Impor beras sebesar 850 ribu ton, walaupun produksi padi meningkat sampai 66 juta ton,tentu masih akan menimbulkan kontroversi dan diskusi publik yang hangat tahun 2011, terutama apabila harga keseimbangan beras di tingkat konsumen masih tetap tinggi pada bulan Januari 2011. Kinerja produksi jagung pada tahun 2010 yang diperkirakan 17,8 juta ton agung pipilan kering, juga masih akan mengandung kontrovesi karena industri pakan ternak agak kesulitan memperoleh pasokan jagung sebagai bahan baku industri. Kinerja produksi kedelai masih sulit untuk ditingkatkan karena hanya mencapai 900 ribu ton dan jauh dari target swasembada kedelai 2014, yang seharusnya mencapai 2,5– 3 juta ton kedelai kering.
Kinerja produksi gula tahun 2010 diperkirakan tidak mencapai 2,4 juta ton, apalagi harus memenuhi target pemenuhan konsumsi domestik yang kemungkinan besar melampaui 4,5 juta ton (minimal 2,5 juta ton gula konsumsi dan 2 juta ton gula rafinasi). Kendala produktivitas di sektor hulu Beberapa faktor penyebab tidak membaiknya kinerja produksi di sektor hulu industri pangan pada tahun 2010 sebenarnya telah banyak disampaikan para analis, seperti fenomena perubahan iklim, buruknya infrastruktur, lemahnya sistem insentif kebijakan, mulai dari skema pembiayaan sampai pada penjaminan harga dan lain-lain. Perubahan iklim yang dimaksud adalah perubahan setiap parameter iklim, seperti perubahan cuaca ekstrem, curah hujan, arah angin, dan sebagainya. Perubahan curah hujan yang sangat anomali seperti saat ini akan mengganggu aktivitas pertanian, terutama padi dan palawija. Peluang terjadinya iklim basah (La Nina) masih sangat tinggi, sampai Februari-Maret-April 2011 (82 persen), bahkan sampai Maret-April-Mei 2011 (62persen). Pertemuan suhu muka laut
yang sangat dingin di Samudra Pasifik (Daerah Nino 3.4) dan suhu perairan Indonesia yang hangat diperkirakan akan menimbulkan curah hujan dengan intensitas tinggi di Indonesia,bahkan sampai musim panen raya 2011. Hal-hal seperti inilah yang benar-benar perlu diwaspadai oleh pelaku usaha pangan, pemerintah, petani dan masyarakat, dari tingkat pusat sampai daerah.
Hasil studi akademik menunjukkan bahwa genangan air berlebihan meningkatkan peluang rawan banjir di persawahan menjadi 3 persen dan peluang puso (biji hampa) sampai 14 persen. Sementara, musim kering ekstrem akan meningkatkan peluang kekeringan di persawahan menjadi 8 persen, dan peluang puso sampai 2 persen. Secara keseluruhan, perubahan iklim ekstrem berpeluang menurunkan produksi pangan sampai 10 persen (Irsal Las dan kawan-kawan, 2009) jika negara tidak melakukan apa-apa.
Komoditas pangan yang berbasis perkebunan, seperti kelapa sawit, kopi, kakao, teh dan lain-lain pada tahun 2011 sebenarnya memiliki prospek yang cerah, karena tingkat produksi di dalam negeri masih cukup tinggi. Produksi minyak sawit mentah (CPO=crude palm oil) Indonesia tahun 2010 bahkan diperkirakan melampaui 22 juta ton, jauh melewati produksi minyak Malaysia, yang diperkirakan masih sekitar 18 juta ton. Walaupun ditekan dengan sekian macam isu sensitif seperti konversi hutan alam, ekspansi kebun sawit ke daerah gambut, kerusakan lingkungan hidup, emisi gas karbon, sampai pada kontaminasi klorin, ekspor CPO Indonesia masih akan meningkat pada 2011, mungkin melampaui 17 juta ton. Pungutan bea keluar ekspor CPO yang ditetapkan berdasarkan harga internasional memang akan memberikan tambahan penerimaan negara, walaupun petani dan pelaku usaha perlu lebih serius memutar otak agar keuntungan yang dihasilkan mampu dijadikan tambahan modal usaha dan masa depan industri pangan berbahan baku CPO.
