Karakteristik mikrobiologi adalah salah satu kriteria mutu dan keamanan bahan atau produk pangan. Oleh karena itu pengujian karakteristik mikrobiologi seringkali dilakukan untuk memenuhi berbagai kriteria mikrobiologi yang diberlakukan untuk suatu bahan atau produk pangan. Berbagai metode pengujian mikrobiologi, baik yang konvensional maupun yang baru atau cepat juga telah banyak dikembangkan dan beberapa telah diaplikasikan.
Pengujian mikrobiologi pada produk pangan memiliki beberapa keterbatasan. Pertama adalah bahwa hasil pengujian hanya menunjukkan hasil (outcome) tanpa memberi informasi bagaimana proses yang terjadi. Kedua adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan analis. Pada umumnya standar pengujian mikrobiologi menggunakan basis reaksi biokimia yang memerlukan waktu lama (24-48 jam), terlebih jika pengujian patogen yang dilakukan maka waktu yang diperlukan bisa lebih lama (5x24 jam). Kendala ketiga adalah biaya, karena pengujian memerlukan biaya yang tidak sedikit. Terkait dengan kendala ketiga dan bahwa pengujian mikrobiologi di industri tidak mungkin diaplikasikan kepada semua bahan atau produk maka keterbatasan keempat adalah bahwa pengujian mikrobiologi umumnya dilakukan terhadap sampel, sementara itu tidak ada satu pun sampling plan yang mampu membe rikan jaminan ketiadaan suatu mikroorganisme.
Meskipun terdapat berbagai keterbatasan tersebut, tetapi pengujian mikrobiologi selalu menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari sistem manajemen keamanan pangan, tidak hanya di tingkat industri tetapi juga di tingkat negara. Pengujian mikrobiologi yang spesifik di tingkat negara misalnya dilakukan dalam rangka epidemiologi, surveilan atau investigasi keracunan. Pengujian yang spesifik di tingkat industri, misalnya dilakukan oleh asosiasi industri tertentu untuk memantu mutu dan keamanan produk tertentu. Pengujian spesifik dalam suatu pabrik misalnya pengujian untuk memenuhi spesifikasi tertentu.
Dalam perkembangannya, saat ini pengujian mikrobiologi di tingkat industri tidak hanya dilakukan untuk menguji keterimaan suatu lot produk. Hal ini disebabkan karena pengujian keterimaan suatu lot produksi saja tidak memberikan jaminan yang cukup karena keterbatasan sampling plan dan karena tidak bisa menunjukkan penyebab kegagalan suatu lot. Oleh karenanya pengujian mikrobiologi dalam kerangka sistem manajemen mutu dan keamanan pangan lebih ditujukan untuk (1) mendapatkan data baseline (misalnya mengenai mutu bahan baku , mutu mikrobiologi produk akhir), (2) memonitor lingkungan dan mengevaluasi pemenuhan GMP/GHP, (3) mendukung pengembangan dan penerapan rencana HACCP dan (4) pemenuhan kriteria mikrobiologi yang diterapkan.
Pengujian mikrobiologi untuk menyusun data baseline dimaksudkan untuk bisa mengklasifikasi suplier misalnya dalam hal konsistensi mutu bahan baku yang disediakan. Pengujian produk akhir, disamping untuk memenuhi kriteria mikrobiologi yang diterapkan, juga ditujukan untuk melihat keragaman produk dari waktu ke waktu dan melakukan analisis tren mutu produk yang dihasilkan.
Monitoring dan pengujian lingkungan adalah salah satu cara untuk mendapatkan indikasi awal bahwa suatu kontaminasi mungkin terjadi. Sampel lingkungan bisa diambil dari udara, peralatan atau produk yang tercecer dari suatu alur produksi. Ditemukannya bakteri indikator atau patogen pada lingkungan dapat digunakan untuk meningkatkan program sanitasi yang diterapkan dalam kaitannya dengan GMP/GHP, sebelum bahaya mutu dan keamanan terjadi pada produk akhir.
Pengujian mikrobiologi dalam rangka penyusunan rencana HACCP umumnya terkait dengan kebutuhan data mikrobiologi untuk digunakan dalam analis bahaya maupun penetapan critical control point (CCP), validasi suatu proses dan verifikasi CCP. Pengujian mikrobiologi monitoring CCP umumnya tidak dilakukan kecuali jika ada metode pengujian cepat seperti uji berbasis ATP, PCR atau ELISA.
Pengujian mikrobiologi secara umum dilakukan untuk memenuhi suatu kriteria mikrobiologi tertentu, baik yang ditetapkan secara wajib oleh pemerintah (standard), persyaratan sukarela untu memenuhi suatu pedoman tertentu yang dikeluarkan oleh pemerintah, asosiasi, perusahaan itu sendiri (guideline), atau pun persyaratan wajib yang terkait dengan hubungan dengan suplier (specification).
Kriteria mikrobiologi (microbiological criteria) adalah suatu batas kriteria yang dapat menunjukkan keterimaan suatu lot berdasarkan jumlah mikroorganisme atau ketiadaan mikroorganisme tertentu dari suatu bahan/produk pangan tertentu. Kriteria mikrobiologi yang baik harus mencakup jenis mikroorganisme yang diuji, metode yang digunakan, pada tingkat mana diterapkan, sampling plan serta jumlah sampel yang harus memenuhi persyaratan tersebut.
