Miskomunikasi dalam Dunia Pangan Indonesia


Beberapa tahun lalu, publik Indonesia dihebohkan dengan munculnya berita tentang penelitian yang menyebutkan adanya pencemaran bakteri Enterobacter sakazakii dalam beberapa merek susu formula bayi di Indonesia. Panik, takut, histeris bahkan over reacted ditunjukkan oleh para ibu akibat berita ini. Karena hal ini pula Pemerintah dituntut cepat untuk membuktikan kebenaran kabar tersebut. Padahal, informasi tersebut seharusnya bisa terdengar dan disampaikan dengan tepat dan lebih baik kepada masyarakat dan ibu-ibu khususnya.

Informasi bisa disalahtafsirkan atau ‘tercemar’ selama informasi tersebut ‘berjalan’ dari sumber hingga penerima. Proses penyampaian informasi ini sudah pasti melibatkan media, dan terkadang media menginformasikan hal yang kurang berimbang. Media dinilai lebih banyak menginformasikan mengenai bahaya atau hazard dari suatu pemberitaan mengenai pangan daripada mengabarkan tentang resiko-nya (risk). Karena hal ini, Indobic bekerjasama dengan International Food Information Council Foundation (IFIC) menggelar acara bertajuk “Media Workshop on Communicating Food Science” yang mengundang para pekerja media, untuk dapat lebih akurat menulis berita mengenai food science atau pangan.

Prof. Dedi Fardiaz seorang peneiti dari SEAFAST Center IPB mengatakan, “banyak kesalahpahaman yang berkaitan dengan ilmu pangan yang terlanjur beredar di masyarakat,” ujar Prof. Dedi. Contoh pertanyaan seperti, BTP apa yang digunakan untuk mengawetkan susu dalam kemasan tetrapak? Atau apakah produk pangan iradiasi mengandung zat radioaktif, masih sering ditemui Prof Dedi ketika mengahadiri seminar, diskusi atau training. Lain lagi pernyataan-pernyataan seperti, “formalin adalah bahan tambahan pangan yang dilarang” dan “Bahan pengawet adalah zat pemicu kanker” juga masih sering terdengar di berbagai media, “padahal seharusnya formalin adalah bahan kimia yang dilarang digunakan dalam pangan, dan bukan BTP,” jelas Prof. Dedi.

Kimberly Reed, Executive Director dari IFIC juga menyarankan agar media lebih akurat dalam menyampaikan berita, “carilah narasumber yang memang tahu dan ahli dalam bidang tersebut. Lakukan studi ilmiah jika diperlukan,” saran Kimberly. Ita

Artikel Lainnya