Beberapa jenis umbi-umbian memiliki sifat fungsional yang berkhasiat untuk kesehatan, diantaranya memiliki nilai Indeks Glikemik (IG) yang rendah. Pangan yang memiliki nilai IG yang rendah dapat dijadikan alternatif yang murah untuk terapi diet penderita diabetes karena dapat menekan peningkatan kadar gula darah. Hal ini disebabkan karbohidrat pada pangan yang memiliki IG rendah akan dipecah dan diabsorpsi dengan lambat, sehingga menghasilkan peningkatan glukosa darah dan insulin secara lambat dan bertahap.
Garut: Umbi eksotis dengan IG rendah
Berdasarkan nilai IG-nya,pangan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan nilai IG <55, pangan IG sedang dengan nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan nilai IG >70. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan yang ber-IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan lambat sehingga pelepasan glukosa ke dalam darah juga lambat.
Salah satu umbi lokal yang memiliki nilai IG rendah (32) adalah umbi garut. Umbi ini bukan berasal dari daerah Garut, Jawa Barat tetapi memang namanya garut (Maranta arundinaceae) atau arrowroot. Memang sampai saat ini belum banyak masyarakat Indonesia yang mengenal umbi eksotik ini, padahal umbi garut memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan jenis umbi lainnya. Umbi garut merupakan sumber pati yang baik digunakan sebagai bahan pangan fungsional. Namun sangat disayangkan pemanfaatannya untuk kepentingan pangan secara komersil belum dieksplorasi secara optimum. Pengolahan garut menjadi pati akan meningkatkan nilai ekonomis umbi garut. Program pengembangan tanaman garut sebagai sumber bahan baku alternatif industri pangan diluncurkan mantan presiden BJ Habibie sejak 1998 sebagai salah satu langkah pemenuhan pangan nasional. Dasar pengembangan tanaman garut adalah niat pemerintah mengubah paradigma impor bahan pangan dan menjual produk lanjutan bukan sekedar hasil panen.
Di Indonesia pati umbi-umbian sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku dan bahan pembantu untuk industri pangan dan non pangan. Salah satu cara untuk meningkatkan kegunaan pati adalah dengan membuat modifikasi pati agar diperoleh sifat-sifat yang cocok untuk aplikasi tertentu. Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu yang bertujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya. Industri pangan sudah mulai memanfaatkan penggunaan pati termodifikasi sebagai bahan pembantu bagi produk makanan tertentu. Penambahan pati termodifikasi pada produk pangan dapat meningkatkan nilai fungsional dan mempunyai keunggulan kualitas. Keunggulan penggunaan pati termodifikasi dalam bentuk resistant starch dapat menjadikan produk lebih crispy, lebih baik dari segi mouthfeel, warna dan flavor bila dibandingkan dengan produk yang ditambahkan traditional ingredient seperti serat pangan yang tidak larut.
Salah satu ingridien pangan yang merupakan hasil modifikasi pati dan dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan pangan fungsional adalah pati resisten atau resistant starch (RS). Pati resisten adalah pati dan produk hasil degradasi pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim α-amilase dalam usus halus manusia yang sehat tetapi dapat difermentasi oleh mikroflora usus untuk menghasilkan asam lemak rantai pendek. Sajilata et al. (2006) menyatakan bahwa RS dapat berperan dalam mengurangi risiko timbulnya kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik, berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorpsi mineral. Pati resisten juga memiliki nilai kalori rendah, yaitu sebesar 11,7 kJ/g RS atau 1,9 Kkal/g, sehingga dapat dijadikan sebagai ingredien untuk pangan rendah kalori (Taggart 2004).
Modifikasi Pati Garut melalui Proses Siklus Pemanasan-Pendinginan
Pati garut berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku untuk menghasilkan RS. Secara alami sebagaimana sumber pati lainnya, pati garut memiliki kadar pati resisten yang rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan pati resisten adalah dengan proses retrogradasi pati yang dapat menghasilkan RS. Retrogradasi pati dapat dilakukan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi (autoclaving) yang dilanjutkan dengan proses pendinginan (cooling) (Lehmann et al. 2003). Proses autoclaving-cooling tersebut diulang beberapa kali untuk meningkatkan jumlah pati yang teretrogradasi (Zabar et al. 2008).
Proses modifikasi dilakukan melalui perlakuan proses pemanasan pasta pati garut pada suhu tinggi di dalam otoklaf bersuhu 121oC (tahap autoclaving),kemudian dilanjutkan dengan penyimpanan dingin pada suhu 4oC (tahap cooling) selama 24 jam. Proses autoclaving-cooling dilakukan sebanyak 3 siklus. Tahap proses pemanasan di dalam otoklaf bertujuan menggelatinisasi pati dan mempercepat keluarnya molekul amilosa dari granula pati. Hal ini disebabkan fraksi amilosa lebih mudah dan cepat mengalami retrogradasi dibandingkan amilopektin (Shin et al. 2007). Tahap proses pendinginan (cooling) bertujuan untuk mempercepat retrogradasi pati. Selama proses pendinginan terjadi retrogradasi pati, yaitu amilosa dengan amilosa dan amilosa dengan amilopektin berikatan kembali satu sama lain melalui ikatan hidrogen yang menyebabkan struktur pati menjadi lebih kompak dan lebih sulit mengalami hidrolisis oleh enzim amilase. Hasilnya adalah pati garut yang termodifikasi dengan peningkatan kadar RS sekitar 6,5 kali lipat bila dibandingkan pati garut alami. Pati garut termodifikasi memiliki kadar`RS sebesar 13,80%, sedangkan pati garut alami sebesar 2,12%.