Tantangan di sektor hulu masih belum banyak bergeser dari tingkat produktivitas kebun sawit rakyat yang masih jauh dari produktivitas kebun sawit swasta besar, yang telah mencapai sekitar 17 ton per hektar. Pada tahun 2011, rencana pemerintah untuk melakukan peremajaan kebun sawit perlu segera direalisasikan, minimal dimulai dari proyek percontohan di beberapa sentra produksi dengan kebun berumur tua, di atas 30 tahun. Kealpaan melakukan peremajaan akan membawa konsekuensi yang amat mahal karena Indonesia akan kehilangan momentum untuk meningkatkan produktivitas, sesuai dengan potensi rata-ratanya sampai 30 ton per hektar. Tantangan terbesar dari industri pangan pada 2011 dan beberapa tahun ke depan adalah konsistensi kebijakan pengembangan industri hilir (sering disebut “hilirasasi”), agar nilai tambah industri dapat dinikmati pelaku usaha domestik, dan perekonomian Indonesia secara umum.
Kinerja industri kopi nasional pada tahun 2011 juga tergolong cerah, walaupun faktor peningkatan produktivitas dan kualitas panen kopi di beberapa sentra produksi tetap merupakan kata kunci masa depan industri bernilai tambah tinggi ini. Saat ini produksi kopi masih sekitar 500 ribu ton, yang dihasilkan dari luas panen sebesar 1,3 juta hektar, terdiri dari 1,1 juta hektar (82 persen) kopi Robusta dan 300 ribu hektar (18 persen) kopi Arabika. Kinerja ekspor kopi tahun 2010 memang mengalami penurunan sampai 350 ribu ton, atau sangat signifikan dibandingkan dengan 400 ribu ton pada tahun 2009. Namun demikian, mengingat pergerakan harga kopi dunia yang meningkat amat cepat sampai US$ 188 per ton untuk Robusta dan US$ 480 per ton untuk Arabika, pada tahun 2011 kegairahan peningkatan produksi kopi nasional akan meningkat. Hal yang harus diperhatikan adalah sensitivitas perluasan (ekspansi) kebun kopi ke arah hutan lindung dan taman nasional, yang merupakan biodiversity hotspot dan akan menjadi sorotan dunia. Tanggung jawab korporasi dari importir kopi dunia serta industri pengolahan dan retail kopi akan tercerminkan dari keseriusan mereka dalam menerjemahkan prinsip-prinsip global environmental governance pada segenap rantai pasok kopi dari hilir sampai ke hulu di tingkat petani. Penggunaan pupuk organik, penanggulangan hama terpadu (secara biologis), promosi tanaman naungan dari jenis legume (kacang-kacangan) yang mengandung bakteri bintil akar yang mampu mengikat unsur hara nitrogen dari udara adalah sedikit saja dari contoh-contoh reformasi teknik budidaya kopi yang perlu menjadi agenda nasional.
Sekali lagi perlu ditekankan di sini, bahwa prospek industri pangan nasional pada tahun 2011 masih cukup cerah, dan telah bergeser menjadi tantangan besar dalam peningkatan daya saing industri secara keseluruhan. Sebagaimana diketahui, industri pangan masih tetap mengandalkan prinsip-prinsip keterkaitan ke depan (forward linkages) dan keterkaitan ke belakang (backward linkages) untuk menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi. Industri pangan yang memiliki hulu sektor pertanian, juga akan memiliki daya saing yang rendah, jika tingkat keterkaitan ke depan dan ke belakangnya juga rendah. Di sinilah pentingnya bahwa sektor pangan di hulu wajib terintegrasi dengan industri pengolahan, pemasaran, dan produk turunan lainnya, serta juga dengan industri bahan baku, faktor produksi, seperti benih, pupuk, dan sebagainya.
Konsep daya saing yang lebih modern perlu disempurnakan mulai dari tingkat produk, komoditas, industri sampai pada tingkat bangsa lebih banyak berpijak pada pemikiran Michael Porter, yang secara tegas dan konsisten mengembangkan konsep keunggulan kompetitif. Porter sebenarnya lebih banyak menekankan pada faktor produksi yang dibangun, dikreasi atau diciptakan (created), bukan hanya yang merupakan berkah yang dimiliki suatu negara (endowed). Mekanisme yang dijadikan titik tolak pembahasan Porter adalah proses signal permintaan (demand signaling) yang mampu menggerakkan segenap sektor dan aktivitas ekonomi yang berhubungan. Pada mekanisme ini, daya saing sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang menyandarkan aktivitas ekonominya berdasarkan pemanfaatan teknologi dan inovasi. Dengan kata lain, perekonomian negara akan banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk mendorong dan menggerakkan inovasi atau yang sering disebut sebagai ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy=KBE). Singkatnya, prospek industri pangan pada 2011 dapat menjadi lebih cerah apabila disertai kemampuan manajemen dan mobilisasi sumberdaya nasional yang sangat berlimpah ini. Bustanul Arifin
FOODREVIEW INDONESIA Edisi Januari 2011