Hal tersebut diungkapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI , Dr. Roy Sparringa beberapa waktu lalu. “Dibutuhkan koordinasi dan kerja keras dari semua instansi untuk mengatasinya. Karena untuk bahan-bahan berbahaya tersebut, pengawasannya berada dalam kewenangan instansi yang lain,” tutur Roy. Dia menyontohkan formalin, yang pengawasan tata niaganya berada dalam kewenangan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Pemerintah Daerah.
Masalah klasik lainnya yang sering dijumpai adalah kontaminasi mikroba yang diakibatkan oleh rendahnya kondisi sanitasi dan hygiene, kontaminasi kimia yang melebihi batas aman, dan juga penggunaan aditif pangan yang melebihi level maksimum. Suatu kondisi
yang membahayakan kesehatan konsumen.
Dari data yang ditunjukkan oleh Dr. Roy Sparringa, kejadian kasus keracunan pangan sebagian besar masih terjadi di rumah, kemudian diikuti oleh sekolah, perkantoran/pabrik, fasilitas umum, dan juga hotel/restoran. Sedangkan, penyebab utama keracunan pangan masih didominasi oleh kontaminasi mikroba, kemudian diikuti oleh kontaminasi kimia.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI, Drs. Endang Kusnadi, Apt., MKes. Menurut Endang, saat ini Badan POM telah melakukan berbagai tindakan mulai dari preventive control hingga law enforcement.
Endang menyebutkan, bahwa dalam tahun ini, Badan POM RI telah melakukan pemeriksaan sarana produksi produk yang telah mendapat nomor MD. “Hasilnya, hingga bulan Oktober 2010, 10% di antaranya kondisi sanitasi dan hygiene sanitasinya masih kurang, 64,2% dalam kondisi cukup, dan 25,7% dalam kondisi baik,” tutur Endang. Sementara itu, hasil pemeriksaan sarana produksi produk yang telah mendapat nomor SP/P-IRT menunjukkan bahwa, 37,5% industri kecil masih memiliki kondisi produksi sanitasi dan hygiene yang kurang, 56,4% dalam kondisi cukup, dan hanya 6,1% yang tergolong baik.
Bagaimana dengan sarana distribusi?
Sarana distribusi juga turut menjadi perhatian Badan POM RI dalam melakukan audit keamanan pangan. Endang menambahkan bahwa, dari audit yang telah dilakukan hingga Oktober 2010 diperoleh hasil, bahwa 25,9% sarana distribusi sudah berada dalam kondisi baik, 45,7% dalam kondisi cukup, dan sisanya sebesar 28,4% masih dalam kondisi kurang.
Dalam era pangan modern di mana produk pangan disalurkan ke jangkauan pasar yang lebih luas, peranan distribusi juga memiliki peranan sangat penting dalam menjaga keamanan pangan. Karena seringkali peristiwa kontaminasi dan kerusakan pangan terjadi pada saat pendistribusian.
Pengujian terhadap produk yang beredar.
Hingga September 2010, menurut Endang Badan POM RI juga telah melakukan pengujian terhadap produk pangan yang beredar. “Total sampel yang diambil adalah sekitar 8000 hingga 9000 an produk. Dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 80,1% telah memenuhi syarat. Sedangkan sisanya tidak memenuhi syarat,” tambah Endang. Dibandingkan 2009, hasil tersebut menunjukkan terjadinya perbaikan. Di mana pada 2009, produk yang tidak memenuhi syarat mencapai 25,7%.
Regulasi tentang keamanan pangan.
Dalam Undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang pangan telah tercakup mengenai jaminan mutu dan keamanan pangan. Berkaitan dengan hal tersebut pada pasal 3 disebutkan bahwa mengenai tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia; dan terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab.
Selain itu, keamanan pangan juga disinggung dalam Undang-undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yakni pada pasal 109, 110, dan 111. Kemudian dalam aplikasinya, diwujudkan dalam berbagai Peraturan Pemerintah dan juga Keputusan Kepala Badan POM RI.
Menurut Roy, dalam menetapkan suatu peraturan dan standar, Badan POM mengacu pada data ilmiah dan juga standar pangan internasional. Pada data yang ada kemudian dilakukan risk analysis dan juga socio economic impact assesment sebelum ditetapkan sebagai standar di Indonesia. “Sehingga diharapkan standar tersebut benar-benar bisa diaplikasikan, sekaligus mampu melindungi konsumen,” ujar Roy.
Oleh : Fri 09
(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Januari 2011)