Aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin yang banyak dijumpai di kacang tanah dan jagung. Aflatoksin terutama dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus, A. parasiticus, dan A. nomius yang banyak dijumpai di daerah tropis. Paling tidak ada 4 jenis aflatoksin didasarkan pada fouresensinya dengan sinar UV, yaitu B1 dan B2 (yang memberikan warna biru) serta G1 dan G2, yang memberikan warna hijau. Namun demikian, apabila aflatoksin B dikonsumsi oleh sapi atau hewan ruminansia yang lain, makan aflatoksin B, akan dikonversi menjadi aflatoksin M1 dan M2 yang tingkat bahayanya lebih rendah dibanding bentuk awalnya. Dampak negatif aflatoksin pada kesehatan tubuh adalah cukup signifikan, berbagai laporan menyebutkan bahwa aflatoksin bersifat karsinogenik dan teratogenik, dan konsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin konsentrasi rendah secara terus-menerus dapat merusak hati serta menurunkan sistem kekebalan pada tubuh.
Regulasi yang mengatur tentang cemaran aflatoksin, tertuang dalam SK Kepala BPOM tertanggal 9 September 2004, yang menyebutkan bahwa batas maksimum pada kacang tanah dan produk pangan adalah 20 ppb untuk AFB1 dan 35 ppb untuk total aflatoksin. SNI 7385-2009 tentang mikotoksin pada bahan pangan juga telah dikeluarkan tahun ini, batasan maksimum untuk cemaran aflatoksin pada kacang tanah dan produk olahannya untuk AFB1 adalah 15 ppb sedang AF total adalah 20 ppb. Dibandingkan dengan batasan cemaran aflatoksin yang diatur melalui SK Kepala BPOM 5 tahun yang lalu, maka batasan maksimum di 2009 adalah lebih ketat. Eropa merupakan negara yang memiliki batasan maksimum cemaran aflatoksin paling ketat dibanding negara-negara lain, seperti terlihat dari Gambar 1, yaitu untuk AFB1 adalah 5 ppb.
Aflatoksin pada
berbagai produk kacang
Salah satu produk kacang adalah kacang garing, yang diproses dengan dioven. Ditinjau dari proses pengolahannya, kacang garing (yang masih berupa kacang utuh, kacang polong) aman dari cemaran aflatoksin. Kacang segar setelah dipanen langsung dibawa ke pabrik pengolah kacang dalam waktu kurang dari dua hari. Kacang segera diproses melalui beberapa tahapan, yaitu pertama kali dilakukan pencucian untuk menghilangkan tanah yang masih banyak menempel pada kulit, dilanjutkan dengan blanching (perebusan) untuk inaktivasi enzim-enzim serta membunuh mikroorganisme termasuk spora-spora jamur. Proses berikutnya adalah pengeringan untuk menurunkan kadar air sampai dengan 7%. Kacang berkulit dengan kadar air 7% dengan penyimpanan yang baik, praktis akan terhindar dari serangan jamur, termasuk jamur penghasil aflatoksin. Berdasarkan pengalaman salah satu pabrik pengolah kacang terbesar di Indonesia, kacang berkulit dengan kadar air rendah ini apabila disimpan dalam cool storage (sekitar 10°C), dapat bertahan sampai dengan satu tahun, namun apabila pada suhu ruang hanya mampu bertahan sampai dengan 3 bulan. Kacang garing yang dihasilkan dengan meng-oven kacang sampai dengan kadar air mencapai 1%, jarang menghadapi problem terkait dengan cemaran aflatoksin. Kacang yang kadar airnya dikendalikan tetap rendah, terhindar dari pertumbuhan jamur Aspergillus flavus maupun A. parasiticus penghasil aflatoksin.
Produk pangan lainnya yang berbasis kacang yaitu kacang atom dan sejenisnya, bumbu pecel, enting-enting gepuk, dan lain sebagainya yang menggunakan kacang ose (kacang yang telah dikupas kulitnya) sebagai bahan dasar.