Sampling plan untuk pengujian pengujian mikrobiologi umumnya dilakukan dengan mengacu pada ICMSF (1986). Rencana sampling ini disusun berdasarkan 2 hal yaitu tingkat keparahan mikroorganisme yang diuji dan kondisi atau perilaku mikroorganisme uji dalam pangan setelah pengujian sampai dengan pangan tersebut dikonsumsi. Faktor pertama dapat dibagi menjadi 5 kelompok, yakni pengujian utilitas (kriteria mutu, seperti total plate count), indikator sanitasi, dan 3 kelompok patogen dengan tingkat keparahan berbeda. Faktor kedua dikelompokkan menjadi 3 yakni kondisi dimana mikroorganisme mengalami penurunan jumlah, kondisi dimana mikroorganisme tidak berkurang maupun bertambah serta kondisi dimana mikroorganisme mengalami peningkatan jumlah. Kedua faktor ini menghasilkan 15 kasus atau rencana sampling seperti disajikan pada Tabel 1. Adanya berbagai kasus ini memungkinkan kita menetapkan kapan harus mengambil lebih banyak sampel dan kapan kita bisa mengambil lebih sedikit sampel untuk menetapkan keterimaan suatu lot. Pemilihan jenis kasus akan menentukan kinerja sampling kita dan memberi informasi mengenai kondisi produk pada lot yang bersangkutan.
Rencana sampling 3 kelas lazim diterapkan untuk jenis mikroorganisme yang tidak berbahaya atau patogen dengan bahaya sedang seperti Bacillus cereus. Dalam rencana sampling ini maka sejumlah sampel diambil (n) dan ada sejumlah sampel yang boleh bermutu marjinal (c) yakni yang mengandung mikroorganisme dengan jumlah antara m dan M. Untuk pengujian patogen mengandung bahaya serius (Salmonella bukan penyebab tifus) atau parah (Escherichia coli enterohemoragik, Salmonella typhii), maka diberlakukan rencana sampling 2 kelas, dimana umumnya c adalah nol atau tidak ada sampel yang diambil yang boleh mengandung mikroorganisme dalam jumlah melebihi m.
Disamping nilai n dan c, sampling plan juga dilengkapi dengan m dan M. Nilai m merupakan cerminan dari jumlah mikroorganisme pada produk apabila GMP/GHP diterapkan dengan baik. Untuk pengujian patogen dalam sampling plan 2 kelas, umumnya m adalah nol dengan suatu ukuran sampel tertentu, misalnya 25 g. Dengan demikian maka ketiadaan patogen dalam sampel dapat diartikan sebagai batas deteksi < 1 CFU per 25 g atau < 4 per 100 g produk. Jumlah bakteri dalam keseluruhan lot tersebut dapat diperkirakan apabila standar deviasi atau keragaman sampel diketahui. Dalam rencana sampling 3 kelas, m memiliki nilai tertentu sementara M adalah jumlah bakteri yang dianggap tidak memenuhi syarat. Nilai M dapat ditetapkan dari jumlah mikroorganisme pembusuk yang memberikan penyimpangan (odor, misalnya), atau jumlah mikroorganisme dalam lingkungan yang tidak dapat diterima berdasarkan data-data monitoring lingkungan, atau jumlah patogen yang telah dari data keracunan telah dilaporkan dapat membahayakan kesehatan.
Meskipun demikian, beberapa kelemahan yang sering ditemukan dalam suatu kriteria mikrobiologi yang ditetapkan. Termasuk di dalamnya adalah penetapan jenis mikroorganisme yang tidak relevan (menguji mikroorganisme yang tidak pernah terkait atau pernah menyebabkan penyakit melalui produk tersebut), menetapkan kriteria tanpa sampling plan (misalnya mempersyaratkan Salmonella negatif, tanpa ada ketetapan tentang n dan c), tidak menetapkan n, tidak menetapkan metode pengujian yang harus diacu dan sebagainya.
Dengan berkembangnya manajemen keamanan pangan yang berbasis risiko yang berbasiskan FSO (Food Safety Objective, lihat tulisan penulis tentang FSO di FOODREVIEW Edisi 1 Volume III Januari 2008) maka pengujian mikrobiologi juga dapat dikorelasikan dengan upaya mengurangi peluang penyakit atau keracunan yang terjadi di masyarakat. Beberapa metric (kriteria pengukuran) baru turunan FSO seperti PO (Performance Objective) tentunya melibatkan pengujian mikrobiologi di berbagai tahap pengolahan misalnya PO untuk bahan baku, PO setelah proses termal, PO setelah pengemasan dsb (ICMSF, 2002). Pengujian PO diharapkan dapat lebih lagi memberi jaminan mutu dan keamanan produk akhir, sehingga pengujian produk akhir yang memiliki keterbatasan apa pun sampling plan yang diterapkan, tidak lagi menjadi satu-satunya tumpuan dalam mengevaluasi mutu dan keamanan pangan produk yang dihasilkan.
Referensi
- ICMSF, 1986. Microorganisms in Foods, 2. Sampling for Microbiological Analysis : Principles and Specific Applications,2nd edition. Blackwell Scientific Publications
- ICMSF, 2002. Microorganisms in Foods, Book 7. Microbiological Testing in Food Safety Management. Kluwer Academic/Plenum, NY
(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Desember 2009)