Oleh Moko Nugroho Analis Kebijakan, Kementerian Perindustrian
Kebutuhan zat gizi dan energi terukur secara personal adalah salah satu peluang yang dapat dikembangkan dengan semakin canggihnya teknologi. Bahkan, potensinya dapat diaplikasikan dalam kondisi tubuh yang sehat dan sakit sehingga dapat memberikan rekomendasi spesifik yang dibutuhkan.
Hal ini tentu dapat dipenuhi apabila pengetahuan terkait pangan dan gizi dipahami dengan baik. Pada dasarnya, manusia membutuhkan pangan untuk memenuhi kebutuhan tubuh baik dalam hal gizi ataupun energinya. Kebutuhan gizi dan energi dipenuhi dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, kalsium, mineral, air, dan lainnya. Konsumsinya pun juga harus berimbang sesuai kadar yang telah ditentukan serta memperhatikan prinsip empat pilar yaitu aneka ragam pangan, perilaku hidup bersih, aktivitas fisik, dan memantau berat badan secara teratur untuk mempertahankan berat badan normal.
IMT dan AKG
Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Berimbang, bila konsumsinya berlebih dapat mengakibatkan overweight hingga obesitas. Demikian halnya bila kekurangan juga mengakibatkan kurus hingga sangat kurus, yang implikasi berikutnya baik kekurangan maupun kelebihan akan dapat mengakibatkan risiko timbulnya penyakit dalam tubuh. Guna mengetahui status gizi seseorang dapat dilakukan pengukuran Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan membandingkan berat dan tinggi badan, dengan rumusan sebagai berikut:
Adapun kategori untuk setiap IMT mulai sangat kurus, kurus, normal, overweight, hingga obesitas (Tabel).
Sementara untuk mengetahui kebutuhan gizi seseorang yang harus dipenuhi setiap harinya digunakan Angka Kecukupan Gizi (AKG), yang meliputi kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, air, vitamin, dan mineral. Besaran AKG setiap orang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, dan kondisi fisiologisnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia, rata-rata angka kecukupan energi dan protein masyarakat Indonesia sebesar 2.100 kilokalori dan 57 gram per orang per hari pada tingkat konsumsi. Dalam pemenuhan kebutuhan AKG dilakukan dengan menerjemahkan jumlah energi dan protein menggunakan Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI) menjadi kuantitas pangan dalam satuan gram untuk setiap kelompok pangan, yang kemudian diterjemahkan kembali dalam satuan porsi atau Ukuran Rumah Tangga (URT).
Bervariasi dan beragamnya umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, kondisi fisiologis, hingga preferensi konsumsi pangan, tentunya membutuhkan sistem yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, dan merumuskan besaran AKG hingga komposisi pemenuhannya terhadap makanan dan minuman yang harus dikonsumsi untuk setiap orang. Hal ini akan sangat sulit ketika proses ini dilakukan secara konvensional maupun manual untuk mendapatkan komposisi yang presisi dengan kebutuhan tubuh. Tentu, dampaknya seringkali komposisi konsumsi pangan menjadi tidak tepat atau kurang sesuai sebagaimana porsi yang diperlukan oleh tubuh. Akibatnya terjadi overweight maupun underweight, yang berimplikasi selanjutnya risiko timbulnya penyakit dalam tubuh.
Transformasi Industri 4.0
Perkembangan zaman dan teknologi memberikan kemudahan dalam segala aktivitas kehidupan seiring adanya konektivitas, integrasi, dan interaksi antara manusia, mesin, dan sumber daya lainnya. Transformasi industri 4.0 tidak hanya digunakan dalam proses produksi, melainkan juga di seluruh rantai nilai guna mencapai efisiensi yang setinggi-tingginya sehingga melahirkan model bisnis baru yang berbasis digital. Implikasinya industri 4.0 telah mengubah cara bekerja, kebutuhan kompetensi dan ketrampilan tenaga kerja, cara customer mengonsumsi produk, hingga cara pelaku bisnis dalam mendesain, mengolah, memproduksi, dan mendistribusikan produknya.