Di level petani dan pengepul, dengan fasilitas pengering yang masih sangat terbatas, menyebabkan cemaran aflatoksin berdasarkan survei yang dilakukan ternyata masih cukup tinggi. Cemaran ini ternyata juga muncul pada produk pangan berbasis kacang seperti pada bumbu pecel, enting-enting gepuk, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, di dalam tulisan ini akan dikupas berbagai cara untuk melakukan deteksi aflatoksin yang dapat dipraktekkan di lapangan sebagai salah satu cara untuk menerapkan sistem manajemen mutu pada level pasca panen. Cara sortasi untuk memisahkan kacang yang telah tercemar aflatoksin juga akan disampaikan secara ringkas.
Ciri-ciri kacang tanah
yang baik
Kacang tanah yang baik dan rendah aflatoksin, dicirikan dengan biji kering, mengkilat dan utuh. Adapun tanda-tanda biji yang diduga tercemar dengan aflatoksin, ciri-cirinya adalah sebagai berikut: telah mengalami kerusakan fisik, biji terbelah, kulit ari mengelupas, warna biji kusam. Muncul pertumbuhan jamur di permukaan kacang, menyebabkan kacang memiliki warna yang sesuai dengan spora jamur yang dihasilkan, hijau, hitam, coklat. Seperti nampak pada Gambar 2, 3, dan 4.
Kacang tanah kadang saat di panen bijinya belum terbentuk secara penuh, setelah dikeringkan menjadi keriput (Gambar 2), namun selama kulit arinya masih utuh dan pengeringan bijinya berlangsung cepat dan biji tetap dipertahankan dalam kondisi kering ternyata kadar aflatoksinnya dapat ditekan. Serangan jamur penghasil aflatoksin diawali saat biji mengalami kerusakan fisik, biji yang terbelah (Gambar 3) atau terluka (Gambar 4) lebih mudah terinfeksi oleh jamur.
Tulisan berikutnya akan dibahas beberapa metoda deteksi dan sortasi yang ditujukan untuk mendapatkan kacang yang rendah aflatoksin untuk keperluan aplikasi di lapangan. Beberapa alasan penting dilakukan deteksi adalah sebagai berikut :
- dapat digunakan untuk membantu upaya pengendalian masalah yang terkait dengan cemaran aflatoksin;
- dapat digunakan untuk penentu kebijakan / regulator;
- bagi industri dapat digunakan sebagai landasan penerimaan bahan baku yang akan diolah ataupun untuk memenuhi persyaratan produk yang akan dipasarkan;
- lebih jauh ke depan mencegah terjadinya aflatoksikosis yang umumnya bersifat kronis.
Sesuai dengan keperluannya, deteksi cemaran dapat dilakukan:
- di lapangan salah satunya sebagai referensi awal untuk mengetahui apakah bahan baku memenuhi persyaratan untuk dikirim atau diterima pabrik. Oleh karena ditujukan untuk keperluan langsung di lapangan maka peralatannya mudah dibawa, sederhana, tidak memerlukan ketrampilan pelaksana tinggi, dan hasil deteksi cepat serta telah dikembangkan untuk batasan level cemaran tertentu (’cut-off’).
- di laboratorium secara rutin untuk menentukan cemaran aflatoksin yang terdapat pada bahan selama proses pengolahan dan produk. Peralatan yang dipergunakan bersifat permanen (analisa kimiawi), tingkat ketepatan dan keakuratan yang relatif tinggi serta mampu dipergunakan untuk menangani sampel bersifat komplek karena melalui tahapan purifikasi sampel sehingga memerlukan tingkat ketrampilan pelaksana tinggi dan kecepatan hasil deteksi relatif lebih lama dibandingkan metode yang digunakan di lapangan.
Hal penting yang perlu diingat dalam pemilihan metode deteksi adalah didasarkan pada prinsip ’fit to purpose’, sehingga pemilihan yang tepat akan menghasilkan hasil analisa dengan presisi, akurasi, dan keterulangan serta faktor ’recovery’ yang tinggi.
