Yoghurt: Ragam & Inovasinya



Oleh Cynthia Andriani Industrial PhD cand.
(Physics) Auckland University, Selandia Baru

Yoghurt merupakan produk susu fermentasi populer yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat; serta kaya akan protein, vitamin, dan mineral. Selain itu, yoghurt juga dapat dikonsumsi untuk penderita intoleransi laktosa, karena sebagian laktosa telah terfermentasi menjadi asam laktat dan komponen lainnya.

Saat ini, produk fermentasi susu sudah banyak dikenal konsumen Indonesia dengan beragam inovasi baik dari aspek sensoris, zat gizi, metode pembuatan (style), kemasan hingga cara penyajiannya. Tulisan ini akan membahas mengenai konsep mendasar dari fermentasi susu dalam proses pembuatan yoghurt, beragam jenis yoghurt, bagaimana cara membedakannya, hingga potensi untuk pengembangan produk.

Sains di balik pembuatan yoghurt
Yoghurt merupakan produk hasil fermentasi susu dengan penambahan starter culture (kultur) berupa bakteri asam laktat (BAL) yaitu Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. Selain kedua jenis bakteri tersebut, susu juga dapat difermentasi menggunakan kultur lain seperti Lactobacillus acidophilus untuk membuat susu asidofilus serta Lactobacillus kefiri dan khamir Saccharomyces untuk membuat kefir. Prinsip utama dari proses pembuatan yoghurt yaitu aktivitas anaerobik BAL dalam memecah laktosa pada susu menjadi: (1) asam laktat yang berperan meningkatkan keasaman produk sehingga memberikan efek pengawetan dan rasa asam, serta (2) asetaldehida, diasetil, dan komponen volatil lainnya yang memberikan aroma khas susu dan buttery. Kedua jenis bakteri tersebut bekerja secara sinergis. Mula-mula S. thermophilus akan tumbuh lebih cepat dan menghasilkan asam laktat sehingga terjadi penurunan pH susu secara signifikan. Penurunan pH ini menyebabkan pertumbuhan bakteri L. bulgaricus meningkat melampaui jumlah S. thermophilus. Pertumbuhan bakteri L. bulgaricus sendiri akan menghasilkan asam amino dari protein susu yang diperlukan bagi pertumbuhan bakteri S. thermophilus.

Tahapan pembuatan yoghurt secara umum dimulai dari penyiapan bahan baku yaitu susu yang telah distandardisasi (berdasarkan kandungan protein dan lemak), selanjutnya diproses melalui tahapan deaerasi, homogenisasi, serta aplikasi proses panas. Tahap deaerasi berfungsi untuk meminimalisasi risiko fouling serta mengoptimasi waktu fermentasi, homogenisasi bertujuan untuk meningkatkan stabilitas dan konsistensi yoghurt, serta aplikasi proses panas (berkisar antara 90-95oC selama 5 menit) bertujuan untuk mendeaktivasi enzim serta mikroorganisme lainnya, sekaligus mendenaturasi protein whey yang berkontribusi pada struktur dan meningkatkan water holding capacity. Ketika susu yang telah diproses mencapai suhu 40-45 oC, kultur bakteri ditambahkan dan proses fermentasi berlangsung. Setelah pH target (<4,6) maupun tingkat titrasi keasaman tercapai, gel yoghurt dipecah dengan pengadukan lembut dan dipindahkan menggunakan pompa perpindahan positif ke tahapan proses berikutnya. Yoghurt kemudian didinginkan hingga mencapai suhu 10-15°C untuk menghentikan proses fermentasi dan kemudian dilakukan smoothing (menggunakan filter, katup tekanan balik, atau alat high shear) untuk menghasilkan tekstur yang halus dan homogen. Setelah itu, yoghurt siap dikemas dan didinginkan pada suhu 4°C sebelum tahap penyimpanan dan pendistribusian.

