Pandemi COVID-19 sampai saat ini masih menjadi ancaman baik bagi sektor kesehatan ataupun sektor lainnya yang terdampak termasuk industri pangan. Secara spesifik, pada industri pangan, pandemi telah membuat penurunan kesehatan karyawan yang berdampak pada produktivitas kerja, melemahnya daya beli masyarakat, tantangan logistik dan kenaikan harga komoditas pangan dunia.
Mulai 1 Juli 2021, dengan kondisi yang masih seperti saat ini, pemerintah merencanakan kenaikan Tarif Daftar Listrik (TDL). Hal ini tentu dapat berpotensi melemahkan kemampuan industri untuk bertahan dan berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi nasional. Menanggapi hal tersebut, Adhi Lukman, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) mengatakan bahwa GAPMMI mengapresiasi dan mendukung kebijakan pemerintah yang membantu industri makanan dan minuman selama ini dengan kebijakan insentif yang telah dikeluarkan selama masa pandemi ini.
"Sebagai industri penyedia kebutuhan sehari-hari masyarakat, industri pangan sangat rentan terhadap situasi yang diakibatkan oleh pandemi dan kebijakan apapun yang akan diambil oleh pemerintah. Baik kebijakan yang terkait dengan penanganan pandemi COVID-19 kepada masyarakat maupun kebijakan yang terkait dengan industri, seperti kebijakan di bidang perpajakan, infrastruktur, tarif dan retribusi, logistik dan kebijakan lainnya. Perubahan kebijakan atau kebijakan baru yang berpotensi menambah biaya produksi, akan memberikan tambahan beban yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan industri pangan," tutur Adhi yang disampaikan pada Siaran Pers GAPMMI 29 Juni 2021.
Terkait dengan rencana Pemerintah untuk menaikkan TDL sebesar 20% dalam waktu dekat, Adhi memohon agar Pemerintah mengkaji rencana tersebut dengan bijaksana. Secara makro, kebijakan tersebut sedikit banyak akan berpengaruh pada PDB, konsumsi rumah tangga, dan inflasi. Hal tersebut dikarenakan konsumsi rumah tangga merupakan salah satu penggerak utama perekonomian nasional. Sedangkan secara sektor, kenaikan TDL diestimasikan akan berdampak negatif terhadap output industri, dan daya saing produk yang dihasilkan di dalam negeri sekaligus membebani konsumen.
“Dengan situasi seperti ini, bila benar kebijakan tersebut akan diterapkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), ini akan menjadi pukulan dan beban yang sangat berat bagi industri pangan. Selama ini, biaya listrik bagi industri di Indonesia terutama bagi industri makanan dan minuman berkontribusi sekitar 3% dari Harga Pokok Produksi. Bila PLN berencana untuk menaikkan 20% maka, biaya produksi untuk Industri Makanan dan Minuman akan naik sekitar 0.6%,” tambah Adhi.
Kenaikan biaya produksi ini akan berpengaruh pada harga produk yang akan meningkat, di mana produk pangan sangat sensitif terhadap harga. Pada akhirnya biaya ini akan menjadi beban dari masyarakat umum, yang saat ini masih terkena imbas dari pandemi COVID-19 di mana daya beli dan kemampuan ekonomi masih tidak lebih baik.
Kenaikan TDL juga akan berpengaruh terhadap rantai pasok keseluruhan, sehingga pemasok juga akan mengalami biaya produksi (seperti industri kemasan, plastik, kaleng, gelas, dan lain-lain yang mana industri ini lebih banyak mengonsumsi listrik PLN). Untuk itu Adhi berpendapat bahwa rencana kenaikan TDL bagi industri sebaiknya ditinjau lagi. Ada baiknya dilakukan upaya bersama oleh industri, Pemerintah dan lembaga terkait untuk mencari solusi yang lebih tepat untuk mengatasi situasi dan kondisi yang tidak kondusif saat ini.
Berdasarkan studi ilmiah, maka dapat disampaikan bahwa akan lebih bermanfaat
terhadap ekonomi nasional apabila Pemerintah dapat meningkatkan efisiensi produksi pada sektor kelistrikan. Bahkan, apabila sektor tersebut dapat meningkatkan efisiensi sebesar 10%, maka dapat berkontribusi terhadap peningkatan PDB sebesar 0.34% - 0.57%. Selain itu, efisiensi 10% dapat memberikan dampak yang sangat luar biasa positif terhadap indikator perekonomian lainnya. FRI