Kemajuan teknologi menghantarkan metode peneraan dengan prinsip immunologi menjadi ujung tombak pengembangan analisa cepat pada sejumlah bahan pangan untuk deteksi aflatoksin dan mikotoksin lain. Pengembangan ini dimulai dengan pemilihan antibodi sebagai faktor pengikat analit (aflatoksin / mikotoksin lain) yang bisa berupa monoklonal ataupun poliklonal antibodi. Faktor pengidentifikasi immunologinya berdasarkan pada sejumlah sisi gugus spesifik (untuk aflatoksin yaitu bagian dihidrofuran atau cincin siklopentanon) dari antigen terhadap antibodinya. Oleh karena target dari antibodi adalah suatu gugus spesifik senyawa kimia dan bukan antigen, maka senyawa lain yang memiliki kesamaan gugus spesifik tersebut juga akan berinteraksi dengan antibodi. Kemungkinan terjadinya reaksi silang ini perlu menjadi dasar dalam menginterpertasikan data dan pemilihan antibodi yang selektif menjadi penentu dalam pengidentifikasian analit yang diinginkan.
Berikut ini beberapa contoh metoda deteksi cepat dari pelbagai merek dagang yang dapat digunakan di lapangan untuk membantu para petani kacang / industri mengevaluasi proses pasca panen yang berlangsung yaitu :
1. Agri-Screen for Aflatoxins (Neogen)
Produk ini diperuntukkan mendeteksi cemaran total aflatoksin (AFB1, B2, G1, dan G2) dalam waktu sekitar 5 menit pada pelbagai bahan pangan di antaranya jagung, gandum, beras, kacang, dan produk olahannya.
Prinsip yang dipergunakan adalah ’competitive direct ELISA’ yaitu aflatoksin dalam sampel dan kontrol akan berkompetisi dengan konjunggat (enzyme labeled toxin) terhadap sisi aktif antibodi dalam suatu ’mixing well’. Hasil analisis sampel akan dibandingkan melalui pewarnaan dengan standar / kontrol yang telah disediakan dalam paket ’kit’ yang memiliki konsentrasi 20 ppb.
Apabila sampel memiliki intensitas warna biru yang lebih rendah dari kontrol maka dapat dideteksi bahwa sampel tersebut memiliki tingkat cemaran yang lebih tinggi dari kontrol (sampel >20 ppb). Demikian pula sebaliknya bila intensitas warna biru dari sampel lebih tinggi dari kontrol maka dideteksi sampel memiliki tingkat cemaran lebih rendah dari 20 ppb.
2. AgraStrip Aflatoxin Test (Romers Lab)
Produk ini dapat dipergunakan untuk menentukan cemaran aflatoksin total dalam waktu 5 menit pada produk bijian, serealia dan telah divalidasi untuk sampel jagung, kacang, beras, tepung beras, tepung gandum, almond dan pistachio.
Sedikit berbeda dengan metoda sebelumnya, antibodi dilapiskan pada membran berwujud ‘strip’ yang terdiri dari zona kontrol dan tes (juga dikenal sebagai ‘dipstick’). AgraStrip Aflatoxin Dipstick Test ini merupakan suatu metode analisis immuno-kromatografi menggunakan satu aliran lateral pada ‘strip’ yang memiliki nilai ‘cut-off’ (4, 10, dan 20 ppb). Kompleks antibodi – partikel dilarutkan dan dicampur dengan ekstrak sampel, kemudian dikembangkan pada membran selama 5 menit.
Sampel positif dengan konsentrasi aflatoksin lebih besar atau setara dengan nilai ‘cut-off’ tidak akan memberikan visualisasi garis pada zona tes. Apabila satu garis di zona tes sampel muncul maka diinterpertasikan bahwa sampel tersebut negatif dengan konsentrasi lebih rendah dari nilai ‘cut-off’. Sementara visualisasi garis akan selalu muncul pada zona kontrol yang mengindikasikan adanya senyawa aflatoksin pada sampel. Metode ini merupakan salah satu metode yang relatif cepat karena penentuan sampel negatif akan segera diketahui dalam 1 menit setelah muncul 2 garis pada strip. Apabila tidak muncul garis pada zona control maka hasil analisis dinyatakan ‘invalid’.
3. Aflacard B1 dan Total (R-Biopharm Rhone)
Produk ini memiliki kesamaan prinsip dengan produk sebelumnya dan terdapat dua jenis yaitu dapat digunakan khusus aflatoksin B1 dan aflatoksin total dengan nilai ambang batas minimum 4 ppb.