Dalam proses transformasi ini tidak cukup hanya bergantung pada teknologi saja. Seberapa kuat dukungan manajemen dalam menyiapkan strateginya, penyiapan SDM dalam memahami transformasi industri 4.0, bagaimana produk dan layanan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhan customer, hingga operasional perusahaan yang dinamis sehingga proses transformasi industri 4.0 dapat berjalan secara optimal. Salah satu tools yang digunakan untuk mengukur kesiapan transformasi industri 4.0 ini yaitu Indonesia 4.0 Readiness Index (INDI 4.0) sebagaimana dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 21 Tahun 2020 tentang Pengukuran Tingkat Kesiapan Industri dalam Bertransformasi Menuju Industri 4.0. Terdapat 5 pilar dan 17 bidang dalam menjalankan transformasi industri 4.0, meliputi pilar: (1) manajemen dan organisasi; (2) orang dan budaya; (3) produk dan layanan; (4) teknologi; dan (5) operasi pabrik sebagaimana gambar 1. Dalam proses transformasi industri 4.0 ini terdapat 5 level, yaitu (1) level 0 (belum siap), yang berarti perusahaan belum siap untuk transformasi industri 4.0, (2) level 1 (kesiapan awal), yang berarti perusahaan sedang mengidentifikasi, memahami, dan urgensinya melaksanakan transformasi industri 4.0; (3) level 2 (kesiapan sedang), level dimana perusahaan mulai merumuskan strategi transformasi, menyiapkan sumber daya manusia, finansial, dan teknologinya dalam menjalankan transformasi industri 4.0; (4) level 3 (kesiapan matang), level di mana perusahaan telah memiliki strategi transformasi, ada tim yang akan memantau dan melaksanakan implementasi industri 4.0, dan adanya program-program transformasi yang telah atau sedang dijalankan; dan (5) level 4 (sudah menerapkan), yang artinya perusahaan telah menjalankan program transformasi dan memberikan dampak terhadap bisnisnya baik operasional maupun finansial.
Tahapan dalam pelaksanaan transformasi industri 4.0 ini dibangun dari proses komputerisasi di mana dilakukan digitasi dari yang manual ke digital. Tentunya dengan digitasi ini memudahkan dalam proses analisis dan berbagi data untuk membangun konektivitas antarsistem, bagian, divisi, maupun departemen di tingkat horisontal dan vertikal pada setiap jenjangnya dengan teknologi digital sehingga terbangunlah digitalisasi. Adanya konektivitas akan mampu memberikan data dan informasi secara cepat dan tepat. Keputusan-keputusan perusahaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien dengan ketersediaan data dan informasi secara real time. Hal ini memungkinkan sistem atau proses produksi dapat beradaptasi dengan kebutuhan pelanggan dan membuka peluang pengembangan model bisnis baru, maka terjadilah transformasi digital (Gambar 2).
Transformasi industri 4.0 menjadikan tren bisnis tidak hanya bagaimana memproduksi dan mendistribusikan produknya, tetapi sekaligus layanan terhadap pengonsumsian maupun penggunaan produk tersebut. Pelaku industri farmasi tidak hanya memproduksi obat-obatan, tetapi sekaligus memberikan jasa layanan healthcare. Industri pupuk tidak hanya memproduksi pupuk, tetapi juga memberikan jasa layanan agro-solution mulai memilih bibit, menanam, memupuk, budidaya, hingga memanennya. Industri semen tidak hanya menyediakan semen, tetapi juga memberikan jasa layanan pembanguran rumah maupun bangunan, mulai desain, pemilihan material, konstruksi, hingga interior bangunan.
Food solution: tren bisnis industri pangan
Beragam dan bervariasinya data serta informasi dalam menentukan besaran AKG hingga komposisi pemenuhannya terhadap pangan yang harus dikonsumsi, teknologi bigdata, artificial intelligence, dan teknologi pendukungnya memungkinkan dalam membantu mempercepat proses diagnosis, analisis, dan rekomendasinya. Tentunya ini dapat membantu ahli gizi atau dokter dalam memberikan rekomendasi konsumsi pangan yang lebih spefisik baik jenis maupun porsinya. Selain itu, bagi dokter juga dapat menyelaraskan kesesuaian antara pangan yang harus dikonsumsi termasuk batasan atau larangannya dengan dosis obat yang diberikan.
Adanya kemampuan teknologi yang dapat membantu menentukan besaran AKG hingga komposisi pemenuhannya terhadap pangan yang harus dikonsumsi, peluang bagi produsen industri pangan tidak hanya memproduksi pangan, tetapi dapat sekaligus memberikan jasa layanan food solution, mulai konsultansi status gizi, kebutuhan AKG, hingga komposisi pangan yang tepat untuk dikonsumsi. Teknologi bigdata, artificial intelligence, dan teknologi pendukungnya juga akan membantu industri pangan dalam menentukan tren produksi sesuai dengan kebutuhan konsumen dengan adanya layanan food solution tersebut.
Tidak menutup kemungkinan industri pangan yang selama ini berfokus memproduksi pangan, juga melakukan jasa layanan food solution. Demikian halnya dapat pula berkolaborasi dengan industri kesehatan yang secara rekomendasi sebelum mengonsumsi obat, untuk mengonsumsi pangan sesuai kondisi tubuh. Bila selama ini sektor kesehatan lebih identik dengan industri farmasi dan alat kesehatan, sudah saatnya industri pangan menjadi bagian utama dalam mewujudkan masyarakat yang sehat.