Oleh Winata Sambas
Direktur PT Multi Sejahtera Persada
Tren kemasan pangan di dunia dan Indonesia khususnya semakin menarik, berkembang dan penuh tantangan. Menarik karena kemasan bukan hanya sebagai pelindung produk di dalamnya, namun juga berfungsi sebagai faktor pembeda (differentiation) dalam menembus persaingan di pasar. Seperti diketahui ada 8P yang dapat dipakai sebagai strategi pembeda dalam strategi pemasaran yaitu product, price, promotion, placement (distribusi), positioning di benak konsumen, people, physical evident (seperti logo, billboard) dan tentu saja packaging.
Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh salah satu perusahaan (pemain baru) dalam menembus pasar Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) kemasan besar yang saat ini dikuasai oleh market leader dan pemain-pemain lama. Pemain lama menggunakan kemasan galon polikarbonat (PC) yang dikenal sebagai returnable bottle, bisa dicuci dan diisi kembali. Tetapi pemain baru ini menembus pasar dengan kemasan PET 15 liter yang langsung dibuang kemasan kosongnya. Strategi ini ternyata diterima oleh pasar karena kejelian membuat pembeda. Kemasan PET yang bening dan tidak perlu dicuci ulang dibenturkan dengan kemasan galon polikarbonat yang harus dicuci kembali oleh produsen sebelum di-filling (diisi ke botol) dan disebar ke pasar. Kemasan lain yang juga berkembang saat ini ditandai dengan munculnya sejumlah booth minuman siap bawa (on the go) seperti teh, kopi yang menggunakan kemasan cup polipropilen atau kemasan PET botol. Juga perlu diamati munculnya pangan siap saji seperti rendang, gudeg, dan sejenisnya yang menggunakan teknologi sterilisasi retort untuk membuat produk awet tanpa disimpan di lemari pendingin. Teknologi ini memerlukan kemasan pouch atau three side seal yang tahan suhu dan tekanan selama proses retort. Kemasan ini tergolong baru di Indonesia, beberapa perusahaan kemasan seperti Dai Nippon, Toppan Indonesia mulai memproduksi kemasan plastik jenis ini.
Kemasan juga menghadapi tantangan dengan adanya perubahan perilaku konsumen akibat pandemi COVID-19 yang melanda dunia, dan dilanjutkan dengan adanya perang Rusia vs Ukrania. Kedua kondisi ini berakibat meningkatnya harga sejumlah bahan baku, tak terkecuali juga dengan kemasan plastik. Hal ini dikarenakan plastik masih sangat tergantung dari minyak bumi, sehingga flutuasi harga bahan baku plastik terjadi. Di sisi lain, konsumen mengalami daya gerus daya beli, akibat kenaikan harga barang kebutuhan hidup, yang berakibat dengan keinginan untuk memiliki produk yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Di sinilah tantangan industri kemasan pangan yang harus mengubah strateginya untuk mengedepankan pemulihan penjualan kemasan yang ada dibandingkan dengan bersiap mengaplikasikan kemasan ramah lingkungan. Tulisan ini bermaksud untuk memberi informasi dan mengajak pelaku usaha mengenal teknologi pembuatan kemasan khususnya plastik dan juga menyadari adanya tanggung jawab dalam keberlanjutan sampah kemasan setelah dikonsumsi. Istilah limbah yang ramah lingkungan akan berawal dari desain kemasan yang sejak awal memikirkan aspek ini menjadi sangat relevan.