Proses fermentasi susu oleh kultur bakteri umumnya terjadi selama 4-8 jam pada suhu optimum 40-45 oC hingga mencapai pH <4,6. Komponen maupun metabolit yang dihasilkan selama fermentasi inilah yang berperan terhadap atribut sensoris yoghurt. Secara umum, plain yoghurt memiliki penampakan berwarna putih dengan rasa asam dan aroma buttery. Tekstur yoghurt yang kental disebabkan oleh kasein susu yang mencapai titik isoelektrik pada pH ≤4,6 sehingga menyebabkan perubahan muatan ionik dan terjadinya agregasi kasein. Selain itu, selama proses fermentasi terjadi pembentukan ekstrapolisakarida (EPS) oleh aktivitas BAL. Agregasi protein susu (kasein) akibat penurunan pH dan ekstrapolisakarida ini akan membentuk jaringan gel dengan komponen susu lainnya seperti globula lemak dan protein whey (Gambar 1c). Hal inilah yang menjadikan tekstur susu fermentasi kental dan memiliki mouthfeel yang unik. Ilustrasi pada Gambar 1 menunjukkan perubahan mikrostruktural pada setiap tahapan dalam pembuatan yoghurt dari susu dan dampaknya terhadap kekentalan/ viskositas produk.

Perlu diketahui bahwa penggunaan ingridien dan parameter proses dalam pembuatan yoghurt seperti jenis susu (rendah lemak atau tinggi lemak, pasteurisasi atau sterilisasi, susu segar atau rekonstitusi dan rekombinasi), penambahan bahan lain (penstabil, partikel/sari buah, gula, perisa, pewarna, air), suhu, aplikasi pengadukan (kecepatan dan waktu pengadukan), maupun adanya proses panas setelah fermentasi, berpengaruh terhadap aspek mikrostruktural dari produk yang dihasilkan. Hal ini akan berdampak secara langsung terhadap atribut sensoris produk akhir. Sebagai contoh, susu yang sudah dipanaskan pada suhu >80 oC akan menyebabkan protein whey terdenaturasi serta membentuk agregat dan jaringan gel dengan kasein sehingga tekstur yang dihasilkan lebih kuat dan kental (Gambar 1b). Kedua, aplikasi pengadukan menyebabkan perubahan pada koagulum atau jaringan gel yoghurt menjadi lebih kecil sehingga memiliki tekstur lebih lembut, homogen, dan tidak kental (Gambar 1d). Penggunaan bahan tambahan penstabil seperti pati, pektin, gelatin, karagenan, serta gum diharapkan dapat memperbaiki tekstur yoghurt selama penyimpanan serta mengatur tingkat kekentalannya.


Fleksibilitas dari lini proses pembuatan yoghurt menjadi kunci utama dalam mengembangkan produk dengan karakteristik yang diharapkan. Untuk yoghurt dengan viskositas tinggi (kental), umumnya bahan penstabil ditambahkan sebelum proses fermentasi dan tidak dilakukan homogenisasi setelah fermentasi untuk mempertahankan tekstur kentalnya. Sementara itu, yoghurt dengan viskositas rendah dapat diperoleh dengan cara pengenceran (biasanya dengan larutan pektin/air), menggunakan bahan protein dengan viskositas rendah (misalnya NZMP WPC 550) atau dengan memvariasikan pengadukan setelah fermentasi (smoothing). Hal ini menunjukkan keunikan karakteristik dari yoghurt, yaitu sensitivitasnya terhadap suhu, pengadukan, dan waktu. Tantangan utama dalam menghasilkan kualitas produk yang tepat yaitu: formulasi dan desain proses atau lini produksi (tahapan, pemanasan, serta pengadukan). Fleksibilitas dari tahap penambahan ingridien lain seperti perisa, sari buah, partikel lainnya sangat bergantung terhadap interaksi bahan dalam matriks pangan serta sensitivitasnya terhadap parameter proses. Contoh pertama, perisa yang tidak tahan panas sebaiknya ditambahkan secara aseptik setelah produk mengalami perlakuan panas. Kedua, penambahan partikel pangan seperti potongan buah maupun granula dapat dilakukan baik sebelum pengemasan maupun bersamaan dengan pengisian produk dalam kemasan. Tentu saja dalam hal ini perlu dipertimbangkan kapasitas dan desain mesin peralatan yang digunakan.

