Oleh Anton Rahmadi
Sekalipun Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia, kualitas dan kuantitas ekspor kakao nusantara diklaim terus menurun sejak beberapa tahun terakhir. Instabilitas harga kakao di pasar dunia, merupakan salah satu permasalahan yang sering dijadikan tumbal untuk komoditas ini.
Akan tetapi, kita sering lupa bila kualitas juga menentukan harga. Tidak sedikit produk kakao asal Indonesia yang mengalami automatic detention di negara-negara tujuan ekspor, utamanya Eropa dan Amerika. Dari sudut pandang kualitas, kita harus mengakui bahwa terdapat masalah-masalah mendasar yang perlu dibenahi untuk komoditas kakao nusantara.
Biji kakao yang baik, menurut standar perdagangan dunia adalah yang terfermentasi sempurna, berbau khas kakao, tidak mengandung kotoran fisik, serangga, dan jamur. Batas toleransi off-grade yang diperkenankan kurang dari 3% dari bobot keseluruhan.
Berdasarkan pengamatan dan berbagai hasil penelitian kakao di Indonesia maupun dunia, permasalahan kualitas biji kakao dapat dibagi ke dalam beberapa golongan besar yaitu pemalsuan mutu (adulterasi), residu pestisida dan logam berat, bakteri enteropatogen dan salmonela, jamur dan mikotoksin, serta isu terbaru senyawa Advanced Glycation Ends (AGE) sebagai produk samping proses penyangraian (roasting).
Keamanan fisik
Adulterasi merupakan problem utama komoditas kakao di Indonesia. Cangkang kosong kakao, potongan ranting halus, serta butiran halus tanah dan batu sering ditemukan sebagai adulteran. Praktik pemalsuan mutu umumnya terjadi di tingkat petani dan pengumpul yang menginginkan peningkatan berat akhir produknya. Di Indonesia, sepertinya belum terdapat data kuantifikasi adulterasi produk kakao dari petani, pengumpul, hingga pedagang besar.
Keamanan kimia
Residu pestisida dalam produk kakao utamanya terjadi di perkebunan monokultur skala besar. Namun, tidak tertutup kemungkinan perkebunan kakao di Indonesia juga menggunakan pestisida dalam jumlah besar untuk mengatasi serangan Vascular Streak Dieback (VSD) dan Cocoa Pod Borer (CPB). Sekalipun biji kakao tidak terpapar pestisida secara langsung, residunya akan mengendap di permukaan tanah. Biji kakao akan tercemar pestisida saat proses fermentasi kakao yang umumnya dilakukan di atas permukaan tanah beralas terpal.
Perkebunan kakao yang terletak di daerah pertambangan, contohnya di Kalimantan Timur, akan rentan tercemar logam berat yang terkumpul di tanah, udara, dan air dalam. Sebuah studi di Kanada memaparkan bahwa cangkang kakao dapat menjadi penyerap logam berat yang sangat efisien dalam kondisi asam (fermentasi). Ini membuktikan bahwa ada potensi bahaya kandungan logam berat yang dapat muncul apabila proses fermentasi kakao dilakukan di lingkungan perkebunan yang tercemar.
Keamanan mikrobiologi
ICMSF (2005) menjadikan Salmonella dan bakteri enteropatogenik sebagai fokus utama keamanan mikrobiologis produk kakao baik biji, bubuk, hingga olahan (coklat batangan). Salmonella yang bertahan hidup umumnya dari strain tahan asam dengan memanfaatkan gula, protein dan lemak di dalam biji kakao. Dikarenakan agresivitasnya, Salmonella termasuk bakteri yang sangat berbahaya dalam dosis infeksi yang sangat rendah. Standar keberadaan Salmonella dalam produk kakao adalah tidak terdeteksi dalam 25 g sampel. Sementara itu, bakteri enteropatogenik mengkontaminasi dan mampu bertahan hidup sejak proses pasca panen. Tangan pekerja, alat dan tanah yang tercemar adalah sumber utama penyebaran bakteri ini di produk kakao (Da Silva do Nascimento. et al., 2009).
