
Oleh Endang Yuli Purwani
Pusat Riset Agroindustri, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional
Produk bakeri seperti roti, bolu, mafin, dan biskuit merupakan pangan populer karena praktis dan disukai berbagai usia. Namun, produk ini umumnya tinggi karbohidrat, gula, dan lemak dengan serat dan vitamin yang cenderung rendah. Hal ini menjadikan produk bakeri konvensional kurang ideal, bahkan berpotensi bermasalah, bagi individu dengan kondisi kesehatan khusus seperti penderita diabetes, penyakit celiac, Autism Spectrum Disorder (ASD), maupun mereka yang membutuhkan dukungan untuk kesehatan psikis.
Kesadaran masyarakat terhadap adanya hubungan antara konsumsi pangan dan kesehatan mendorong reformulasi produk bakeri menjadi bakeri fungsional. Klaim adanya manfaat kesehatan atau terapi kesehatan diatur di Perka BPOM No.1/2022. Adapun kontribusinya untuk terapi psikis diperoleh melalui aktivitas pembuatan roti, sebagaimana bukti empiris terkini yang dipublikasi di Journal of Applied Research in Quality of Life, Maret 2025.
Dasar pembuatan rerotian
Formula rerotian fungsional pada dasarnya sama dengan rerotian konvensional. Bahan utama yakni tepung, lemak, dan gula perlu diracik secara cermat dan tepat agar dihasilkan adonan dan kualitas rerotian yang diharapkan. Tepung (khususnya terigu) memberi struktur elastis melalui gluten yang berperan penahan gas saat pengembangan adonan. Peran gluten digantikan oleh hidrokoloid seperti xanthan gum jika tepung terigudigantikan oleh tepung lainnya. Lemak menjadikan rerotian bertekstur lembut dan beraroma, gula berkontribusi pada pengembangan adonan selama proses fermentasi, dan warna pada waktu pemanggangan. Sayangnya, lemak dan gula kurang bersahabat pada kondisi tertentu sehingga perlu dikurangi atau digantikan dengan bahan lain namun tetap memberikan hasil optimal.
Riset membuktikan bahwa lemak, gula dapat dikurangi hingga 30% dengan kualitas rerotian yang diterima konsumen. Margarin bisa digantikan dengan minyak biji matahari (tinggi oleat). Pemanis stevia, maltitol dan sejenisnya sering digunakan sebagai pengganti gula. Penambahan serat biasanya tidak lebih dari 2%. Terlalu banyak serat mengakibatkan adonan kurang elastis, waktu pengembangan lebih lama dan kurang stabil. Komponen bioaktif seperti polyphenol dapat menambah manfaat kesehatan, misalnya antioksidan. Hal yang harus diperhatikan adalah memastikan komponen aktif stabil pada suhu tinggi.
Pemanggangan pada suhu tinggi (180–220°C) memicu reaksi kimia seperti Maillard, karamelisasi, dan termolisis yang menghasilkan senyawa volatil pembentuk aroma khas roti. Senyawa seperti furan, pirazin, maltol, dan lakton menyebar di udara dan ditangkap oleh reseptor penciuman, sehingga menciptakan persepsi aroma “roti hangat”.
Rerotian fungsional untuk gizi spesifik
Rerotian padat gizi sangat diperlukan untuk penanggulangan stunting (kondisi gagal tumbuh pada anak-anak). Rerotian diformulasi untuk membantu pertumbuhan, memperbaiki sistem imun tubuh, dan nafsu makan anak. Bahan lokal seperti serealia, kacang, dan buah digunakan bersama fortifikasi protein (tepung kacang hijau, hidrolisat protein) serta zat gizi mikro seperti zinc (Zn). Produk dibuat lunak dan bercita rasa menarik seperti mafin dan biskuit lembut.
