Oleh Nur Aini Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman
Semakin meningkatnya kesadaran manusia untuk mengonsumsi pangan fungsional meningkatkan kebutuhan akan sumber-sumber pangan fungsional.
Oleh karena itu, dilakukan upaya menggali bahan-bahan yang memiliki senyawa bioaktif sebagai sumber pangan fungsional. Di Indonesia, sumber pangan fungsional dapat diperoleh dari sumber-sumber pangan lokal, termasuk produk samping pengolahan pangan lokal (by product), diantaranya bekatul.
Bekatul merupakan salah satu hasil samping pengolahan padi. Penggilingan padi akan menghasilkan beras (70%) yang berasal dari bagian endosperma, lainnya adalah produk samping berupa dedak (5%), bekatul (5%) dan sekam (20%). Bekatul berbeda dengan dedak. Bekatul terdiri dari lapisan dalam butiran beras yaitu aleuron/kulit ari beras serta sebagian kecil endosperma, sedangkan dedak terdiri dari lapisan terluar butiran beras serta lembaga (germ). Tahap penyosohan pertama pada proses penggilingan padi menghasilkan by product berupa dedak, sedangkan proses penyosohan kedua mendapatkan hasil samping berupa bekatul (Astawan & Febrinda, 2010).
Pada tahun 2022, produksi padi di Indonesia sebanyak 54,75 ton, sehingga potensi bekatul mencapai 5,475 ton. Selama ini, di Indonesia bekatul lebih banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan sebagai bahan pangan masih terbatas. Padahal melihat potensi bekatul, baik secara kuantitas maupun kualitas, memiliki potensi yang besar sebagai pangan fungsional. Namun demikian, akhir-akhir ini telah ada upaya mengolah bekatul menjadi produk pangan dengan semakin terbukanya pengetahuan tentang komponen bioaktif pada bekatul dan manfaatnya sebagai pangan fungsional.
Komponen gizi dan senyawa bioaktif bekatul
Sebagaimana disebutkan di atas, bekatul merupakan hasil samping pengolahan padi menjadi beras. Berdasarkan warnanya, beras dibedakan menjadi beras putih, merah dan hitam. Setiap jenis beras tersebut memiliki komposisi yang berbeda, demikian juga bekatulnya.
Senyawa-senyawa gizi yang terdapat pada bekatul adalah protein 11-17%, minyak 12-22%, serat pangan 6-14%, mineral 8-17% dan vitamin. Protein pada bekatul terdiri dari asam-asam amino esensial yaitu histidin, triptofan, metionin, arginin dan sistein.
Minyak pada bekatul banyak tersusun dari asam lemak tak jenuh yaitu oleat dan linoleat. Minyak bekatul juga memiliki γ-oryzanol 1,5%, yang merupakan penciri bekatul. γ-oryzanol bersifat sebagai antioksidan dan menurunkan penyerapan kolesterol.
Komponen terbesar serat bekatul adalah serat tidak larut, seperti pektin, hemiselulosa, selulosa, lignin dan b-glukan. Vitamin pada bekatul terdiri dari thiamin (B1), riboflavin (B2), niasin (B3), asam pantotenat (B5), piridoksin, asam folat, biotin, kolin, dan inositol. Komposisi mineral pada bekatul terdiri dari zat besi (Fe), seng (Zn), mangan (Mn), tembaga (Cu), iodium (I), kalsium (Ca), fosfor (P), kalium (K), natrium (Na) dan magnesium (Mg).
Bekatul juga tersusun dari beberapa komponen bioaktif antara lain vitamin E (a-tokoferol, g-tokoferol, tocotrienol), asam ferulat, γ- oryzanol, asam kafeat, asam fitat, gamma aminobutyric acid (GABA) dan senyawa fitosterol (stigmasterol, (b-sitosterol dan kampesterol). GABA meningkatkan fungsi daya ingat, menurunkan gejala depresi dan tekanan darah. Fitosterol berperan menurunkan kadar LDL kolesterol serta mencegah hipertensi bagi orang normal. Khusus beras merah dan hitam mengandung senyawa antosianin, sedangkan beras merah mengandung beta karoten. Masing-masing komponen makro dan bioaktif pada bekatul berperan terhadap sifat fungsional. Semua jenis bekatul memiliki kandungan senyawa fenolik yang dapat menghambat terbentuknya radikal bebas, mempengaruhi kerja enzim dan menurunkan kadar kolesterol. Senyawa fenolik dalam bekatul meliputi asam ferulat, asam salisilat, asam kafeat, asam kumarat dan α tokoferol.
Peran bekatul sebagai bahan pangan fungsional
Berdasarkan komponen bioaktif dan kadar seratnya, maka bekatul memiliki beberapa peran sebagai pangan fungsional, yaitu memiliki aktivitas antioksidan, menurunkan kolesterol darah (hipokolesterolemik) dan mencegah kanker (kemopreventive). Akhir-akhir ini, banyak terjadi stres oksidatif pada tubuh yang memicu timbulnya beberapa penyakit seperti kanker, jantung koroner, diabetes melitus, dan stroke. Senyawa antioksidan pada bekatul dapat mencegah pembentukan radikal bebas yang memicu terjadinya stres oksidatif, sehingga mencegah timbulnya penyakitpenyakit tersebut. Ada beberapa jenis senyawa antioksidan pada bekatul, misalnya tokoferol, flavonoid, asam fenolik, tocotrienol, antosianin, proantosianin, g-oryzanol dan asam fitat yang berperan dalam mencegah beberapa penyakit (Tabel 1).
Peran bekatul sebagai antioksidan tergantung pada varietas padi dan pigmen warna pada beras. Beras merah memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi daripada beras putih, sedangkan beras hitam memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi daripada beras merah. Hal ini disebabkan beras hitam dan beras merah memiliki kadar fenolik, flavonoid dan antosianin lebih tinggi dibandingkan beras putih (Tabel 2). Jenis antosianin yang paling dominan pada beras yang memiliki pigmen warna yaitu cyanidin-3-O-glucoside, diikuti oleh peonidin-3-O-glucoside.
Bekatul memiliki peran menurunkan kolesterol pada darah (hipokolesterolemik). Perannya sebagai bahan yang bersifat hipokolesterolemik diakibatkan adanya serat pangan sejumlah 6-14% pada bekatul. Serat pada bekatul terdiri dari serat larut (7– 13%) dan serat tidak larut (Sharif et al., 2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian serat pangan mampu menurunkan kolesterol total dan kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) pada tikus hiperkolesterolemik. Serat pangan pada bekatul dapat mengikat asam empedu di usus halus kemudian mengekskresikannya bersama feses. Sebagai akibatnya, kolesterol tubuh dipecah untuk menggantikan asam empedu yang hilang. Hal ini mengakibatkan menurunnya kadar kolesterol.
Hasil penelitian secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa bekatul memiliki aktivitas kemopreventif terhadap kanker kolon, payudara, hati, dan kulit, yang ditunjukkan dari hasil. Penelitian Dapar dalam Tuarita et al. (2017) menunjukkan bahwa ekstrak etanol bekatul memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker paruparu A549 dan kanker kolon HCT 116. Selain itu, konsumsi beras pecah kulit (brown rice) pada manusia mampu menurunkan jumlah adenoma dan pendarahan usus. Konsumsi beras pecah kulit minimal seminggu sekali seminggu dapat menurunkan risiko pembentukan polip kolorektal sebesar 40 persen. Kemampuan bekatul dalam mencegah kanker disebabkan tingginya serat pangan dan komponen bioaktif pada bekatul. Kadar serat pangan yang tinggi pada bekatul juga dapat digunakan untuk mengontrol gula darah.
Pengolahan bekatul menjadi pangan fungsional
Melihat komponen bioaktif yang ada pada bekatul dengan berbagai potensinya sebagai pangan fungsional, maka sangatlah mungkin mengembangkan aneka pangan fungsional dari bekatul. Saat ini, beberapa produk olahan bekatul sudah ada di pasaran, misalnya dalam bentuk sereal siap saji atau minuman.
Pengembangan pangan fungsional berbasis bekatul dapat dilakukan melalui dua metode yaitu fortifikasi senyawa bioaktif atau ekstrak ke dalam pangan dan penggunaan bekatul yang mengandung senyawa bioaktif secara langsung. Masing-masing cara tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Keunggulan metode fortifikasi adalah konsentrasi senyawa bioaktif dapat dikontrol, akan tetapi kelemahannya adalah biaya ekstraksi yang cukup tinggi.
Penggunaan bekatul secara langsung sebagai pangan memiliki kelebihan lebih murah serta tidak perlu proses ekstraksi, tetapi jumlah dan keberadaan senyawa bioaktif dapat beragam. Akan tetapi, penggunaan bekatul beras secara langsung sebagai bahan pangan fungsional memiliki kendala secara sensoris dan adanya perubahan karakteristik produk. Bekatul memiliki jumlah serat tidak larut tinggi sehingga produk lebih sulit ditelan. Serat tidak larut ini juga yang menyebabkan perubahan sifat produk pangan, misalnya kekohesifan dan kekompakan menurun, daya ikat air menurun, lebih rapuh, sulit untuk dipotong, pada roti kurang mengembang, serta pada mi menghasilkan tekstur kurang elastis dan kompak.
Permasalahan lain yang terjadi pada penggunaan bekatul secara langsung pada produk pangan adalah timbulnya aroma langu yang diakibatkan oksidasi lemak pada bekatul. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan cara stabilisasi bekatul melalui inaktivasi atau denaturasi enzim lipase yang menyebabkan terjadinya oksidasi pada lemak dalam bekatul. Stabilisasi bekatul dapat dilakukan menggunakan beberapa cara, yaitu metode pemanasan dan tanpa pemanasan. Metode pemanasan terdiri dari pemanasan dengan steaming, microwave, ekstrusi dan infrared, sedangkan metode tanpa pemanasan terdiri dari iradiasi sinar ultraviolet dan pendinginan (Yu et al., 2020).
Jumlah penambahan bekatul dalam formula produk pangan tergantung dari jenis produk dan proses pengolahannya. Faktor yang membatasi tingkat penambahan ini adalah perubahan palatabilitas dan karakteristik produk yang tidak diinginkan. Oleh karena itu perlu adanya uji coba tingkat penambahan bekatul beras yang masih dapat diterima konsumen dalam pengembangan pangan fungsional mengandung bekatul beras Hal lain yang penting diperhatikan adalah keberadaan senyawa bioaktif selama proses pengolahan. Beberapa senyawa bioaktif dalam bekatul seperti asam lemak bekatul, yakni linoleat dan linolenat sensitif terhadap proses termal pada pengolahan pangan. Paparan terhadap oksigen selama pengolahan seperti pengeringan menggunakan udara panas menyebabkan beberapa senyawa bioaktif dapat teroksidasi seperti antosianin dan fitosterol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi tepung kedelai dan bekatul beras sampai 15% ke dalam biskuit menghasilkan produk dengan nilai gizi lebih tinggi tanpa mengakibatkan perubahan parameter sensoris. Pada kukis, suplementasi bekatul tanpa lemak hingga 20% tidak menyebabkan perubahan sifat sensoris.
Bekatul mengandung protein albumin dan globulin yang tinggi, yang dapat diekstrak dari bekatul utuh atau bekatul yang sudah dihilangkan lemaknya. Teknik ekstraksi dan jenis bekatul mempengaruhi kadar protein pada konsentrat protein yang dihasilkan, yaitu 19,4-76,1% dari bekatul utuh dan 17,5-85,0% dari bekatul tanpa lemak. Kualitas protein bekatul dapat dilihat dari nilai Protein Efficiency Ratio (PER)-nya, yaitu untuk bekatul 1,59-2,04, sedangkan konsentrat protein bekatul memiliki PER 1,99-2,19; dengan asam amino pembatas adalah treonin dan isoleusin. Konsentrat protein bekatul dapat dimanfaatkan untuk pangan bayi, minuman, roti dan permen.
Produk lain dari bekatul yang sudah dikomersialkan adalah minyak bekatul. Minyak bekatul memiliki stabilitas baik, flavor enak dan tahan lama sebagai minyak goreng. Minyak bekatul juga sesuai digunakan untuk membuat margarin, shortening, dan minyak (Yunardi et al., 2020). Selain untuk pangan, minyak bekatul sesuai digunakan untuk farmasi dan kosmetik. Minyak bekatul mengandung komponen bioaktif seperti vitamin larut lemak, sitosterol, serta fitosterol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekatul beras berpotensi sebagai ingridien pangan fungsional. Sinergisme antarsenyawa bisa terjadi dalam memodulasi efek positif terhadap kesehatan pangan fungsional mengandung bekatul beras. Kombinasi beberapa senyawa dalam bekatul diharapkan menghasilkan pangan fungsional dengan manfaat kesehatan lebih baik dibandingkan bahan pangan yang hanya mengandung satu senyawa bioaktif. Para pengusaha perlu diberi dorongan untuk mengembangan bekatul sebagai sumber komponen bioaktif yang potensial untuk pengembangan pangan fungsional.
Referensi:
- Astawan, M., & Febrinda, E. (2010). Potensi Dedak dan Bekatul Beras Sebagai Ingredient Pangan dan Produk Pangan Fungsional. Jurnal Pangan, 19(1), 14–21.
- Estiasih, T., Ahmadi, K., & Santoso, V. (2021). Senyawa bioaktif dan potensi bekatul beras (Oryza sativa) sebagai bahan pangan fungsional. Jurnal Teknologi Pangan, 12(1), 33–46.
- Tuarita, M. Z., Sadek, N. F., Sukarno, Yuliana, N. D., & Budijanto, S. (2017). Pengembangan Bekatul sebagai Pangan Fungsional: Peluang, Hambatan, dan Tantangan. JURNAL PANGAN, 26(2), 167–176.
- Yu, C. wei, Hu, Q. rui, Wang, H. wei, & Deng, Z. yuan. (2020). Comparison of 11 rice bran stabilization methods by analyzing lipase activities. Journal of Food Processing and Preservation, 44(4). https://doi.org/10.1111/ jfpp.14370
- Yunardi, Y., Meilina, H., Fathanah, U., Mahadina, R., Rinaldi, A., & Jauharlina, J. (2020). Potential of edible oil production from rice bran in Indonesia: A Review. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 845(1). https://doi.org/10.1088/1757- 899X/845/1/01203