Dalam penelitian kami (Rahmadi dan Fleet, 2007), populasi jamur pada produk biji kakao kering asal Indonesia selepas fermentasi dan pengeringan di bawah sinar matahari berkisar antara 2 x 104 hingga 7 x 106 koloni per gram sampel. Diantara puluhan spesies jamur yangberhasil diisolasi, Aspergillus flavus dan Aspergillus niger mendominasi mikroflora pada biji kakao kering tersebut. Sekitar setengah dari strain-strain Aspergillus flavus diketahui dapat memproduksi aflatoksin, sementara Aspergillus niger saat ini diketahui dapat pula memproduksi okratoksin A. Beberapa publikasi di tahun 2003 hingga 2007 menyebutkan tingkat kontaminasi mikotoksin di produk biji kakao dapat mencapai 4 µg/kg produk, sedikit dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh komisi perdagangan Eropa untuk produk pangan secara umum, 5 µg/kg.
Mikotoksin dalam semua produk pangan terutama biji-bijian dan polong-polongan menjadi topik hangat di beberapa tahun terakhir ini, mengingat stabilitasnya dalam pengolahan dan kemampuannya menginduksi penyakit degeneratif seperti kanker hati dan Alzheimer’s disease. Komisi perdagangan Eropa telah beberapa kali mencoba membahas batas maksimum kontaminasi mikotoksin pada produk kakao, dan sangat mungkin standar tersebut akan diterapkan dalam waktu dekat untuk semua biji kakao impor, termasuk dari Indonesia.
GFP untuk kakao
kualitas prima
Mengingat produksi komoditas kakao kita yang masih mengalami banyak kendala kualitas, agaknya kita perlu melakukan upaya-upaya realistis lebih dari sekedar seminar dan simposium. Permasalahan-permasalahan tersebut secara umum dapat diatasi dengan penerapan pertanian kakao yang baik (Good Farming Practises), sekalipun di tataran operasionalnya cukup merepotkan namun tetap mungkin dilakukan.
Proses menghasilkan biji kakao yang baik dimulai dari tahapan paling awal, perkebunan kakao. Buah kakao yang diproduksi dari bibit unggul bersertifikat dan kebun yang terawat merupakan jaminan awal dari kualitas komoditas ini. Dari aspek pasca panen, kualitas prima biji kakao ditentukan dari tiga aspek, buah kakao yang sehat, fermentasi yang sukses, serta pengeringan yang cepat dan tepat.
Dalam banyak praktik pematangan buah kakao, setiap buah dilindungi dengan kantung plastik untuk mencegah terjangkitnya penyakit dan serangan hama. Penyakit pada buah kakao umumnya cepat menular antar buah, sehingga penyiangan buah kakao menjadi hal rutin yang harus dilakukan. Kombinasi penyiangan dan pembungkusan buah kakao juga akan menurunkan penggunaan pestisida di perkebunan kakao. Selanjutnya, buah kakao harus dipanen tepat waktu dan biji kakao segara dikeluarkan dari buahnya.
Biji kakao yang masih terselubung pulp umumnya difermentasi secara spontan selama kurang lebih satu minggu, baik di dalam box ataupun di atas terpal. Proses fermentasi dimulai dengan pertumbuhan kamir penghasil etanol seperti S. cerevisiae dan Kloeckera sp. Etanol merupakan sumber makanan prima untuk golongan bakteri penghasil asam cuka, Acetobacter, yang mendominasi tahapan fermentasi selanjutnya. Tahapan ini ditandai dengan peningkatan suhu, dimana kombinasi suhu hangat dan kosentrasi asam cuka yang tinggi akan mematikan lembaga kakao. Aroma kakao terbentuk sebagai akibat pemecahan komponen-komponen kompleks dengan bantuan enzim-enzim hasil sekresi banyak spesies bakteri dan kamir.