Teknologi pengemasan plastik
Teknologi pengemasan plastik terbilang cukup kompleks. Tidak semua material plastik bisa menggunakan satu lini proses produksi yang sama untuk semua jenis bahan plastik. Untuk kemasan PET botol menggunakan kombinasi teknologi mesin injection dan blowing. Mesin ini tidak bisa digunakan untuk material plastik jenis polipropilen (PP), atau bahan HDPE meskipun dengan teknologi sama yaitu menggunakan mesin injection dan blowing. Hal ini dikarenakan setiap material plastik membutuhkan waktu, titik leleh, tekanan dan suhu yang berbeda. Oleh karena itu, secara global diketahui mesin injection, diameter dan panjang screw yang berbeda untuk setiap jenis material plastik. Umumnya pada kemasan pangan, material plastik yang banyak digunakan adalah jenis PET, PP, HDPE, PC, PVC, LDPE. Kategori tersebut dapat diketahui di bawah kemasan seperti botol ada kode segitiga yang menggambarkan bahan material plastik untuk jenis tertentu. Kode 1 untuk PET, kode 2 untuk HDPE, kode 3 untuk PVC, 4 untuk LDPE, kode 5 untuk PP, kode 6 untuk PS dan kode 7 untuk material selain 6 jenis ini. Kode tersebut hanya sekadar penamaan, tidak menunjukkan bahwa kemasan dengan tanda segitiga satu adalah kemasan terbaik. Umumnya teknologi kemasan plastik dibedakan menjadi dua bagian yaitu kemasan rigid (kaku) dan kemasan fleksibel (lentur). Kemasan rigid seperti botol PET, botol HDPE, cup PP, galon PC, sedangkan kemasan fleksibel umumnya menggunakan bahan yang lentur bisa dilipat, dilapisi dan dicetak seperti seal (penutup) cup AMDK 240 ml, kemasan mi instan, kemasan saset, pouch, kemasan Tetra Pak.
Tren kemasan rigid – botol PET
Bahan material PET banyak digunakan untuk membuat botol PET. Kelebihannya adalah bening dan memerlukan jumlah gramasi (gr) yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan HDPE untuk volume yang sama. Sebagai contoh kemasan botol 600 ml PET memerlukan bahan biji plastik PET 12-13 gr, sedangkan botol HDPE memerlukan biji plastik HDPE sekitar 30 gr. Kelemahan botol PET adalah tidak tahan panas, misalkan kena air panas 75°C akan berubah bentuk. Sementara botol HDPE tahan terhadap suhu tinggi. Oleh karena itu, botol HDPE juga banyak digunakan untuk kemasan susu yang memerlukan suhu 120°C untuk membunuh mikroba. Selain itu, botol HDPE secara tampilan tidak bening. Untuk botol PET beberapa memiliki grade hotfill, tetapi memerlukan teknologi dengan mesin dan bahan baku PET grade khusus serta rekayasa teknologi di bagian leher atau mulut botol. Tentu saja berakibat harga kemasan botol jenis PET hotfill ini menjadi mahal. Kemasan botol PET saat ini digunakan secara meluas untuk produk minuman, bahkan saat ini beberapa jenis produk tepung (powder) seperti merica, lada beralih dari kemasan PP atau HDPE ke PET. Botol HDPE menggunakan teknologi extrusion blowing. Jadi untuk kemasan ini hanya memerlukan satu mesin pada proses extrusion dan blowing.
Sedangkan untuk tren kemasan PET saat ini tengah berlomba untuk menurunkan berat botol dengan cara ulir mulut leher diperpendek atau dikenal pula dengan tutup short neck. Tidak hanya itu, diameter mulut botol juga diperkecil. Semua itu dalam kaitan menurunkan berat botol dengan tujuan penurunan biaya kemasan, klaim ramah lingkungan karena limbah kemasan yang terbuang lebih sedikit. Satu lagi teknologi untuk membuat botol yang ringan setelah diisi produk khususnya produk air minum, adalah dengan menginjeksikan nitrogen cair selepas proses filling sebelum ditutup. Cairan nitrogen akan berubah menjadi gas dan mengisi ruangan dalam botol, akibatnya botol menjadi lebih rigid. Namun demikian, teknologi ini baru dapat diaplikasikan pada produk AMDK yang tidak berubah profil sensorinya (rasa, warna). Produk lain seperti teh, jus, dan susu masih memiliki kekhawatiran akan reaksi yang dihasilkan oleh penambahan nitrogen. Tren penambahan nitrogen ini diprediksi akan semakin populer seiring dengan semakin kompetitifnya harga mesin yang digunakan. Apalagi saat ini beberapa perusahaan di China telah mampu menyediakan mesin ini. Sebelumnya, mesin ini masih terbatas buatan Amerika Serikat.