Peningkatan kadar RS pada pati garut termodifikasi diiringi dengan penurunan daya cerna pati secara in vitro. Pati garut alami memiliki daya cerna pati yaitu 84,35% sedangkan pati garut termodifikasi sebesar 72,56%. Dengan demikian, penambahan ingridien pati hasil modifikasi melalui proses siklus autoclaving-cooling pada produk pangan akan menurunkan daya cerna pati sehingga dapat menurunkan nilai IG produk.
Cookies berbahan baku pati garut termodifikasi
Cookies merupakan jenis makanan camilan yang disukai oleh hampir semua tingkat umur mulai balita sampai orang dewasa. Produk cookies dapat dijadikan sebagai pangan fungsional apabila cookies tersebut memiliki sifat fungsional bagi kesehatan, diantaranya dapat mengontrol kadar gula darah dan memiliki IG yang rendah. Sifat fungsional tersebut dapat diperoleh melalui perubahan ingridien utama yaitu penggantian tepung terigu dengan pati garut termodifikasi dengan siklus pemanasan pendinginan yang banyak mengandung RS. Namun, substitusi ini harus diperhatikan jangan sampai hal tersebut dapat menyebabkan perubahan karakteristik sensori produk yang dihasilkan. Dalam hal ini, analisis organoleptik terhadap produk yang dihasilkan memegang peranan yang cukup penting untuk dilakukan.
Hasil analisis organoleptik terhadap cookies berbahan baku pati garut termodifikasi yaitu produk lebih renyah dengan tingkat kekerasan yang rendah. Penambahan RS pada produk pangan dapat digunakan sebagai bahan yang dapat meningkatkan kerenyahan makanan yang pengolahannya menggunakan suhu tinggi. Bagaimana dengan rasa dan aromanya?, ternyata tidak kalah dengan cookies yang terbuat dari tepung terigu. Penggunaan pati garut termodifikasi sebagai bahan baku utama pembuatan cookies tidak menyebabkan perubahan pada rasa cookies dan dapat tetap menjaga aroma cookies yang dihasilkan.
Cookies dengan IG rendah dari Pati Garut Termodifikasi
Bahan pangan sumber karbohidrat akan dicerna menjadi glukosa untuk dapat diserap ke dalam aliran darah dengan kecepatan yang berbeda-beda, sehingga kemampuannya untuk meningkatkan kadar gula darah juga berbeda-beda. IG adalah penggolongan makanan berdasarkan respon kadar gula darah setelah makan (postprandial) yang diperbandingkan dengan suatu pangan acuan atau tingkatan pangan menurut pengaruhnya terhadap kadar glukosa darah.
Nilai IG ditentukan dengan cara membandingkan luas area di bawah kurva respon glikemik pangan yang diuji dengan luas area dibawah kurva respon glikemik pangan acuan. Kurva respon glikemik pangan diperoleh dari data pengukuran kadar glukosa darah subjek setelah makan dengan interval 30 menit. Kurva akan menggambarkan efek glikemik dari pangan, yaitu ukuran seberapa cepat dan seberapa tinggi kadar glukosa darah naik, dan seberapa cepat tubuh merespon dengan membuat kadar glukosa darah kembali normal setelah makan. Sebagai pangan acuan digunakan glukosa murni atau roti tawar yang dianggap memiliki nilai IG 100.
Nilai IG cookies yang terbuat dari pati garut termodifikasi lebih rendah (31) bila dibandingkan dengan cookies terigu (44).
Rendahnya nilai IG cookies pati garut termodifikasi disebabkan lebih tingginya kandungan serat pangan total dan RS, serta lebih rendahnya daya cerna pati dibandingkan dengan cookies terigu. Serat pangan dan RS merupakan komponen yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan sekaligus dapat menghambat metabolisme karbohidrat dalam saluran pencernaan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pati garut termodifikasi sebagai bahan baku dalam pembuatan cookies dapat menurunkan nilai IG cookies.
Beban Glikemik Cookies
Selain nilai IG, pangan sumber karbohidrat juga harus diperhitungkan nilai beban glikemiknya (BG). Beban glikemik bertujuan menilai dampak konsumsi karbohidrat dengan mempertimbangkan IG pangan. Beban glikemik memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar gula darah karena memperhitungkan pula jumlah karbohidrat riil yang dikonsumsi.
Berdasarkan nilai beban glikemiknya, satu takaran saji dari suatu pangan digolongkan bernilai BG rendah apabila memiliki nilai BG <10, tergolong bernilai BG sedang apabila memiliki nilai BG 11-19, dan termasuk bernilai BG tinggi apabila memiliki nilai BG >20. Bila kedua cookies disajikan dalam jumlah yang sama, yaitu sebanyak 32 gram, maka beban glikemik cookies terigu dan cookies pati garut termodifikasi diperoleh berturut-turut sebesar 9 dan 7, sehingga tergolong bernilai BG rendah.
Substitusi tepung terigu pada cookies dengan pati garut termodifikasi dalam bentuk RS dapat menurunkan nilai IG dan BG sehingga produk pangan ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam pemenuhan diet khususnya untuk penderita diabetes.
Oleh Didah Nur Faridah
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Juli 2011)