Autisme merupakan kelainan yang terjadi pada anak, berupa perkembangan tidak normal terkait relasi hubungan dengan manusia lain. Mereka menggunakan bahasa lain yang tidak normal atau bahkan sama sekali tidak bisa dimengerti, berkelakuan memberontak dan retualistik, yakni melakukan tindakan mengulang yang kemungkinan besar akibat proses perkembangan kecerdasan yang tidak normal. Hasil penelitian dengan teknik new imaging memastikan adanya kecenderungan semakin parah atau semakin lanjut, dimana otak tidak lagi melakukan reaksi sama sekali terhadap ekspresi facial. Prevalensi kejadian autisme adalah 5 dari setiap 10000 anak. Anak laki-laki 2-4 kali lebih sering mengalami autisme dibanding anak perempuan. Meskipun sudah banyak hasil penelitian yang berusaha menelusuri penyebab terjadinya autisme, namun hingga saat ini belum ada penjelasan yang spesifik.
Anak-anak yang mengalami autisme dapat mengalami masalah dengan pencernaan, akibat kekurangan enzim pencernaan dan atau kebocoran lapisan saluran pencernaan. Timbulnya masalah tersebut disebabkan oleh senyawa pangan yang hanya tercerna parsial (seperti beberapa molekul peptida berukuran besar) yang lolos masuk ke dalam saluran darah, dan akhirnya menyebabkan berbagai masalah bagi tubuhnya. Bahkan berpeluang menyebabkan terjadinya arus pendek stimulus (short circuit brain function). Hal tersebut dapat mengganggu perilaku penderita autis.
Pengaruh masuknya senyawa opiate-like protein ke dalam otak dapat menyebabkan gejala-gejala autisme, seperti tertawa pada saat yang tidak tepat, tahan terhadap rasa sakit, dan ingin mengonsumsi bahan pangan yang dapat menyebabkan masalah secara terus-menerus.
Susunan asam amino yang menyerupai opiate
Meskipun short circuit dari otak yang terbentuk sebagai “misspelled word” dapat terjadi dalam berbagai keadaan, tetapi dalam kenyataannya, kejadian tersebut lebih sering terjadi pada autisme. Mispelled word yang dimaksud adalah reaksi dari kata-kata yang terdiri dari susunan peptida yang memiliki sifat serupa dengan opiate atau morfin terhadap otak. Kasein dan gluten merupakan jenis protein yang paling umum dijumpai di dalam produk pangan, yang tingkah lakunya seperti senyawa opiate tersebut. Susunan asam amino dalam kasein dan gluten sangat mirip satu dengan lainnya, termasuk mirip juga dengan opiate. Senyawa-senyawa tersebut tidak akan terbentuk, sebelum protein tercerna dan terpecah tidak sempurna.
Peptida yang menyerupai opiate tersebut biasanya berbentuk molekul besar, yang secara normal tidak mampu meloloskan diri untuk menembus lapisan usus masuk ke dalam aliran darah. Namun pada penderita autisme, senyawa-senyawa tersebut banyak ditemukan dalam cairan tulang belakang (spinal fluid) dan dalam urin. Pengaruh peptida terhadap otak tersebutlah yang secara kimiawi mampu menjadi jawaban timbulnya gejala autisme. Alasan tersebutlah yang menyebabkan timbulnya addicted (kecanduan) terhadap bahan pangan tertentu.
Ingridien produk pangan untuk penderita autis
Diketahuinya gluten dan kasein sebagai salah satu pendorong munculnya gejala autisme menimbulkan adanya slogan no gluten and no milk pada produk pangan untuk penderita autis. Hal ini bisa dipahami, karena gluten dan kesein tidak begitu mudah dicerna.
Gluten
Gluten merupakan protein nabati yang sangat khas pada gandum karena sifatnya, terutama sifat elastis dan menyebabkan melar. Tidak aneh, jika protein gluten banyak ditemukan pada produk-produk seperti roti, mi instan, cookies, pasta, cakes, atau lainnya. Selain itu, turunan gluten juga banyak terdapat pada produk-produk lainnya.
Untuk penderita autis, celiac, dan gluten intolerance telah dikembangkan produk-produk gluten free. Beberapa ingridien yang banyak digunakan sebagai pengganti gluten antara lain xanthan gum, metal selulosa, guar gum, pati, dan lainnya.
Kesein
Kasein merupakan 75% dari total protein yang terdapat dalam susu. Secara industri, produk susu dapat disubstitusikan dengan sari beras, sari kedelai, kelapa, soy yoghurt, atau lainnya. Namun demikian istilah dairy free atau milk free tidak selamanya berarti casein free. Bahkan non dairy substitutes yang berasal dari kedelai, almond, atau beras kemungkinan juga masih mengandung kasein.
Lalu bagaimana dengan kasein dalam ASI? Ternyata kasein dalam ASI berbeda dengan kasein yang terdapat dalam susu sapi ataupun susu kambing, terutama dari segi susunan asam aminonya. Justru sebaliknya, ASI dipandang sebagai factor pelindung terhadap autisme.
Gula secukupnya
Sebagian besar anak autisme mengonsumsi menu dengan kadar protein dan serat rendah. Namun demikian, bukan berarti mengonsumsi gula dalam jumlah yang tinggi diperkenankan. Bila kadar gula dalam darah meningkat, maka tubuh akan memproduksi hormone insulin dalam jumlah besar. Akibatnya kadar gula dalam darah akan turun dengan cepat dan kadar gula darah menjadi rendah. Akan sangat menyiksa sekali, jika beban penderita autis ditambah dengan hal-hal yang demikian. Oleh sebab itu, pangan dan menu untuk anak autis perlu diatur untuk mengonsumsi protein bermutu tinggi, cukup serat, dan berindeks glikemik rendah.
Soda dilarang
Konsumsi soda bagi penderita autis, baik yang berlabel diet atau regular, dapat mendatangkan masalah karena mengandung kadar phosporus yang tinggi. Terlalu banyak phosphorus dapat mengikat dan menguras ketersediaan mineral, seperti kalsium, magnesium, kalium, zinc, kromium, mangan, dan klorida, serta vitamin larut air (vitamin C dan B). Karena penderita autis bersifat rendah mineral dan vitamin.
Pilih garam
Secara umum, tekanan darah penderita autis lebih rendah dibandingkan anak normal. Oleh sebab itu, garam dibutuhkan sebagai salah satu penunjang aktivitasnya. Namun demikian, perlu dipilih secara cermat garam yang akan digunakan. Pilih garam yang mengandung ion klorida, karena klorida merupakan senyawa yang diperlukan untuk fungsi sel, serta untuk menjaga keseimbangan dan distribusi cairan tubuh.
Organik
Penggunaan bahan baku dan ingridien organik juga akan sangat membantu penderita autis. Hal ini dikarenakan, penderita autis memiliki metabolisme yang tidak efisien. Cemaran pestisida atau racun lainnya dapat meningkatkan beban yang sudah ada.
Oleh : Prof. F. G. Winarno,
Chairman Embrio Biotekindo
(FOODREVIEW INDONESIA Edis April 2011)