Menjelang akhir proses fermentasi, bakteri penghasil spora dan jamur berfilamen (kapang) sering terlihat muncul dan pada umumnya tidak disukai, karena beberapa di antaranya dapat memproduksi toksin.
Titik kritis fermentasi adalah pada flora awal yang diusahakan sedapat mungkin minim cemaran bakteri patogen dan jamur penghasil toksin. Fermentasi induktif dengan bantuan kultur campuran sangat dianjurkan untuk menghasilkan produk yang cenderung seragam serta menurunkan jumlah mikroorganisme yang tidak diinginkan.
Fermentasi yang sukses ditandai dengan warna di dalam biji kakao yang berubah dari ungu menjadi coklat, memiliki aroma kakao yang khas, serta biji tampak bersih dan tidak lengket. Banyak yang menganjurkan agar setelah proses fermentasi usai, biji kakao dicuci setengah bersih untuk membuang spora-spora bakteri dan jamur yang berada di permukaan. Pencucian setengah bersih akan mereduksi jumlah mikroorganisme sampai pada jumlah yang dianggap masih cukup untuk membantu pembentukan aroma selama proses pengeringan.
Pengeringan biji kakao yang paling baik adalah dibawah suhu 60°C dengan mesin pengering atau di bawah terik sinar matahari. Pengeringan harus berlangsung cukup cepat untuk mencegah pertumbuhan jamur dan bakteri penghasil spora. Spora jamur dan bakteri yang sudah ada tidak akan mati pada proses-proses pengolahan biji kakao selanjutnya. Titik kritis pengeringan adalah pada suhu pengeringan yang tidak melebihi 60°C, lama waktu pengeringan yang tidak melebihi tiga hari jika di bawah terik sinar matahari atau 18-24 jam jika menggunakan mesin pengering, serta kadar air akhir produk sekitar 6-8%.
Biji kakao bersifat sangat higroskopis (menyerap uap air), sehingga proses pengarungan dan penyimpanan yang tepat di tingkat petani, pengumpul dan pedagang besar menjadi penting. Biji kakao perlu dijaga dari lingkungan yang lembab dan sedapat mungkin dengan cepat diolah menjadi produk bubuk ataupun cocoa butter. Titik kritis kadar air yang disarankan untuk mencegah proliferasi jamur dan bakteri patogen pada biji kakao kering adalah 6-8%. Untuk mencegah kelembaban yang tinggi dan kontaminasi, karung yang digunakan harus bersih, bukan merupakan bekas pestisida atau pupuk, dan memiliki pori-pori untuk keluar masuk udara.
Kakao yang terfermentasi sempurna, sedikit cemaran serangga dan jamur dengan sendirinya akan bernilai tinggi. Kakao yang berkualitas tidak butuh pemalsuan mutu. Banyak negara memberikan subsidi di tingkat petani untuk menjaga kualitas produk pertaniannya, termasuk kakao. Peranan aktif
Asosiasi Petani Kakao dan kerjasama dengan perusahaan pengolah kakao menjadi faktor penting dalam mencegah adulterasi pada komoditas biji kakao. Faktor panjangnya rantai perjalanan produk kakao dari petani hingga ke perusahaan pengolah juga perlu mendapat perhatian dan perbaikan regulasi dari pemerintah.
Trend keamanan terbaru: AGE
Perkembangan teknologi dan karakterisasi molekul-molekul kimiawi membawa banyak hal baru yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Salah satu contoh yang paling baru dan mengejutkan adalah pengaruh molekul-molekul sederhana sebagai byproduct pengolahan pangan terhadap kesehatan. Advanced Glycation Ends (AGE) adalah produk turunan hasil interaksi gula dengan protein, asam amino, atau lemak. Satu dari seratus molekul AGE memiliki peluang membentuk ligan yang mampu memproliferasi sel menjadi sel kanker, meningkatkan stress oksidatif di dalam sel, menyebabkan inflamasi dan memicu penuan dini. Sampai saat ini, AGE telah dibuktikan sebagai salah satu penyebab penyakit aterosklerosis, diabetes, gagal ginjal, dan degenerasi sel otak (Goldberg et al, 2004).