Beragam jenis yoghurt
Berdasarkan aplikasi proses panas
. Menurut peraturan BPOM No. 34 Tahun 2019 tentang Kategori Pangan, yoghurt yang diklasifikasikan sebagai kategori produk susu fermentasi (plain) dapat dibedakan menjadi dua yaitu yoghurt tanpa pemanasan dan dengan pemanasan. Yoghurt tanpa proses pemanasan downstream (setelah proses fermentasi) dikenal dengan ‘chilled’ yoghurt, sedangkan yoghurt dengan proses pemanasan setelah fermentasi disebut dengan ‘ambient’ yoghurt. Ilustrasi mengenai perbedaan lini proses dari kedua jenis yoghurt tersebut ditampilkan pada Gambar 2.


memerlukan pertimbangan efek termal terhadap stabilitas produk dan fungsionalitas bakteri kultur. Chilled yoghurt memiliki umur simpan yang relatif singkat sekitar 3-6 minggu pada suhu dingin serta memiliki viabilitas bakteri kultur BAL minimal 107 koloni/g (SNI 2981:2009). Sementara pada ambient yoghurt, sebagian besar bakteri kultur akan terinaktivasi akibat aplikasi proses termal setelah fermentasi (75-110 oC, 4-25 detik). Selain membunuh bakteri kultur, pemanasan ini juga dapat bertujuan mengeliminasi seluruh mikrorganisme patogen maupun pembusuk yang ada pada produk akhir sehingga mampu mencapai umur simpan 4-6 bulan. Karena umur simpannya yang cukup panjang, penggunaan bahan tambahan penstabil sangat disarankan untuk ambient yoghurt. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya separasi protein whey, sedimentasi, hingga perubahan konsistensi.

Nilai tambah dari ambient yoghurt ini terletak pada kemudahan sistem logistik karena umur simpannya yang panjang serta dapat disimpan pada suhu ruang (tidak memerlukan rantai dingin). Selain itu, efek kesehatan dari ambient yoghurt berasal dari kandungan zat gizi makro yang memberikan nilai gizi serta EPS yang berfungsi sebagai serat pangan dan bermanfaat untuk kesehatan saluran pencernaan. Sementara chilled yoghurt memiliki nilai fungsional baik dari viabilitas kultur BAL, zat gizi makro maupun dari metabolit berupa EPS. Hanya saja, produk ini harus disimpan pada suhu rendah baik selama distribusi hingga penyimpanan/konsumsi. Ada kalanya sebagian konsumen bingung membedakan antara ambient dan chilled yoghurt. Hal ini karena seringkali ambient yoghurt juga disimpan pada suhu dingin khususnya ketika dijual di ritel. Fenomena ini dianggap wajar saja karena yoghurt secara umum dikonsumsi pada suhu dingin. Oleh karena itu, metode paling mudah untuk membedakan kedua jenis yoghurt ini ialah dengan cara melihat umur simpannya dan membaca informasi keterangan produk pada label kemasan.

Berdasarkan cara produksi dan konsumsi. Ilustrasi pada Gambar 2 menunjukkan kategorisasi produk yoghurt secara garis besar: set-type, stirred-type, dan drinking yoghurt berdasarkan proses pembuatannya. Set-type yoghurt merupakan jenis yoghurt di mana proses fermentasi terjadi di dalam kemasan produk akhir. Hal ini menyebabkan terbentuknya tekstur gel yang lebih kuat, sangat kental (karakteristik rheologi umumnya dideskripsikan sebagai storage modulus G’), dan memiliki bentuk sesuai dengan kemasannya. Setelah fermentasi, set-type yoghurt didinginkan dan siap untuk didistribusikan melalui rantai dingin. Sementara apabila setelah proses fermentasi terdapat pengadukan dan smoothing sebelum pengisian dalam kemasan untuk memecah koagulum dan gel, maka yoghurt jenis ini disebut stirred type. Karakteristik utama dari jenis produk ini yaitu tekstur yang lembut dan kental dengan nilai viskositas beragam >100 mPas (umumnya pengukuran dilakukan pada shear rate 50/s). Kedua jenis yoghurt ini dapat dikonsumsi dengan disendok atau dikenal dengan istilah ‘spoonable’. Meskipun pada Gambar 2 diilustrasikan bahwa set-type yoghurt dikategorisasikan sebagai produk dingin, namun sangat dimungkinkan untuk menghasilkan jenis yoghurt serupa dengan versi ambient. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menambahkan stabilizer pada yoghurt sebelum dilakukan proses panas, kemudian dilakukan pengemasan produk. Produk ini akan menjadi set dan kokoh selama penyimpanan dengan adanya kontribusi polisakarida yang telah tergelatinisasi dan membentuk matriks dengan gel protein. Jenis yoghurt drinkable identik dengan produk yang lebih encer (viskositas <100 mPas pada 50/s) dikarenakan adanya penambahan bahan lain dengan kadar air yang tinggi seperti air, sirup gula, perisa, maupun sari/jus buah. Selain itu, jenis yoghurt ini juga mengalami pengadukan dan homogenisasi sebelum dilakukan pengemasan.