Penderita diabetes membutuhkan rerotian dengan indeks glikemik (IG) rendah agar kadar glukosa darahnya tidak cepat melonjak tinggi setelah konsumsi rerotian. Berdasarkan nilai IG, bahan pangan dikategorikan menjadi IG tinggi (>70), sedang (56–69) dan rendah (<55). Bahan dengan IG rendah seperti tepung singkong, pisang, dan beras amilosa tinggi dapat menjadi pilihan bahan bakunya, sedangkan pemanis (stevia, sukralosa, dan lain-lain) sebagai pengganti gula. Produk seperti kreker dari tepung pisang kapok terbukti memiliki IG <55. Rerotian bebas gluten bebas kasein (Gluten-Free Casein-Free: GFCF) diperlukan oleh penyandang ASD (Autism Spectrum Disorder). Hal ini berkaitan dengan enzim dipeptidil peptidase IV (DPP-IV) yakni enzim yang berperan dalam pencernaan kasein dan gluten. Jika aktivitas enzim tersebut terganggu, maka kasein dan gluten tidak tercerna sempurna. Akibatnya, opioid terakumulasi di otak yang berdampak pada kehilangan kontrol sehingga terjadi gerakan berulang. Individu dengan ASD juga menunjukkan tingkat stres oksidatif yang lebih tinggi akibat rendahnya kadar antioksidan seperti glutathione. Rerotian untuk terapi ASD dirancang untuk mendukung kebutuhan gizi spesifik, menghindari bahan pemicu, dan meningkatkan fungsi neurologis serta pencernaan. Tepung terigu/gandum digantikan oleh campuran aneka tepung misalnya tepung beras, tepung sorghum, tepung jagung dan sebagainya. Adapun kasein dapat digantikan oleh hidrolisat protein kedelai, ikan dan lainnya. Formula diperkaya dengan lemak tinggi omega-3, tambahan serat/prebiotik, vitamin B, dan zat gizi mikro lainnya digunakan untuk memenuhi magnesium, dan komponen bioaktif. Rerotian Gluten Free, Celiac Disease (GFCF) komersial sudah tersedia dan mudah didapat meski harganya lebih mahal dari produk bakeri konvensional.
Rerotian fungsional bebas gluten (Gluten Free: GF) dibutuhkan oleh penderita penyakit celiac (Celiac Disease: CD). Bagi penderita CD, konsumsi gluten memicu respon imun yang merusak vili usus kecil. Pada kondisi normal, vili memiliki struktur utuh, panjang, rapat sehingga permukaannya luas dan mampu menyerap zat gizi. Selain itu, mukosa usus juga sehat. Sebaliknya, pada penderita CD, vilinya mengalami atrofi (pendek, rata, cacat) sehingga luas permukaannya berkurang dan mengakibatkan gangguan penyerapan zat gizi. Penderita CD harus menjalani diet bebas gluten sangat ketat.
Rerotian fungsional untuk terapi psikis
Terapi psikis dengan rerotian fungsional didapatkan dari pengalaman multisensoris mulai dari mencampur bahan, membuat adonan hingga memanggang rerotian. Pengalaman multisensoris (aroma, suara, visual) menjadi faktor kunci peningkatan suasana hati. Aspek sensoris paling berpengaruh adalah aroma, adonan, suara (mikser), dan penampilan visual irisan roti.
Aroma roti yang dipanggang bermanfaat secara fungsional bagi kesehatan jiwa karena dapat memicu respon emosional positif, menenangkan sistem saraf, dan membangkitkan kenangan atau perasaan nyaman. Aroma merupakan stimulus sensoris langsung ke otak, khususnya ke sistem limbik yang mengatur emosi, memori dan motivasi. Ketika seseorang mencium aroma roti hangat maka terjadi aktivasi pada amigdala (regulasi stres dan ketakutan) sehingga perasaan aman, nyaman, dan bahagia meningkat.
Aroma makanan panggang, termasuk roti mampu menurunkan kadar kortisol (hormon stres), meningkatkan relaksasi otot dan memberikan efek seperti aroma terapi alami. Aroma yang dihasilkan saat pemanggangan mengandung senyawa maltol dan furfural, di mana keduanya berkontribusi pada rasa hangat dan tenang. Aroma makanan bermanfaat untuk merangsang ingatan positif (terutama pada lansia/demensia). Pemanggangan roti sering berkaitan dengan masa kecil, rumah, dan kasih sayang. Hal tersebut berdampak pada penguatan stabilitas emosional, identitas diri, bahkan interaksi sosial. Hal ini menjadikan aktivitas membuat roti sebagai bentuk terapi non-medis yang efektif untuk kesehatan jiwa. Reformulasi rerotian diperlukan agar rerotian dapat menjadi bagian dari terapi kesehatan melalui terapi gizi spesifik maupun terapi psikis. Hal ini perlu dukungan riset dan inovasi yang baik serta kepedulian masyarakat.
Referensi:
Tianyi Zhang1 · Maciej Chmara2 · Charles Spence. Eudaimonia in Sourdough: Understanding Well‑Being in the Sensory Experiences of Artisanal Activities. Applied Research in Quality of Life (2025) 20:685–707. https://doi.org/10.1007/s11482-025-10430-4
Zarzycki, P.; Wirkijowska, A.; Pankiewicz, U. Functional Bakery Products: Technological, Chemical and Nutritional Modification. Appl. Sci. 2024, 14, 12023. https://doi.org/10.3390/app142412023