Prinsip dan Penerapan Life Cycle Assessment


Isu lingkungan dan pemanasan global merupakan hal yang sering dibicarakan dan didiskusikan dalam berbagai forum baik di tingkat nasional maupun internasional. Berbagai pendekatan dan pembuatan sistem yang ditujukan untuk mengurangi resiko pemanasan global maupun kerusakan alam sudah dihasilkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak yang memiliki perhatian serius pada permasalahan tersebut. Lalu bagaimana partisipasi industri pangan khususnya di Indonesia dalam menghadapi isu-isu tersebut?

ISO 14000 merupakan standar pengelolaan lingkungan yang berlaku bagi perusahaan, industri, konsultan, pendidikan, pemasok jasa atau produk untuk meminimumkan dampak negatif dari kegiatan operasional terhadap lingkungan. Secara umum ISO 14000 merupakan seri enam standar berdasarkan enam isu lingkungan yang berbeda. Tiga standar berhubungan dengan evaluasi organisasi, yaitu ISO 14001 (Sistem Manajemen Lingkungan), ISO 14010-12 (Audit Lingkungan) dan ISO 14031 (Evaluasi Kinerja Lingkungan). Sedangkan tiga standar yang berkaitan dengan evaluasi produk adalah ISO 14020-24 (Label Lingkungan), ISO 14040-43 (Penentuan Siklus Hidup atau Life Cycle Assessment) dan Aspek Lingkungan dalam Standar Produk.

Life Cycle Assessment (LCA) adalah metoda pengujian pengaruh penyediaan suatu bahan atau produk secara lengkap, mulai dari penyediaan bahan dasar, proses pengolahan, distribusi sampai dengan penjualan ke konsumen, terhadap lingkungan. Sedangkan LCA yang lengkap termasuk juga pengaruh terhadap kondisi sosial ekonomis. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan kompilasi dan analisis data input dan output pada sistem produksi, evalusi efek lingkungan potensial yang berkaitan erat dengan input dan output serta melakukan interpretasi dari hasil kompilasi dan analisis serta hasil penilaian efek-efek yang berhubungan dengan tujuan LCA ini.

 

Tahapan pelaksanaan LCA adalah sebagai berikut:
 
1. Penentuan tujuan dan cakupan kajian (Goal and Scope Definition)
Fase pertama dalam LCA adalah penyusunan definisi tujuan dan cakupan penerapan LCA. Dalam fase ini juga dilakukan penentuan unit fungsional. Misalnya menentukan produk susu dalam kemasan 1 liter yang siap dikonsumsi atau 1 kg daging sapi yang siap dikonsumsi. Penentuan cakupan sistem LCA misalnya sistem produksi tahu (mulai penyiapan bahan mentah, proses produksi, distribusi dan sampai pasar), selanjutnya yang dibandingkan adalah skala industri tahu tersebut.
Tujuan LCA ini berbeda untuk setiap kelompok pengguna. Tujuan ini antara lain adalah perbandingan produk, proses, kemasan, kegiatan atau pemilihan tempat dan teknologi, perbaikan dan pengembangan produk, pengurangan dan pencegahan pencemaran, optimasi proses, penggunaan LCA sebagai piranti penyelesaian masalah. Ruang lingkup atau cakupan LCA harus ditetapkan saat awal kajian dan ranahnya bisa sangat spesifik dan globbal. Tujuan penggunaan LCA akan mempengaruhi lingkup dan isi kajian LCA. Scoping atau penentuan batas kajian, asumsi dan keterbatasan suatu LCA. Scoping akan menetapkan jenis kegiatan dan dapak yang dicakup serta alasan yang digunakan. Lebih lanjut penentuan batasan ini berhubungan dengan tujuan kajian, jenis data uang dihimpun dan wilayah dampak yang dinilai. Cakupan kajian harus ditetapkan sebelum kegiatan penilaian dimulai, untuk meyakinkan bahwa 1) luas dan kedalaman analisis sesuai dan memadai dengan tujuan, 2) semua batas, metodologi, klasifikasi data dan asumsi telah diterapkan secara menyeluruh dan jelas.
 
2. Analisis Inventarisasi (Inventory Analysis)
 
Analisis inventarisasi adalah identifikasi dan kuatifikasi input dari lingkungan pada sistem produk dan emisi serta limbah yang dibuang sistem ke lingkungan. Analisis ini berisi kesetimbangan materi dan energi secara detail pada sistem yang didefinisikan sebelumnya. Hasil dari analisis inventarisasi ini adalah tabel inventaris yang menunjukkan sumber daya yang digunakan dan emisi yang terkumpul untuk menyediakan satu unit fungsional.
 