AGE sebenarnya diproduksi dalam tubuh dan berguna sebagai salah satu alat komunikasi interselular. Akan tetapi, molekul peptida sederhana ini juga terdapat dalam jumlah yang signifikan pada produk pangan, utamanya pangan yang diolah dengan panas pada suhu tinggi. AGE juga menjadi produk samping dalam reaksi Maillard yang umumnya terjadi pada tahap akhir fermentasi biji kakao.
Aktivitas sel yang terinduksi AGE asal cokelat batangan dapat meningkat tiga hingga empat kali lipat (Gawlowski et al., 2009). AGE dalam produk cokelat dapat berasal dari dua proses utama, fermentasi yang melibatkan pencoklatan non-enzimatis dan proses penyangraian. Dalam kedua tahapan ini, protein dan asam amino bebas akan mengalami destruksi dan degradasi, sebagian diantaranya berinteraksi dengan gula sederhana untuk membentuk AGE. Padahal, dua proses ini adalah yang krusial dalam menghasilkan aroma cokelat. Fermentasi menurunkan kadar astrigency yang disebabkan tingginya polifenol, memecah molekul-molekul kompleks menjadi prekursor aromatik. Penyangraian akan memperkuat aroma, merubah sebagian besar prekursor aromatik menjadi pyrazine.
Beruntung cokelat memiliki kadar polifenol yang cukup tinggi dan bersifat aktif, sehingga kadar AGE pada penyangraian biji kakao tidak setinggi AGE pada penyangraian kacang-kacangan. Akan tetapi, diperlukan juga upaya perbaikan dalam proses pengolahan kakao utamanya dalam proses penyangraian. Untuk mengurangi potensi pembentukan AGE, biji kakao harus disangrai pada suhu dan waktu yang tepat. Biji kakao yang gosong atau terlalu lama terkena proses panas cenderung memiliki kadar AGE yang lebih tinggi.
Anton Rahmadi, Staf Pengajar mikrobiologi, Universitas Mulawarman.
Mahasiswa doktoral di UWS, Australia
Referensi
- Da Silva do Nascimento, Maristela., Neusely da Silva, Ivone Francisca da Silva, Juliana de Cássia da Silva, Érika Reolon Marques and Aline Regina Barbosa Santos. 2009. Enteropathogens in cocoa pre-processing. Food Control, article in press http://dx.doi.org/10.1016/j.foodcont.2009.06.015. [4 November ].
- Rahmadi, Anton & Graham H Fleet. 2008. The Occurrence of Mycotoxigenic Fungi in Cocoa Beans From Indonesia and Queensland, Australia. Proceeding of International Seminar on Food Science, University of Soegiyapranata, Semarang INDONESIA (FMB-10).
- ICMSF. 2005. Microbial Ecology of Food Commodities Ed: 2nd. Chapman & Hall.
- Gawlowski, Thomas., Bernd Stratmann, Ruth Ruetter, Christina E. Buenting, Barbara Menart, Juergen Weiss, Helen Vlassara, Theodor Koschinsky, Diethelm Tschoepe. 2009. Advanced glycation end products strongly activate platelets. Eur J Nutr. DOI 10.1007/s00394-009-0038-6.
- Goldberg; Teresia., Weijing Cai, Melpomeni Peppa, Veronique Dardaine, Bantwal Suresh Baliga, Jaime Uribarri, Helen Vlassara. 2004. Advanced Glycoxidation End Products in Commonly Consumed Foods. Journal of The American Dietetic Association 104(8):1287-1291.