Tahapan yang dilakukan yaitu mengaplikasikan konjugat aflatoksin pada membran dan mencuci konjugat kemudian dilakukan pewarnaan lalu inkubasi 5 menit. Apabila terjadi warna ungu pada membran maka mengindikasikan sampel tersebut negatif, sebaliknya bila tidak terjadi perwarnaan diartikan memiliki tingkat peneraan di atas sesuai yang dimiliki produk ini (5, 10, 15, 20, dan 30 ppb). Sementara pada zona kontrol selalu muncul warna ungu sebagai konfirmasi analisis dilakukan dengan benar.
4. AflaCheck (Vicam)
Prinsip yang digunakan dalam produk ini serupa dengan kedua produk tersebut di atas, namun perbedaannya yaitu dalam preparasi sampel lebih sederhana dibandingkan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya di lapangan hanya diperlukan ekstraksi dengan air, dapat dilakukan analisa langsung dalam 3 menit, dan memiliki tingkatan nilai peneraan 10 dan 20 ppb.
Salah satu metode cepat yang saat ini juga sedang dikembangkan yaitu inspeksi dengan prinsip fluoresen yang muncul dari biji tercemar oleh jamur penghasil aflatoksin. Berdasarkan dengan prinsip tersebut pengembangan peralatan sederhana untuk deteksi dini dan cepat didesain untuk menyeleksi bahan pangan yang memiliki potensi tercemar aflatoksin.
Umumnya dilakukan di bawah kondisi gelap disinari ultraviolet dengan rentang panjang gelombang yang pendek yang akan mendeteksi refleksi energi dari partikel sampel yang teriluminasi dengan memberikan warna fluoresen kuning ataupun kuning - kehijauan. Untuk keperluan di lapangan, prinsip ini sangat membantu para petani kacang untuk mengetahui tingkat distribusi cemaran jamur penghasil aflatoksin pada hasil panennya, namun demikian pendekatan secara kualitatif belum bisa dilakukan. Salah satunya alternatifnya, tentu bisa dilakukan dengan mengkolaborasikan metoda deteksi cepat tersebut dalam tulisan sebelumnya.
Namun demikian sering dijumpai bahwa kurang dari separuh sampel yang berfluoresen pada kondisi tersebut di atas memiliki hasil analisis dengan tingkat terdeteksi aflatoksinnya. Lebih jauh lagi, sampel yang berfluoresen lebih terang dapat memiliki tingkat cemaran yang lebih rendah dibanding sampel dengan fluoresen lemah. Kondisi tersebut menunjukkan hambatan bahwa metode deteksi menggunakan sinar UV dengan rentang panjang gelombang yang pendek relatif sukar dipergunakan. Terlebih respon fluoresen cukup lemah dan korelasi dengan kenyataan tingkat cemaran jamur juga rendah. Berdasarkan tantangan tersebut suatu industri yang bergerak di bidang analisa mikotoksin mengembangkan teknologi ‘multiple laser optic’ yang mampu mendeteksi dan sekaligus mensortasi keberadaan aflatoksin pada suatu aliran proses pengolahan.
Produk alat sortasi ini menggunakan prinsip pengukuran struktur dan peneraan biji dengan spektrum warna merah, hijau, dan biru. Ayakan pengumpan sampel mendistribusikan biji -
bijian secara seragam, selanjutnya biji tersebut jatuh di zona inspeksi. Dalam zona inspeksi ini pelbagai ragam biji dan materi asing yang ada akan dibandingkan struktur dan warnanya dengan biji standar (referensi) menggunakan laser. Seluruh biji yang berada pada zona inspeksi akan ditera dari pelbagai sisi dengan menggunakan 8 laser pada saat yang sama. Saat melewati zona inspeksi tersebut, signal yang dihasilkan dari refleksi laser segera dievaluasi. Dalam beberapa milidetik kemudian biji yang rusak dan terdeteksi cemaran aflatoksin segera dipisahkan dari aliran bahan.
Produk ini relatif baru diperdagangkan, sejauh informasi yang diperoleh memiliki nama dagang ‘BEST DETOX™ Aflatoxin Laser Sorter’ dan telah diuji cukup berhasil dalam menyeleksi sejumlah bijian yang terkontaminasi aflatoxin dengan tingkat cemaran di bawah 5 ppb.