Tren kemasan fleksibel
Kemasan fleksibel akan semakin populer di waktu mendatang, seiring dengan penerimaan konsumen yang positif pada kemasan pouch untuk minuman. Sebelumnya kemasan Tetra Pak merajai kategori pouch. Tetrapack mengembangkan kemasan ini beserta dengan mesin pengisi aseptik. Awalnya kemasan Tetra Pak banyak dipakai untuk produk minuman, namun saat
ini banyak juga dipakai untuk bahan pangan lain seperti santan dan sup. Kemasan ini memiliki keunggulan dalam melindungi produk yang dikemas. Karena kemasan Tetra Pak terdiri dari beberapa lapisan yang memiliki fungsi untuk melindungi produk. Kemasan ini juga bisa dikategorikan sebagai kemasan multilayer menggunakan teknologi pencetakan dan laminasi (pelapisan) untuk menjadi roll yang dikirim ke pabrik pangan dengan mesin pengisi aseptik. Di mesin ini, roll yang telah ada, disterilisasi dengan H2O2 untuk membunuh mikroba, dilipat menjadi pouch, diisi dengan teknologi pengisian aseptik. Tetra Pak terdiri dari lapisan polietilen, kertas (paper), polietilen, aluminum foil, polietilen dan polietilen.
Polietilen lapisan paling luar melindungi produk di dalamnya, lapisan kertas mampu membuat kemasan jadi kaku, mudah disusun dalam kondisi berdiri. Bahan aluminum foil melindungi produk dari penetrasi oksigen dan uap air. Kini muncul juga pengganti aluminum foil berupa jenis plastik Ethylene Vinyl Alcohol (EVOH) yang memiliki barrier terhadap uap air dan oksigen. Selain itu, muncul kemasan mirip Tetra Pak tapi tidak mengandung lapisan kertas yang dikenal sebagai kemasan pouch plastik. Kemasan ini juga mengalami beberapa modifikasi dengan adanya tutup ulir sehingga mudah ditutup kembali apabila tidak habis produknya. Kemasan jenis ini mulai dipakai di produk susu. Perusahaan yang mengembangkan kemasan ini beserta dengan teknologi pengisian secara aseptik adalah ecoclean air aseptic, Swedia. Hal ini cukup unik karena kemasan pouch ini ada bagian yang diisi udara untuk membuat gampang berdiri, kaku dan tidak lembek ketika digenggam. Kelebihannya tentu saja memudahkan untuk didaur ulang karena hanya menggunakan satu jenis bahan baku plastik.
Aspek keberlanjutan
Produsen pangan yang menggunakan plastik sebagai pengemas produk dituntut untuk bertanggung Jawab terhadap limbah plastik di pasar. Pihak regulator yaitu pemerintah sudah menyiapkan peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Melalui peraturan menteri, produsen yang menggunakan kemasan diwajibkan untuk mempunyai rencana program pengurangan (Reduce), penggunaan kembali (Reuse) dan proses pembuatan pelet dari sampah plastik (Recycle). Di peraturan tersebut dibuat istilah R1 (pembatasan), R2 (pendaurulangan), R3 (pemanfaatan kembali). Disebutkan juga contoh plastik HDPE untuk manufaktur, R1 penggantian label botol dengan emboss botol plastik, R2 menggunakan bahan yang 100% dapat didaur ulang. R3 menggunakan kembali botol HDPE yang dapat diisi ulang.
Pada pegolahan limbah, plastik dibedakan menjadi limbah plastik yang dihasilkan ketika proses produksi di perusahaan pengemasan dan limbah plastik hasil dari konsumsi produk yang tercampur di lapangan. Hal ini dikenal pula dengan sebutan Post Consumer Recycle (PCR). Dari kedua jenis kategori tersebut, tentu memiliki proses pengolahan yang berbeda. Limbah pabrik cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan limbah PCR. Limbah PCR biasanya sangat kotor dan tercampur dengan bahan lain seperti tanah. Oleh karena itu, memerlukan proses sortir bertahap seperti sortir manual, sortir otomatis, serta pemisahan dari bagian logam dan tanah. Setelah itu masuk ke dalam proses ekstrusi yaitu melelehkan plastik untuk kemudian dipotong kembali menjadi biji plastik. Ada dua cara teknik potong yang dikenal yakni hot cut, dibuat seperti bentuk mi terlebih dahulu untuk kemudian dipotong menjadi biji plastik mirip meses cokelat. Pada keadaan ini sudah dapat dipakai untuk bahan baku pembuatan plastik seperti kantong plastik, jenis injection seperti bola plastik, dan kantong untuk cor adukan semen di project property.
