Evaluasi Keamanan Pangan 2011


Selama 2011, berbagai isu keamanan pangan banyak menghampiri industri pangan. Mulai dari susu bermelamin, Enterobacter sakazakii pada susu formula, nipagin pada mi instan, phthalat pada kemasan pangan dan cloudifier, hingga hebohnya kontaminasi EHEC di Eropa. Belum lagi permasalahan klasik, yang terutama banyak dialami industri kecil menengah.Kejadian-kejadian tersebut sempat menimbulkan kepanikan bagi konsumen, terutama dengan semakin mudahnya informasi tersebar melalui berbagai sarana media. Apalagi bila tanpa diikuti oleh komunikasi risiko yang baik.

Menurut Kepala Badan POM RI, Dra. Kustantinah Apt MApp Sc, berdasarkan evaluasikeamanan pangan 2011, dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh pihaknya bersama instansi terkait, masih banyak ditemukan pangan yang belum memenuhi persyaratan keamanan dan mutu. “Dari survei yang dilakukan oleh Badan POM RI bersama para stakeholder, kita masih sering menemukan produk pangan yang belum terdaftar, kadaluwarsa, bahkan sudah rusak,” tutur Kustantinah. Namun demikian, Kustantinah mengungkapkan bahwa temuan tersebut sudah banyak berkurang dibandingkan tahun sebelumnya. “Contohnya pada jajanan anak sekolah, dari 44% temuan, kini sudah turun 30%. Semoga ke depannya bisa semakin diminimalkan, walau tidak mungkin menjadi 0%,” tambah Kustantinah.

 

Untuk itu, Kustantinah menekankan pentingnya pembinaan yang lebih serius terhadap industri rumah tangga. “Sebagian besar industri pangan Indonesia masih berupa industri rumah tangga, dan mereka sangat berkontribusi terhadap perekonomian.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan POM RI, Dr. Roy Sparringa. Menurutnya, industri rumah tangga masih memiliki tantangan besar dalam keamanan pangan. “Permasalahan utama yang mereka hadapi adalah penyalahgunaan bahan berbahaya yang ditambahkan ke dalam pangan, penambahan bahan tambahan pangan yang berlebihan, dan kontaminasi kimia serta mikrobiologi akibat rendahnya kondisi sanitasi,” papar Roy. Selain itu, beberapa produk berisiko yang seharusnya didaftarkan ke Badan POM RI dengan nomor MD, justru hanya didaftarkan ke Dinas Kesehatan dengan nomor PIRT. Inspektor keamanan pangan daerah yang diharapkan dapat membantu pun belum termanfaatkan secara optimal. Belum lagi masih banyaknya Pemerintah Daerah yang kurang memiliki kepedulian untuk menyediakan infrastruktur dan sumber daya dalam mendukung dan mengontrol keamanan pangan tingkat industri rumah tangga (IRT).
 
Selama 2001 hingga 2010, Badan POM RI mencatat bahwa kasus luar biasa (KLB) sebagian besar masih diakibatkan oleh pangan rumah tangga (45%), pangan jasa boga (21%), dan pangan olahan (16%). Berkaitan dengan hal tersebut, Roy menyayangkan keterbatasan data yang tersedia. “Hal ini karena pemerintah daerah masih hanya fokus pada upaya penyembuhan dan kurang menelusuri penyebabnya.” Akibatnya banyak KLB akibat pangan yang tidak terlaporkan, termasuk akibat tidak tersedianya sampel.
 
Selain itu, Roy juga menggaris bawahi isu lain yang cukup menjadi perhatian Badan POM RI. Antara lain peredaran pangan yang belum teregistrasi, terutama pangan impor ilegal dan iklan pangan yang tidak sesuai dengan peraturan atau saling mendiskreditkan.
 
Roadmap keamanan pangan
 
Tantangan keamanan pangan yang semakin kompleks, membutuhkan sinergisme yang kuat antara pemerintah, produsen, dan konsumen. Produsen memiliki tanggung jawab terhadap keamanan produk yang diproduksinya, dan pemerintah akan melakukan pengawasan terhadap hal tersebut. Sementara itu, konsumen dituntut menjadi lebih cerdas dengan memilih produk yang bermutu dan aman.
 
Guna menuju tersedianya pangan yang sehat -dimana konsumen akan terlindungi dan produk memiliki daya saing tinggi, maka Badan POM RI telah menyusun roadmap keamanan pangan. Menurut Roy, terdapat tiga tahapan dalam roadmap tersebut, yakni 1) membangun sistem keamanan pangan (hingga 2010), 2) mengoptimalkan pengawasan keamanan pangan, dengan memfokuskan komunikasi risiko (2011-2014), dan 3) menciptakan kemandirian keamanan pangan (2015-2019). “Dalam setiap
tahapan ada 5 grand strategy yang dikembangkan. Meliputi kelembagaan dan regulasi, pengembangan sumber daya, penguatan jejaring, pengawasan berbasis risiko, serta komunikasi risiko,” ujar Roy. Adanya roadmap tersebut, diharapkan dapat meningkatkan jaminan keamanan pangan secara terus menerus,
sehingga tercipta kemandirian dan daya saing yang kokoh. Targetnya roadmap tersebut dapat tercapai pada 2019.Hendry Noer F.
 

 

(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Januari 2012)

Artikel Lainnya