
Oleh Purwiyatno Hariyadi
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian & SEAFAST CENTER, IPB University
Spices are a dried seed, fruit, root, bark, berry, bud, or vegetable substance used primarily for flavoring or coloring. Culinary herbs are distinguished from vegetables because, like spices, they are used in small amounts to provide flavor rather than substance to food. They may be annual, biennial, or perennial plants
Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai pemimpin global dalam produksi rempah-rempah, dan telah menjadi pemasok utama dunia selama berabad-abad. Terkenal sebagai “surga rempah-rempah” berkat iklim tropis, tanah subur, dan suhu udara yang sesuai, Indonesia menghasilkan beragam komoditas vital seperti cengkeh, lada, kayu manis, dan pala. Potensi nilai ekspor rempah dan herbal Indonesia cukup besar. Pada tahun 2019 misalnya, menurut Kementerian Perdagangan nilai ekspor ini mencapai sebesar US$643,4 juta, dengan pasar Amerika Serikat menjadi importir terbesar. Aryani et al (2025) melaporkan bahwa salah satu rempah utama dalam ekspor Indonesia adalah biji pala, dengan rata-rata ekspor ke beberapa negara mencapai 19.807 ton atau setara dengan sekitar US$114 juta per tahun. Namun demikian, industri rempah dan herbal Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam memenuhi standar keamanan dan mutu yang ketat di pasar internasional.
Rempah dan herbal
Istilah rempah, atau rempah-rempah (spices) dan herbal (herbs) umumnya digunakan secara bergantian. Namun demikian, kedua istilah memiliki perbedaan mendasar yang penting dalam industri pangan.
Menurut definisi dari Codex Committee on Spices and Culinary Herbs (CCSCH), rempah adalah “buah kering, biji, akar, kulit kayu, beri, kuncup, atau bahan sayuran yang terutama digunakan sebagai penyedap rasa atau pewarna”.
Sementara itu, herbal didefinisikan sebagai “berbeda dari sayuran karena, seperti rempah, keduanya digunakan dalam jumlah kecil dan memberikan rasa daripada substansi pada makanan”.
Secara umum umum, UNIDO dan FAO (2005) menyatakan bahwa, perbedaan rempah dan herbal dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Rempah (Spices) diperoleh dari bagian tanaman non-daun, seperti akar, bunga, buah, biji, atau kulit kayu. Rempah berasal dari iklim hangat dan tropis, seringkali lebih kuat dan lebih beraroma daripada herbal, sehingga digunakan dalam jumlah yang lebih kecil. Beberapa rempah juga berfungsi sebagai pengawet. Contoh rempah termasuk kayu manis (dari kulit kayu), jahe (dari akar), dan pala (dari biji).
- Herbal (Herbs) diperoleh dari daun tanaman herba (non-kayu). Herbal biasanya digunakan untuk menambah rasa gurih dalam masakan dan beberapa dapat memiliki nilai sebagai obat. Herbal banyak berasal dari iklim sedang, seperti Italia, Prancis, dan Inggris, serta seringkali digunakan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan rempah. Menariknya, beberapa tanaman dapat menghasilkan baik herbal maupun rempah. Sebagai contoh, tanaman Coriandrum sativum menghasilkan daun ketumbar (herba) dan biji ketumbar (rempah).
Untuk tujuan standardisasi, Codex Committee on Spices and Culinary Herbs (CCSCH) mengelompokkan 116 rempah dan herbal yang telah diidentifikasi ke dalam delapan kategori utama berdasarkan bagian tanaman tempat mereka berasal (CCSCH 2021). Pengelompokan ini bertujuan untuk menyederhanakan penyusunan standar, tetapi juga sangat membantu dalam pemahaman dan karakterisasi setiap komoditas rempah dan herbal. Delapan kelompok tersebut adalah:
- Buah-buahan dan beri kering (dried fruits and berries). Contohnya seperti lada (hitam, putih) dan paprika.
- Akar, rimpang, dan umbi kering (dried roots, rhizomes, and bulbs). Contohnya adalah jahe, kunyit, lengkuas, kencur, dan bawang putih.
- Biji kering (dried seeds). Contohnya termasuk biji ketumbar, jintan, adas, kapulaga, dan biji pala (nutmeg).
- Bagian bunga kering (dried floral parts). Contohnya adalah cengkeh dan bunga lawang (star anise).
- Kulit batang kering (dried bark). Contohnya termasuk kayu manis dan kulit kayu masoyi.
- Daun kering (dried leaves). Contohnya adalah daun salam, daun mint, peterseli, dan daun basil.
- Herbal (Herbs). Contohnya meliputi kemangi, seledri, oregano, thyme, dan rosemary.