SETAC (Society of Environmental Toxicology and Chemistry) mengembangkan kerangka kerja teknis untuk fase kedua ini atau Life Cycle Inventory (LCI). Tahapan yang ada LCI ini adalah; a) pengambilan bahan baku, b) pengolahan, formulasi, c) distribusi dan pengangkutan, d) penggunaan/penggunaan ulang/perawatan, e) daur ulang dan f) pengelolaan limbah. Setiap tahapan menerima masukan bahan baku dan energi serta mengeluarkan energi dan bergerak le arah fase selanjutnya serta mengeluarkan limbah ke lingkungan.
 
3. Penilaian dampak (Impact Assessment)
 
Penilaian dampak ini dimulai dengan identifikasi banyaknya emisi yang dikeluarkan sistem ke lingkungan serta kontribusinya terhadap dampak lingkungan. Selanjutnya juga dikenal istilah “stressor” atau kondisi yang mengarah pada gangguan kesehatan manusia, kerusakan ekologis atau penyusutan sumber daya. Data inventarisasi dalam Life Cycle Inventory yang terdiri dari limbah yang dikeluarkan sistem ke lingkungan dianalisis dampaknya dalam fase ini, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Life Cycle Impact Assessment (LCIA). Analisis dampak ini dapat menghubungkan timbulnya suatu dampak berkaitan dengan penggunaan atau pembebanan terhadap lingkungan produl tertentu atau daur hidup produk.
Dalam LCA terdapat empat kelompok dampak yang relevan yaitu, a) Kesehatan ekologi, b) kesehatan manusia, c) penyusutan sumber daya dan d) kesejahteraan sosial (sosio-ekonomik).
 
4. Interpretasi (Interpretation)
 
Interpretasi adalah teknik yang sistematis untuk melakukan identifikasi, melakukan kualifikasi, pengecekan, serta mengevaluasi informasi dari hasil LCI dan LCIA pada sistem dan menjawab tujuan dan cakupan LCA yang telah ditetapkan. Interpretasi juga termasuk cara komunikasi untuk memberikan kredibilitas hasil analisis LCI dan LCIA dalam format yang komprehensif sehingga mempermudah untuk mengambil keputusan. Secara umum elemen dalam fase interpretasi adalah identifikasi isu lingkungan berdasarkan LCI dan LCIA, evaluasi kelengkapan, sensitivitas dan cek konsistensi, kesimpulan yang berisi rekomendasi dan isu yang signifikan untuk diselesaikan.Semua hasil yang diperoleh dalam LCA ini hanya berlaku pada kondisi yang ditetapkan pada fase scoping.
 
5. Penulisan laporan, critical review dan penerapan LCA
 
Hasil penilaian LCA ini dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, misalnya pengembangan dan perbaikan produk, optimasi dan perbaikan proses, maupun merencanakan kebijakan publik tentang lingkungan. Selanjutnya penerapan LCA ini diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi industri dan lingkungan.
 
Salah satu contoh penerapan LCA dalam industri pangan misalnya apakah produksi daging di luar Eropa akan menggunakan energi dan memberikan emisi CO2 lebih banyak dibandingkan dengan produksi dalam negeri mereka? Schlich (2011) memberikan gambaran tentang kondisi tersebut dengan membandingkan memproduksi daging sapi di Argentina kemudian diekspor ke Jerman serta produksi daging sapi di Jerman sendiri. Energi yang diperlukan untuk memproduksi 1 kg daging sapi siap jual di supermarket adalah 2,9 – 7,9 kWh/kg. Sedangkan energi untuk transport daging sapi produksi Jerman sebesar 1,4 – 2,0 kWh/kg sedangkan untuk transport global dari Argentina ke Jerman sebesar 1,8 kWh/kg. Untuk emisi CO2 adalah sebagai berikut; daging sapi produksi Jerman mengeluarkan 1,4 – 2,2 kg CO2/kg dan untuk daging sapi dari Argentina hanya mengeluarkan 0,8 – 1,0 kg CO2/kg. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh jumlah daging yang diproduksi di dua lokasi tersebut. Biasanya semakin banyak produk pangan yang diproduksi maka sistem akan memberikan beban dan emisi lebih rendah kepada lingkungan.
 
Penerapan LCA di industri pangan Indonesia masih sangat jarang atau bahkan belum ada. Hal ini disebabkan LCA masih sebatas anjuran/himbuan untuk setiap industri. Akan tetapi dengan perkembangan perdagangan global dan konsumen semakin pintar (smart consumer) maka masalah perusakan lingkungan, penggunaan energi berlebihan serta efisiensi produksi, akan menjadi bahan pertimbangan dalam memilih dan menkonsumsi produk pangan.
 
Kajian mengenai LCA akan banyak dilakukan oleh Indonesian Institute of Life Cycle Assessment for Food Business (ILCA) yang didirikan pada tanggal 22 Novermber 2011 serta merupakan kerjasama antara Institute for Agrotechnology – Justus Liebig University, Giessen, Jerman dan Jurusan Teknologi Industri Pertanian – Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
 
 
Oleh Wahyu Supartono
 
 
 
 

(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Januari 2012)

Artikel Lainnya