Potensi inovasi susu fermentasi
Seiring dengan meningkatnya pengenalan konsumen Indonesia terhadap produk fermentasi berbasis susu, inovasi-inovasi dalam mengembangkan produk ini menjadi esensial. Beberapa contoh inovasi produk susu fermentasi yaitu: yoghurt tinggi protein, konsentrat susu kultur, freeze-dried yoghurt, symbiotic yoghurt, serta beragam rasa, bahan tambahan, dan format kemasan. Untuk yoghurt tinggi protein, umumnya memerlukan ingridien tambahan berupa protein susu dalam bentuk bubuk baik berupa milk protein concentrate (MPC) yang 80% merupakan kasein, maupun whey protein concentrate/isolate (WPC/I). Jumlah dan jenis protein susu yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap karaketristik produk yoghurt. Beberapa ingredien fungsional protein susu bahkan didesain memiliki stabilitas pada suhu tinggi dan pH rendah, serta viskositas lebih rendah untuk memudahkan proses produksi (misalnya protein whey fungsional NZMP WPC550 dengan performa viskositas rendah dari mikropartikulasi whey protein). Jenis ingredien ini lebih tepat digunakan untuk mendesain drinkable yoghurt tinggi protein. Untuk yoghurt berprotein tinggi dalam bentuk set- maupun stirred-type, MPC (misalnya NZMP MPC4882) dapat digunakan. Begitu pula jika menargetkan jumlah protein lebih tinggi, tekstur dari yoghurt dapat dioptimasi dengan mengombinasikan ingredient MPC and WPC fungsional.

Konsentrat susu kultur (atau strained cultured products) merupakan jenis susu fermentasi dengan kandungan protein lebih tinggi (≥5.6%) dibandingkan dengan kandungan protein pada yoghurt komersial (2.3% menurut peraturan BPOM). Metode untuk memekatkan/ mengkonsentrasikan produk tersebut antara lain teknik sentrifugasi (misalnya pemisah mekanis) dan filtrasi membran. Selain itu, produk serupa dapat juga dibuat dengan penambahan ingredien protein seperti telah disebutkan sebelumnya. Contoh produk kosentrat susu kultur (kultur susu pekat) yaitu yoghurt Yunani, Labneh (Timur Tengah), Quark atau Quarg, (Eropa), Skyr (yoghurt Islandia). Produk-produk ini dapat berupa yoghurt atau produk keju segar, biasanya ditentukan oleh komposisi dan jenis kultur yang digunakan. Produk yoghurt freeze-dried sudah mulai dikomersialisasikan dalam bentuk snack anak. Beberapa konsep yang diajukan untuk meningkatkan umur simpan yoghurt antara lain aplikasi high-pressure processing (HPP), high-pressure homogenization (HPH), ultrasonic processing (USP), dan penggunaan enzim transglutaminase (TG). Konsep inovasi produk selanjutnya yaitu symbiotic yoghurt dimana dilakukan penambahan prebiotik dengan tujuan untuk menjaga viabilitas BAL yang merupakan probiotik. Prebiotik yang dapat ditambahkan dan umumnya berasal dari golongan polisakarida khususnya serat pangan seperti inulin, polidekstrosa, pektin, dll. Pembuktian dari konsep symbiotic ini memerlukan penelitian lebih lanjut terutama terkait pengaruh penambahan prebiotik terhadap viabilitas probiotik dalam yoghurt.

 

Referensi:
Fonterra Co-operative Group Ltd. 2022. Protein ingredients. online. www.nzmp.com.
Fonterra Co-operative Group Ltd. 2022. 8. Culture products.
Heck, A., Scafer, J., Nobel, S., Hinrichs, J. 2021. Fat-free fermented concentrated milk products as milk protein-based microgel dispersions: Particle characteristics as key drivers of textural properties. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 20:6057- 6088.
Walstra, P., Geurts, T.J., Noomen, A., Jellema, A., van Boekel, M.A.J.S. 1999. Dairy Technology: Principles of Milk. Properties and Processes. Marcel Dekker.

Artikel Lainnya