- Lain-lain (Miscellaneous). Kategori ini untuk rempah dan herbal yang tidak masuk ke dalam salah satu kategori spesifik di atas (no 1 s/d 7). Contohnya vanili (dari buah polong yang dikeringkan) dan safron (dari stigma bunga saffron).
Tantangan keamanan dan mutu rempah dan herbal Indonesia
Dari pengelompokan dan contohcontoh rempah dan herbal di atas, Indonesia mempunyai potensi yang luar biasa. Tidak hanya potensi sumber daya biologisnya, tetapi juga potensi budaya, baik budaya pangan maupun budaya obat. Namun demikian, sampai saat ini pengembangan industri rempah dan herbal di Indonesia masih menemui tantangan. Sebagaimana disebutkan di depan, Indonesia memang mempunyai sejarah panjang sebagai pemimpin global dalam produksi rempahrempah. Namun, saat ini nyatanya justru mendapatkan banyak hambatan untuk dapat mengakses pasar, karena masalah keamanan dan mutu. Menjawab tantangan untuk mengatasimasalah ini merupakan langkah sangat penting untuk mengamankan posisi Indonesia lebih kuat dalam rantai pasokan global.
Hambatan utama bagi ekspor rempah dan herbal Indonesia adalah masalah kontaminasi, khususnya oleh jamur Aspergillus spp yang memproduksi aflatoksin. Iklim tropis negara ini, dengan panas dan kelembapan yang tinggi, menciptakan lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan jamur yang menghasilkan racun aflatoksin berbahaya, pada beberapa rempah dan herbal, khususnya pada komoditas utama Indonesia, biji pala.
Praktik tradisional, seperti pengeringan di udara terbuka, atau bahkan di permukaan tanah, akan memperburuk risiko kontaminasi. Hal ini dapat berujung pada penolakan oleh negara pengimpor yang memiliki batas residu maksimum (MRL) mikotoksin sangat ketat. Data dari Rapid Allert System for Food and Feed (RASFF) Uni Eropa menunjukkan bahwa masalah ini merupakan kendala nyata dalam perdagangan (EU RASFF 2021-2025 ; Tabel 1). Secara khusus, rempah utama yang tercatat dalam notifikasi dan penolakan ini adalah pala (nutmeg). Indonesia telah mengalami serangkaian kasus non-compliance (ketidakpatuhan pada standar) ini sejak lama. Hal ini menyebabkan EU, sejak pertengahan 2022, menerapkan laju pengujian atau kontrol sampel yang lebih ketat, mencapai 30% sampel untuk setiap pengiriman pala asal Indonesia. Kontrol yang lebih ketat ini menyebabkan peningkatan jumlah batch yang tidak sesuai dengan regulasi selama periode 2022-2023 (Aryani et al. 2025). Masalah utama yang dicatat berulang kali adalah kontaminasi oleh mikotoksin, seperti aflatoksin dan ochratoxin A, sebagaimana terlihat pada Tabel.
Menuju untuk cita-cita Indonesia Spice Up the Word
Dengan program Indonesia Spice Up the World, Indonesia bercita-cita untuk “membumbui” dunia dengan rempah dan herbal khas Indonesia. Namun, data pada Tabel 1 jelas menunjukkan perlunya perbaikan signifikan dalam ekosistem rempah dan herbal di Indonesia.
Penanganan Pascapanen. Secara khusus, penanganan pascapanen jelas perlu diperbaiki. Banyak metode penanganan pascapanen tradisional yang umum digunakan, tidak memenuhi standar kualitas modern. Praktik umum mengeringkan rempah dan herbal di lapangan terbuka, atau bahkan langsung di atas permukaan tanah, tidak hanya menimbulkan risiko kontaminasi jamur dan menghasilkan mikotoksin tetapi juga menyebabkan kadar air yang tidak konsisten, yang memengaruhi daya simpan dan kualitas. Terutama di lingkungan yang basah dan lembap, penanganan pascapanen yang melibatkan sistem pengeringan yang efisien dan efektif untuk memastikan produk yang aman dan bermutu, sangat diperlukan.
Perlu Upaya Standardisasi dan Pelatihan. Mengingat banyaknya petani skala kecil dengan praktik penanganan dan pengolahan yang beragam, maka hal ini mengakibatkan variasi mutu produk yang juga beragam. Tidak hanya beragam dari satu panen ke panen berikutnya, tetapi juga di antara petani yang berbeda. Karena itu, pemerintah perlu mengupayakan standardisasi praktik penanganan dan pengolahan rempah dan herbal, khusus untuk pala -misalnya. Terkait dengan hal ini, karena para petani kecil umumnya mempunyai akses yang terbatas terhadap pendidikan teknis, maka perlu dilakukan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan penanganan dan pengolahan untuk memberikan jaminan keamanan dan mutu yang lebih baik. Codex Alimentarius Commission, sebagai organisasi standar internasional, melalui Codex Committee on Spices and Culinary Herbs (CCSCH) telah mengembangkan standar teknis untuk berbagai rempah-rempah (Tabel 2). Standar ini dikembangkan dengan tujuan untuk menjamin keamanan dan sebagai pedoman untuk meningkatkan mutu rempah dan herbal yang diperdagangkan secara global.
Pemerintah perlu mensosialisasikan berbagai standar tersebut, khususnya untuk standar pala (CXS 352-2022).
Komitmen bersama
Keamanan rempah dan herbal adalah suatu keharusan. Namun untuk memenangkan persaingan global hal itu saja tidak cukup. Selain harus aman, pasar global juga menginginkan rantai pasokan rempah dan herbal yang jelas dan dapat diverifikasi. Menyadari bahwa industri rempah dan herbal Indonesia sangat terfragmentasi, melibatkan banyak petani kecil dan perantara, maka aspek ketertelusuran dan transparansi dalam rantai pasokan ini menjadi tantangan tersendiri. Jika tidak diatasi, hal ini akan terus menjadi hambatan serius, bahkan dapat merusak kepercayaan, dan menyulitkan eksportir untuk memenuhi permintaan internasional.
Untuk menjawab tantangan ini dan mengembangkan potensi ekspor secara penuh, diperlukan upaya terpadu dan komitmen bersama dari berbagai pemangku kepentingan. Untuk ini, pemerintah perlu mempertimbangkan modernisasi teknologi. Adopsi teknologi sangat penting untuk mitigasi risiko kontaminasi. Hal ini mencakup penerapan lingkungan terkontrol dan pengering mekanis untuk memastikan kadar air yang seragam dan mencegah pertumbuhan Aspergllus spp. Berinvestasi dalam fasilitas penyimpanan dan pemrosesan modern dengan kendali kebersihan yang ketat juga dapat mengurangi kontaminasi mikroba dan kimia. Selain itu, metode sterilisasi efektif seperti penggunaan gelombang mikro dan iradiasi gamma dapat dipilih sebagai solusi unggulan untuk pemastian keamanan dan perpanjangan masa simpan. Di sisi lain, pemerintah perlu pula mengembangkan kebijakan insentif dan suportif yang mendorong petani dapat mengadopsi praktik yang lebih baik dan memenuhi standar keamanan.
Secara umum, pemerintah dan semua pemangku kepentingan perlu membangun ekosistem kolaboratif. Misalnya, dengan menciptakan platform digital bersama untuk ketertelusuran, semua pihak dapat berkolaborasi untuk membangun rantai pasokan yang transparan dan dapat dilacak, dari petani hingga pembeli akhir. Keterbukaan ini tidak hanya menguntungkan seluruh pihak dalam rantai pasokan tetapi juga membangun kepercayaan yang mendalam dengan pembeli internasional. Melalui komitmen bersama yang kuat, industri rempah Indonesia dapat bertransformasi, memastikan produknya tidak hanya beraroma khas, tetapi juga dapat diandalkan, aman, berdaya saing global, dan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang handal bagi masyarakat.
Kesimpulan
Rempah dan herbal Indonesia telah terbukti mempunyai nilai ekonomi dan budaya yang tinggi. Keduanya telah menjadi warisan yang dapat menjadi modal inovasi industri dan ekonomi masa kini dan masa depan. Namun, semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan industri harus secara proaktif memastikan rempah dan herbal, tidak hanya aman, tetapi juga sesuai dengan standar mutu dan ketertelusuran, berdaya saing global, sehingga mampu “membumbui” dunia.
Referensi
Kementerian Perdagangan. 2020. Export News: Spices Export Performance amid Covid-19 Pandemic. (November 2020)
UNIDO dan FAO. Herbs, spices and essential oils: Postharvest operations in developing countries. (2005)
EU RASFF (Sistem Peringatan Cepat untuk Makanan dan Pakan). https://webgate.ec.europa.eu/rasff-window/ screen/search
CCSH (Codex Committee on Spices and Culinary Herbs), 2021. Discussion Paper on Grouping SCH (Spices and Culinary Herbs). (April 2021)
CCSCH Information document. GLOSSARY OF TERMS FOR SCH STANDARDS-INF_CCSCH_e. (Available at https://www.fao.org/fao-who-codexalimentarius/ committees/committee/related-informationdocuments/en/?committee=CCSCH )
Aryani, et al. 2025. Strategy to minimize the risk of rejection due to mycotoxin contamination: case for Indonesian nutmeg. BIO Web of Conferences 169 , 02004 (2025) https://doi.org/10.1051/ bioconf/202516902004