Smart Eating: Pendekatan Komprehensif untuk Optimalisasi Mikrobioma Usus



Oleh Ingrid Suryanti Surono
Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Bina Nusantara

Tubuh manusia memiliki triliunan mikroorganisme yang mendiami saluran pencernaan, khususnya usus, dan memiliki peran fundamental menjaga kesehatan holistik. Kumpulan mikroorganisme ini, yang dikenal sebagai mikrobiota usus, bukan sekadar entitas pasif, melainkan mitra simbiotik esensial bagi kelangsungan hidup manusia.

Proporsi jumlahnya bahkan melampaui jumlah sel tubuh manusia hingga sepuluh kali lipat. Perbandingan ini sering dianalogikan dengan menyatakan bahwa manusia hanya 10% “manusia” dan 90% “alien” yang merujuk pada dominasi mikrobiota yang hidup berdampingan. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, semakin dipahami bahwa konsumsi pangan berpengaruh secara langsung terhadap komposisi dan fungsi mikrobiota, yang dikenal sebagai mikrobioma (keseluruhan genetik mikrobiota).

Mikrobiota membantu mencerna makanan, menghasilkan vitamin, melindungi dari infeksi, hingga memengaruhi suasana hati dan sistem kekebalan tubuh. Menjaga keseimbangan mikrobiota usus (eubiosis) dan keragaman mikrobiota adalah kunci menuju kesehatan jangka panjang, mendukung peran mikrobioma terhadap gut-brain axis, gut-skin axis maupun gut-organ axis. Caranya? Mulai dengan Smart Eating—pola makan cerdas yang menyediakan gizi bagi tubuh dan mikrobiota serta keragaman mikrobiota untuk mendukung mikrobioma sehat.

Apa itu smart eating? label bersih (clean label)
Smart Eating bukan sekadar memilih pangan bergizi. Ini adalah pola makan jangka panjang yang berfokus pada keberagaman pangan, terutama yang mendukung mikrobiota usus. Prinsip dasarnya:

  • Konsumsi pangan berbasis tumbuhan (sayur, buah, kacang, umbi, biji)
  • Konsumsi pangan fermentasi (seperti tempe, dadih, tape, oncom)
  • Konsumsi probiotik, prebiotik, postbiotik
  • Kurangi gula, lemak jenuh, dan pangan yang diolah dengan bahan tambahan pangan, tinggi gula, garam, dan lemak khususnya lemak jenuh
  • Variasikan jenis makanan setiap hari

Pangan nabati segar yang dicuci bersih, kaya akan serat, mikroba hidup, enzim, dan polifenol. Serat pangan dari buah, sayur, kacang-kacangan, bijibijian, umbi, dan pati resisten dari umbiumbian yang sulit dicerna di usus halus, justru memberi efek prebiotik, menjadi makanan utama bagi mikrobiota di usus besar, di samping kandungan vitamin dan mineralnya. Pangan fermentasi mengandung mikroba bersahabat, bakteri hidup yang memperkaya keberagaman mikrobiota dan mendukung sistem imun serta bakteri mati yang memfasilitasi berkembangnya sistem imun.

Smart Eating mengusung konsep pangan fungsional, gabungan ilmu gizi, teknologi pangan, dan wellbeing untuk kesehatan optimal dan pencegahan terhadap penyakit menular maupun tidak menular. Konsumsi pangan yang fungsional, memberikan manfaat bagi kesehatan di samping kebutuhan zat gizi.

Mengapa mikrobiota usus penting?
Mikrobiota usus menghasilkan dan mengatur sinyal mikroba. Dua kata kunci, yaitu bakteri yang tidak bersahabat (penghasil komponen struktural gram negatif lipopolisakarida/LPS, dikenal sebagai endotoksin yang memicu inflamasi, diabetes dan obesitas), dan bakteri bersahabat (penghasil enzim sakarolitik memfermentasi serat pangan dan pati resisten di kolon menghasilkan metabolit asam lemak rantai pendek /SCFA, yaitu butirat, propionat, dan asetat, yang menyehatkan usus, menjaga dinding usus tetap kuat (intestinal barrier), mengurangi peradangan, dan mendukung sistem imun yang 70–80% berada di usus).

Molekul dari bakteri dapat secara sistematis memengaruhi kesehatan tubuh, sehingga perlu dicapai keseimbangan mikrobiota (eubiosis) agar pencernaan dan penyerapan gizi optimal. Jika keseimbangan mikrobiota terganggu (dysbiosis), berbagai masalah bisa muncul akibat terjadinya leaky gut, peradangan, gangguan pencernaan, obesitas, diabetes, bahkan gangguan suasana hati (mood) seperti kecemasan dan depresi.

Mikrobioma anak: investasi sejak dini

Periode 1000 hari pertama kehidupan—sejak dalam kandungan hingga usia 2 tahun—sangat krusial untuk membentuk mikrobioma sehat. Kelahiran normal, pemberian ASI ekslusif dengan kandungan Human Milk Oligosaccharides (HMO), dan pangan pendamping ASI kaya serat membantu kolonisasi mikrobiota.

Sebaliknya, konsumsi gula berlebihan dan bahan tambahan pangan pada usia dini bisa memicu dysbiosis dan meningkatkan risiko penyakit di kemudian hari. Perlu dicermati, susu formula dan makanan pendamping ASI instan juga mengandung pengemulsi yang memengaruhi keseimbangan mikrobiota.

