbeda dari isolat-isolat Klebsiella pneumoniae patogen manusia.
Oleh Prof. Antonius Suwanto
Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor, dan Anggota Komisi Ilmu Rekayasa, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Selengkapnya artikel ini dapat dibaca di majalah FOODREVIEW INDONESIA edisi Januari 2015, yang dapat diunduh di www.foodreview.co.id