Oleh Henky Wibawa Executive Director Indonesian Packaging Federation (IPF)
Artikel ini melanjutkan seri tulisan sebelumnya mengenai pedoman desain kemasan plastik sirkular. Setelah memaparkan secara mendalam berbagai jenis material kemasan beserta implementasi aplikatifnya dalam konteks penggunaan sehari-hari, bagian ini akan menitikberatkan pada tinjauan komprehensif terhadap volume kemasan PET (Polyethylene Terephthalate) yang beredar di pasaran. Evaluasi ini krusial untuk memahami dinamika daur ulang dan mengoptimalkan desain botol PET agar lebih sirkular.
Analisis data terkini menyoroti dinamika penting terkait volume dan tingkat daur ulang kemasan Polyethylene Terephthalate (PET) di Indonesia, khususnya pada tahun 2019. Informasi ini krusial dalam upaya mendorong ekonomi sirkular dan menekan kebocoran sampah plastik ke lingkungan. Survei menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara tingkat pengumpulan PET untuk daur ulang di DKI Jakarta dan secara nasional. Di DKI Jakarta, tingkat pengumpulan PET mencapai 69% (± 5%), dengan tingkat kebocoran ke lingkungan sekitar sekitar 13% (± 5%). Namun, gambaran berbeda terlihat untuk seluruh Indonesia, di mana tingkat pengumpulan PET berada pada angka 41% (± 15%), namun dengan tingkat kebocoran yang jauh lebih tinggi, yaitu 52% (± 15%). Data ini bersumber dari Kementerian Perindustrian 2019, Database BS KLHK, BPS, dan INAPLAS.
Pada tahun yang sama, total input pasar PET di seluruh Indonesia mencapai 293.503 metrik ton per tahun (MTPY). Dari jumlah tersebut, DKI Jakarta berkontribusi sebanyak 30.990 ton per tahun (TPY), atau sekitar 11% dari total nasional. Sementara itu, wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) menyumbang 82.329 TPY, atau sekitar 28% dari total input pasar PET di Indonesia. Pasar kemasan plastik kaku di Indonesia pada 2019 diperkirakan mencapai 16% dari total konsumsi plastik, yaitu sekitar 1,15 juta MTPY (dari total konsumsi 7,2 juta MTPY). Dari segmen kemasan plastik kaku ini, kemasan Polypropylene (PP) dan Polyethylene (PE) diperkirakan menyumbang 20%, atau sekitar 230.000 MTPY.
Di sisi lain, keberadaan material seperti Polyvinyl Chloride (PVC) dan Polyvinylidene Chloride (PVdC) perlu dicatat karena dapat mengganggu proses daur ulang. Oleh karena itu, kemasan yang mengandung PVC dan PVdC sering kali tidak dapat diintegrasikan dalam aliran daur ulang PET yang efisien dan berkualitas, bahkan masuk ke dalam kategori ‘Daftar Negatif’ untuk daur ulang. Adapun pasar kemasan fleksibel di Indonesia pada tahun 2019 memiliki nilai total sebesar US$ 3,23 miliar, dengan volume pasar mencapai 11,4 miliar meter persegi.
Data-data ini menggarisbawahi urgensi peningkatan infrastruktur dan edukasi daur ulang, khususnya untuk PET, serta pentingnya desain kemasan yang meminimalkan kontaminan agar proses daur ulang dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Kompleksitas kemasan multilapisan dalam daur ulang
Kemasan multi-lapisan merupakan format yang terdiri dari dua atau lebih material berbeda yang digabungkan, baik melalui proses co-ekstrusi maupun laminasi. Pendekatan ini memberikan keuntungan signifikan bagi produsen karena memungkinkan penciptaan kemasan dengan sifat penghalang dan mekanis yang unik. Seringkali, desain multi-lapisan ini menghasilkan kemasan yang lebih tipis dan ringan dibandingkan dengan kemasan monolayer, sehingga mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk produksi dan transportasi.
Meskipun demikian, kompleksitas struktur multi-lapisan ini menimbulkan tantangan besar dalam proses pemulihan dan daur ulang. Komposisinya dapat bervariasi dari tiga hingga sembilan lapisan, dengan begitu banyaknya ragam bahan dan struktur yang digunakan, menjadikannya sulit untuk dikonversi dalam skala volume metrik ton per tahun (MTPY). Contoh utama dari kemasan multi-lapisan ini meliputi kantong, sachet, paket, tas, dan material penutup yang memerlukan sifat penghalang tinggi, seperti untuk produk makanan. Mendefinisikan ruang lingkup plastik lunak atau fleksibel secara tepat memang sulit karena beragamnya resin, polimer, dan format yang digunakan.
Oleh karena itu, untuk mengatasi tantangan ini, sangat penting untuk meningkatkan kapasitas infrastruktur pengumpulan sampah serta fasilitas daur ulang yang memadai, serupa dengan fasilitas yang diterapkan untuk Used Beverage Cartons (UBC), guna mendukung pemulihan kemasan multilapisan secara efektif.
Pengelolaan sampah kemasan di Indonesia saat ini menghadapi tantangan signifikan, terutama terkait infrastruktur pengumpulan dan volume limbah. Untuk memahami konteks ini, penting untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “pembuangan terkontrol”. Dalam konteks ini, pembuangan terkontrol merujuk pada setiap opsi pengelolaan sampah plastik pasca-pengumpulan yang tidak melibatkan daur ulang material menjadi bahan atau produk baru, namun tetap
beroperasi dalam batas yang diterima secara internasional terkait dampak kesehatan, lingkungan, dan sosial. Penting untuk dicatat bahwa istilah “terkontrol” di sini tidak serta-merta berarti opsi tersebut bebas sepenuhnya dari potensi bahaya bagi manusia atau lingkungan.
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan satu-satunya opsi pembuangan sampah yang beroperasi dalam skala besar di Indonesia. Dalam analisis biaya untuk skenario pengelolaan sampah (termasuk konstruksi dan pengoperasian TPA baru), TPA diasumsikan sebagai opsi pembuangan yang terkendali. Namun, perlu digarisbawahi bahwa mayoritas TPA yang beroperasi di Indonesia saat ini memerlukan peningkatan substansial dalam praktik sanitasi agar memenuhi standar internasional. Analisis biaya yang disebutkan di sini tidak mencakup biaya peningkatan fasilitas TPA yang ada.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, secara ideal, semua TPA dengan sistem pembuangan terbuka harus ditutup (menuju konsep zero waste to landfill).
Kebijakan ini mengamanatkan penggantian TPA dengan pusat pengumpulan sampah terpisah di masing-masing dari 514 pemerintah kota dan daerah. Akan tetapi, implementasi kebijakan dan regulasi pemerintah pusat terkait ekosistem pengelolaan sampah ini hingga saat ini masih sangat minim. Penerapan praktik pengelolaan sampah di lapangan masih sangat bergantung pada sektor informal.
Beberapa data dan fakta aktual yang menyoroti situasi ini adalah sebagai berikut: