Disamping masalah mendasar yang menyangkut pelaksanaan cara-cara baik produksi pangan (good manufacturing practices) yang masih dihadapi, industri pangan Indonesia ?khususnya yang berorientasi ekspor- juga harus menghadapi berbagasi isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan (emerging). Berbagai isu keamanan pangan ini terutama disebabkan karena berbagai faktor, antara lain (i) perubahan praktek pertanian (termasuk peternakan dan perikanan), (ii) meningkatnya perpindahan barang (perdagangan) dan manusia (perjalanan, turisme) internasional, (iii) perubahan teknologi pengolahan, (iv) perubahan proporsi populasi (perubahan proporsi populasi yang rentan), dan (v) perubahan gaya hidup.
Berbagai faktor tersebut telah mengakibatkan munculnya berbagai isu baru terkait dengan keamanan pangan (baca juga Emerging Pathogens). Tulisan ini akan memfokuskan diri pada salah satu isu saja, yaitu tentang emerging chemical food safety.
Secara umum, permasalahan keamanan kimia pangan umumnya berkisar pada adanya peluang terjadinya kontaminasi oleh bahan-bahan kimia berbahaya, seperti pestisida, residu obat hewan, residu hormon, mikotoksin dan kontaminan lainnya. Dengan perubahan dan perkembangan teknologi, dibantu dengan majunya teknik deteksi dan analisis, maka berbagai kontaminan baru terkait dengan keamanan pangan banyak yang bermunculan. Disamping itu, muncul pula istilah ?processing contaminants?? yaitu kontaminan yang diproduksi selama proses pengolahan pangan (terutama selama proses pemanasan dan fermentasi). Kontaminan ini tidak terdapat pada bahan baku sebelum diolah, tetapi dibentuk oleh reaksi kimia tertentu selama proses pengolahan. Keberadaan ?kontaminan pengolahan? ini tidak bisa dihindari, namun pemilihan dan pengendalian teknologi pengolahan yang lebih baik perlu dilakukan untuk bisa meminimalisasi pembentukan kontaminan pengolahan tersebut.
a) Akrilamida.
Dalam bentuk murninya, akrilamida yang mempunyai rumus kimia CH2CHCONH2 dan berat molekul 71 ini berupa senyawa tidak berwarna dan tidak berbau. Akrilamida - disebut juga 2-propenamide; ethylene carboxamide; acrylic amide; atau vinyl amide- adalah senyawa kimia yang dicurigai bersifat karsinogenik pada manusia. WHO Expert Consultation menyadari bahwa keberadaan akrilamida pada produk pangan telah menjadi perhatian keamanan pangan utama dalam kaitannya dengan kemampuannya untuk merangsang kanker dan mutasi pada hewan percobaan.
Dalam kaitannya dengan pengolahan, senyawa akrilamida terbentuk selama proses pengolahan bahan pangan kaya karbohidrat yang menggunakan suhu sangat tinggi, terutama pada proses pemanggangan dan penggorengan, dengan mekanisme pembentukan seperti pada Gambar 1. Diketahui bahwa faktor-faktor yang perlu dikendalikan dalam sintesis akrilamida adalah (i) kadar asparagine, (ii) kadar gula pereduksi (misalnya glukosa, fruktosa), (iii) aktivitas air (aw), dan suhu pengolahan.
b)Benzena pada produk minuman.
Benzena merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik. Karena sifatnya itu maka the US Environmental Protection Agency (EPA) menetapkan batas maksimum yang diperbolehkan pada air minum sebanyak 5 ppb. Sebagai catatan, batas maksimum benzena pada air minum menurut World Health Organization (WHO) adalah 10 ppb. Hubungan antara benzena dan keamanan pangan muncul karena adanya kebiasaan pemakaian benzoat pada minuman bervitamin C. Hasil penelitian yang dipublikasikan di Journal of Agricultural and Food Chemistry (volume 41, pages 693-695, 1993) menunjukkan bahwa benzena bisa terbentuk melalui reaksi dekarboksilasi ion benzoat dalam kondisi asam. Radikal bebas hidroksil (OH*) akan terbentuk dari reaksi antara asam askrobat dan oksigen terlarut, khususnya dipicu oleh keberadaan sejumlah kecil ion-ion logam transisi, seperti Cu2+ dan Fe3+. Selanjutnya, (OH*) akan menyerang benzoat sehingga mengalami proses dekarboksilasi, yang salah satu hasil proses dekarboksilasi itu adalah benzena. Diketahui pula bahwa pembemtukan benzena maksimum akan terjadi pada kondisi pH 2 dan semakin melambat jika nilai pH dinaikkan sampai dengan pH 7. Faktor-faktor yang perlu dikendalikan selama proses adalah konsentrasi (i) benzoat, (ii) asam askrobat (vitamin C), (iii) keberadaan logam Cu dan Fe, (iv) keasaman (pH), dan (v) suhu proses.
c) Monochloropropanediol (3-MCPD)
Monochloropropanediol pertama kali diidentifikasi pada produk hidrolisis asam protein nabatri (acid-HVP). Selanjutnya diketahui bahwa senyawa ini ditemukan pula pada berbagai produk pangan olahan lainnya, seperti produk pastries, salami, keju. 3-monochloropropane-1,2-diol dalam bahan pangan terbentuk melalui reaksi antara klorida dan lipida. Kekhawatiran mengenai 3-MCPD disebabkan karena senyawa ini bersifat karsinogenik pada hewan percobaan. Dengan alasan itu, maka European Commission?s Scientific Committee on Food (SCF) telah menetapkan bahwa tingkat asupan yang diperobolehkan (tolerable daily intake/TDI adalah 2?g/kg berat badan/hari. Selanjutnya, European Food Legislation menetapkan batas maksimum (regulatory limit ) untuk 3-MCPD pada hidrolisat protein nabati dan kecap (soy souce) 0.02 mg/kg produk (dengan kadar berat kering 40%). Dalam perkembangannya diketahui bahwa beberapa factor yang diduga berkaitan dengan proses pembentukannya adalah suhu, aw dan pH, tetapi sampai sekarang belum diketahui lintasan umum pembentukannya. Untuk itu, berbagai peraturan telah dibuat untuk mengendalikan risiko keamanan pangan dari 3-MCPD. Peraturan tersebut ?misalnya- membatasi penggunaan HVP sebagai ingridien flavor.
d) Food Contact Materials
Food contact materials adalah semua bahan dan komponen yang ?dengan segaja/intended? akan mengalami kontak dengan bahan pangan, tidak hanya yang berkaitan dengan bahan pengemas, tetapi juga pisau, wadah, dan alat-alat pengolahan lainnya. Bahkan, istilah ini juga mencakup bahan dan komponen yang mengalami kontak dengan air yang digunakan untuk konsumsi manusia.
Secara umum food contact materials harus aman dan tidak menyebabkan terjadinya transfer atau migrasi ke dalam bahan pangan melebihi jumlah yang bisa diterima secara keamanan pangan. Dalam kaitannya dengan keamaman pangan, dikenal ada dua batas migrasi telah ditetapkan, yaitu Overall Migration Limit (OML) dan Specific Migration Limit (SML). Dalam upaya memastikan perlindungan kesehatan konsumen dan menghindari adanya kontaminasi pada bahan pangan, maka perlu ditetapkan batas migrasi, baik OML maupun SML. Salah satu senyawa yang menjadi perhatian adalah Bisphenol A (BPA). BPA adalah senyawa organik yang digunakan untuk mensintesis plastik. Karena pemakaian plastik yang sangat meluas, terutama sebagai bahan pengemas (botol air, botol minuman, botol susu) polikarbonat. BPA juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan resin epoksi yang digunakan untuk pelindung bagian dalam kaleng dan tutup kaleng.
Kekhawatiran mengenai BPA muncul sejak dilaporkan adanya kemungkinan migrasi BPA pada bahan pengemas ke produk pangan, sedangkan BPA merupakan senyawa karsinogenik pada hewan percobaan. Walaupun karakterisasi BPA masing ?uncertain?, tetapi berbagai badan keaman pangan di dunia menyatakan bahwa ?the possibility of adverse health effects cannot be dismissed. Tidak hanya BPA, berbagai komponen yang berpotensi sebagai bahaya, perlu mendapatkan perhatian industri pangan Indonesia.
e) Allergen
Alergen pangan adalah komponen dalam bahan pangan yang bisa menyebabkan reaksi alergi. Alergen pangan diyakini menjadi penyebab masalah alergi bagi sekitar 11 juta manusia dewasa dan anak-anak di Amerika. Di Inggris, masalah alergi ini dialami oleh sekitar 1-2% populasi penduduk dewasa dan sekitar 5-7% populasi anak-anak, atau sekitar 1,5 juta penduduk Inggris. Angka populasi yang mengalami masalah alergi ini di Indonesia belum diketahui. Tetapi jelas, walaupun masalah alergi ini sepertinya hanya mempengaruhi populasi dalam proporsi yang relatif kecil, namun implikasi kesehatannya bisa sangat serius. Bahkan, menurut laporan Journal of Allergy and Clinical Immunology, di Amerika Serikat saja, setiap tahun sekitar lebih dari 29.000 orang harus dirawat di rumah sakit dan 150 sampai 200 orang meninggal karena reaksi alergi yang disebabkan mengkonsumsi produk pangan yang mengandung alergen.
Sebenarnya lebih dari 170 jenis pangan telah diketahui mengandung komponen yang bisa memicu reaksi alergi. Namun demikian, menurut laporan kasus alergi, terdapat delapan (8) jenis bahan pangan penyebab terjadinya sekitar 90% kasus-kasus reaksi alergi karena pangan. Delapan jenis bahan pangan tersebut adalah susu, ikan, udang dan kerang-kerangan, kacang tanah, kacang pohon (tree nuts), gandum, dan kedele serta produk-produk turunannya.
Untuk melindungi konsumen dari ketidaksengajaan (atau ketidaktahuan) mengkonsumsi produk pangan yang mengandung alergen pangan, maka pemerintah perlu mengembangkan regulasi yang mengenai allergen ini. Sebagai ilustrasi, telah sejak Agustus tahun 2004,di AS diterbitkan Undang-Undang Pelabelan Alergen dan Perlindungan Konsumen (Food Allergen Labeling and Consumer Protection Act). Banyak ekspor pangan Indonesia ditolak karena pelabelannya tidak sesuai dengan peraturan pelabelen ini. .
f) Bioterorisme: Intended Contamination?
Jika permasalahan keamanan pangan yang telah dibahas di depan masuk dalam kategori unintended contamination, maka permasalahan keamanan pangan yang terkait dengan bioterorisme ini lebih fokus pada kontaminasi yang memang disengaja (intended contamination) dilakukan oleh orang-orang yang berniat menyebarkan terror. Isu terkait dengan bioterorsime ini mengemuka terutama di Negara-negara maju, khususnya dipicu dengan peristiwa 9/11 di Amerika. Walaupun permasalahan ini belum mencuat di Indonesia, tetapi bagi industri yang harus melakukan ekspor ke beberapa Negara maju (ke Amerika, Australia dan Eropa ?misalnya) harus mengikuti ketentuan-ketentuan tambahan yang berkaitan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya bioterorisme ini.
Ada pula kasus intended contamination dengan motif lain; yaitu motif pemalsuan atau penipuan.
Kasus kontaminasi melamin yang sedang heboh di Cina adalah contohnya. Melamin adalah senyawa organik yang jika dikombinasikan dengan formaldehida akan menghasilkan resin yang tahan panas dan api. Karena itulah maka kegunaan melamin adalah untuk pembuatan plastik untuk alat-alat dapur dan bahkan lantai yang tahan panas/api. Melamin menjadi berita setelah terjadi ribuan anjing dan kucing yang mengalami gagal ginjal, bahkan kematian sebagai akibat mengkonsumsi pakan yang diimpor dari Cina. Ternyata diketahui pakan tersebut terkontaminasi dengan melamin. Badan resmi AS percaya bahwa kontaminasi berasal dari salah satu ingridien pakan, yaitu protein gluten yang secara sengaja ditambahkan melamin untuk mendongkrak kandungan nitrogen (diekivalenkan dengan kandungan protein)- karenanya juga mendongkrak harga.
Celakanya; kasus yang sama ternyata juga ditemukan pada susu formula bayi. Kontaminasi melamin ini menjadi berita besar; karena mengakibatkan 3 bayi dilaporkan meninggal diperkirakan sekitar 6,200 lainnya sakit. Harga yang terlalu tinggi harus dibayar untuk praktek yang tidak bertanggung-jawab. Permasalahan intended contamination, penipuan dan pemalsuan ini juga terjadi di Indonesia. Dengan beban ekonomi yang semakin menekan, biasanya berkorelasi dengan meningkatnya kasus penipuan dan pemalsuan ini. Kasus daging sapi ?glongongan?; ?daging sampah?, penggunaan formalin sebagai pengawet adalah contoh-contoh nyata. Masalah ini perlu mendapatkan perhatian dari semua stakholder industri pangan. Terlalu besar risikonya jika hal ini tidak cepat ditangani. Purwiyatno Hariyadi