Waspada pangan yang diolah berlebih
 

Pangan yang diolah berlebihan — seperti sereal, sosis, biskuit, minuman kemasan, dan makanan instan— perlu diwaspadai, khususnya karena tinggi gula, garam, lemak jenuh, serta mengandung pengawet, pewarna, pengemulsi, dan pemanis buatan, mempunyai potensi memengaruhi. Riset menunjukkan bahwa bahan tambahan ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri baik (contohnya Bifidobacterium) dan sebaliknya, meningkatkan bakteri seperti Proteobacteria yang memicu sitokin proinflamasi. Kondisi ini bisa menyebabkan peradangan kronis, yang kemudian berkontribusi pada sindrom metabolik seperti obesitas, diabetes tipe 2, alergi, autoimun, bahkan gangguan suasana hati seperti depresi dan kecemasan

Lebih dari 100 bahan pengemulsi ditambahkan dalam pangan di seluruh dunia. Secara tidak sadar pengemulsi dikonsumsi setiap hari dalam pangan olahan seperti roti, es krim, saus, dan cokelat batangan. Pengemulsi juga ditambahkan ke dalam suplemen dan obat-obatan seperti pereda nyeri dan juga berbagai vitamin A, D, E dan K, larut lemak. Kappa-karagenan, polisorbat 80, dan karboksimetilselulosa (CMC) secara in vitro dan pre-klinis terbukti mengganggu keseimbangna mikrobiota usus, sehingga menimbulkan peradangan. Diperlukan uji klinis untuk menetapkan keamanan jangka panjang. Tidak semua pengemulsi berdampak negatif bagi mikrobioma saluran cerna. Gum Arab dan arabinogalaktan dilaporkan meningkatkan pertumbuhan bakteri “baik”.

Beberapa pemanis buatan seperti aspartam dan sukralosa juga dikaitkan dengan dysbiosis. Pengemulsi seperti karagenan dan polisorbat-80 terbukti secara preklinis bisa mengganggu keseimbangan mikrobiota usus dan memicu leaky gut—dinding usus yang bocor. Prof Gerasimidis dari Universitas Glasgow, Scotland melaporkan hasil studinya, kappa-karagenan, polisorbat-80, senyawa bioaktif kayu manis, cinnamaldehyde, natrium sulfit dan detergen pencuci piring terbukti menghambat pertumbuhan bakteri bersahabat Bifidobacterium sp, Akkermansia muciniphila, Blautia coccoides, penghasil SCFA dan penghasil sitokin anti peradangan, sebaliknya meningkatkan Escherichia/Shigella dan Klebsiella, memicu peradangan dan terjadinya leaky gut.

Kembali ke pangan alami dan tradisional: memberikan gizi bagi mikrobiota

Pangan fermentasi tradisional Indonesia—seperti dadih, tempe, oncom, tape—mengandung mikroba alami yang membantu menjaga keragaman mikrobiota. Pangan fermentasi nabati juga membawa enzim, polifenol, serat pangan dan senyawa bioaktif lain yang bermanfaat bagi usus, di samping kandungan vitamin dan mineralnya.

Konsumsi probiotik dan prebiotik dapat membantu terjadinya keseimbangan mikrobiota. Konsumsi pangan yang beragam, kaya serat, mengandung pati resisten, selain pangan fermentasi akan memberikan gizi bagi mikrobiota saluran cerna, disertai pola hidup sehat cukup berolah raga, kecukupan minum, praktik higienis yang baik, dan menggunakan antibiotik dengan bijak, mendukung mikrobioma sehat.

Smart Eating bukan sekadar tren, tapi bagian dari gaya hidup sehat, mencermati pola makan di Okinawa dan diet Mediterania, yaitu konsumsi buah-buahan, sayuran, biji-bijian utuh, dan minyak zaitun yang tinggi, meningkatkan pertumbuhan bakteri yang bermanfaat dan mengurangi kelimpahan mikroba yang berpotensi pathogen, berbeda dengan pola makan Barat, yang ditandai dengan asupan makanan olahan, gula, dan lemak jenuh yang tinggi serta kandungan serat yang rendah, memfasilitasi perkembangan disbiosis usus. Kita tidak hanya makan untuk tubuh sendiri, tapi juga memberi makan mikrobiota yang menjaga kita setiap hari.

Kesenjangan regulasi dan

FDA dan Badan Otoritas Pengawasan Pangan di dunia memberikan status Generally Recognized as Safe (GRAS) pada bahan tambahan pangan masih berfokus pada toksikologi akut, belum mempertimbangkan dampak kronisnya pada mikrobiota usus. Dengan berkembangnya teknik deteksi molekuler, riset mikrobioma untuk melihat profil mikrobiota usus melalui feses menjadi penting, sehingga membuka pemahaman lebih mendalam tentang pentingnya kesehatan saluran cerna terhadap kesehatan tubuh keseluruhan.

Pengemulsi telah digunakan selama lebih dari 50 tahun dalam industri pangan, suplemen maupun farmasi, dan telah lama dianggap aman oleh badan terkait. Cermati pengemulsi dalam daftar bahan makanan saat memilih produk pangan, khususnya bagi kelompok rentan seperti bayi, anakanak, sedang sakit atau baru sembuh dari sakit, dan lansia.

Regulasi saat ini “ketinggalan zaman”, tanpa mempertimbangkan kesehatan mikrobioma. Sudah saatnya mencantumkan label peringatan seperti “Dapat mengganggu kesehatan saluran cerna”.

Dengan memahami peran mikrobiota dan konsumsi pangan terhadap kesehatan, kita bisa membuat pilihan pangan yang lebih bijak. Usus sehat, tubuh pun kuat—dari anak-anak hingga usia lanjut.

Referensi: http://foodreview.co.id/epub/Ref%20Smart%20Eating. docx

Artikel Lainnya