Semakin banyaknya lapisan (layer), terutama dengan kombinasi dari material berbeda, maka pengolahan akan semakin sulit. Sebagai contoh, kemasan Tetra Pak yang mengandung plastik PE, paper, aluminum foil, memerlukan mesin pengolahan limbah yang kompleks. Pertama, limbah kemsan harus melewati proses depulping, lalu pemisahan aluminum foil dengan plastik. Oleh karena itu, semakin sedikit lapisan dan semakin homogen material yang digunakan akan membuat semakin mudah dan murah proses pengolahannya. Saat ini, juga mulai berkembang terobosan substitusi plastik barrier untuk menggantikan aluminum foil.
Selain itu, ada pula produsen pangan yang sebelumnya menggunakan lapisan aluminium yang berganti dengan kemasan metalize. Kemasan ini memiliki daya tahan terhadap oksigen dan uap air, meskipun tidak sebaik aluminum foil. Karena itu saat ini R&D, pemasaran dituntut untuk jeli dalam menentukan kualitas kemasan, harus disesuaikan dengan produk yang akan dilindungi. Artinya tidak perlu spesifikasi yang berlebihan. Menarik juga diamati semakin banyaknya aplikasi pengumpulan sampah plastik yang memudahkan peritel, pengumpul dan pengolah sampah menggunakan aplikasi ini, bahkan mulai banyak konter pengumpul sampah di berbagai lokasi. Menggunakan teknologi blockchain yang sangat membantu mempercepat pengumpulan sampah plastik sampai ke pelosok yang tadinya susah dijangkau.
Meskipun saat ini masih terbatas di botol PET dan botol HDPE. Untuk jenis kemasan multilayer tentu memerlukan usaha yang lebih karena perlu proses pemisahan material yang tidak sejenis. Untuk material plastik jenis PE, PP kalau tercampur masih bisa diproses menggunakan mesin yang sama. Sedangkan apabila plastik tercampur aluminum foil tentu perlu proses pemisahaan terlebih dulu. Biasanya perusahaan pengepul alumunium memanfaatkan jenis limbah ini untuk diambil alumuniumnya karena harga alumunium lebih mahal dari plastik.
Sayangnya saat ini teknologi PCR masih menggunakan teknologi dari Eropa dengan harga investasi mesin yang mahal dan kapasitas umpan sampah plastiknya harus dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu diperlukan kerja sama dalam berbagai bentuk pengolahan sampah jenis multilayer PCR. Kerja sama ini bisa dalam bentuk subsidi pihak produsen penghasil sampah atau pemerintah, dengan menggandeng perusahaan pengumpul sampah dan perusahaan pengolah sampah. Produsen Coca-Cola sudah memulai kerja sama ini untuk memproses sampah botol PET dengan cara bekerja sama dengan perusahaan kemasan, untuk memproduksi botol PET menggunakan hasil recycle botol PET. Meskipun harga biji plastik hasil recycle bisa lebih mahal daripada harga biji plastik original. Hal ini berkaitan dengan investasi mesin recycle PCR yang sangat mahal dan harga untuk mencuci botol PET PCR juga sangat tinggi.
Pengelolaan sampah plastik bisa dimulai dari produsen pangan, dengan cara mendesain kemasan yang yang mudah diproses untuk dijadikan pelet plastik (ekonomi sirkular). Semakin bervariasi lapisan kemasan misalnya mengandung kertas, aluminum foil, akan berakibat semakin mahal proses recycle kemasan tersebut. Oleh karena itu, ada peluang untuk mengganti aluminum foil dengan plastik barrier EVOH atau mengganti lapisan kertas dengan jenis plastik yang memiliki fungsi mirip, seperti nilon dan film PET. Adanya peta jalan pengurangan limbah oleh produsen tentu melibatkan semua departemen di perusahaan untuk meluncurkan produk baru dengan kemasan yang bisa mengikat emosional konsumen sebagai produsen yang peduli terhadap lingkungan.