Industri pengolahan daging Indonesia sesungguhnya sudah ada sejak jaman dulu. Badranaya, misalnya, produsen sosis di Bandung, menyatakan telah berdiri sejak jaman Belanda, sementara Canning Indonesia Product (CIP) Bali, produsen kornet sapi dalam keleng merk Pronas, didirikan tahun 1942. Selain itu, juga sudah lama berdiri di Bali, pabrik sosis seperti Titeles ditahun 50 an dan Aroma sekitar tahun 70 an, yang utamanya memproduksi produk olahan dari babi.
Tapi awal era perkembangan yang lebih cepat mungkin dimulai dengan berdirinya PT Kemang Food Industries di Jakarta pada tahun 1978, kemudian diikuti oleh Perusahaan besar lain seperti Madusari, San Miguel, Purefoods, Eloda Mitra, kemudian JAPFA, Prima Food, Belfoods, KIBIF, dan Dagsap. Total yang kini terdaftar sebagai anggota Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (National Meat Processor Association, NAMPA) berjumlah 23 perusahaan. Dan tentunya masih ada yang belum bergabung.
Agak sulit memperkirakan secara tepat berapa omzet industri ini pada tahun 2010, tetapi perkiraan kasar untuk anggota NAMPA adalah sekitar Rp. 2.5 trilyun, dengan pertumbuhan di atas 15 % pertahun, pada dua tahun terakhir ini. Diperkirakan jumlah itu separuh berasal dari ayam olahan dengan produk utamanya nugget dan sosis, serta separuh lagi dari sapi dengan produk utamanya bakso, burger dan sosis. Beberapa merek yang banyak dikenal antara lain So Good, Fiesta, Villa, Bernardi, Farmhouse, Kimbo, CIP, Delfarms, So Lite dan banyak lagi.
Omzet Rp. 2.5 trilyun tersebut belum termasuk omzet non anggota NAMPA, dimana banyak sekali produsen UKM yang memproduksi bakso, serta beberapa perusahaan agak besar yang belum menjadi anggota.
Pada Tabel 1 ditunjukkan volume produksi sosis. Walau contohnya hanya sosis, itupun didekati dengan panjang sosis casing yang dipakai, data menunjukkan masih sangat rendahnya produksi daging olahan di Indonesia dibanding negara tetangga di ASEAN, apalagi jika mengingat tingginya jumlah penduduk Indonesia. Ditinjau dari sisi masih rendahnya tingkat produksi maupun konsumsi, terlihat prospek yang besar, sebaliknya lebih majunya industri pengolahan daging di negara tetangga, jelas merupakan ancaman serius, terutama dengan adanya CAFTA 2010 dan akan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang mungkin akan menghapus semua hambatan perdagangan antar negara ASEAN.
Bahan baku
Salah satu hambatan besar bagi dunia industri pengolahan daging Indonesia untuk bersaing dengan negara tetangga, adalah dalam pengadaan bahan baku daging.
Pengusaha Indonesia praktis harus membeli bahan baku yang jauh lebih mahal dibanding negara tetangganya, karena untuk sapi mereka bisa menggunakan daging asal India yang harganya jauh lebih murah daripada daging asal Australia/New Zealand. Sementara di Indonesia tidak dibenarkan menggunakan sapi asal India. Selain itu, mereka juga bisa menggunakan bahan baku ayam dari luar negeri jika produsen dalam negerinya belum dapat memenuhinya, sementara hal itu lebih sulit prosedurnya di Indonesia.
Untuk ayam utuh sumber pasokan dalam negeri cukup tersedia, sementara untuk daging sapi hampir sepenuhnya dipasok oleh daging impor ataupun daging dari sapi yang dipotong di dalam negeri tetapi berasal dari sapi impor. Tabel 2 menunjukkan perbandingan asal daging sapi industri daging di Indonesia dengan negara tetangga.
Dari data impor tersebut, terlihat jelas sekali bahwa dua negara tetangga kita, Malaysia dan Filipina banyak menggunakan
bahan baku dari India yang diketahui harganya jauh lebih murah dari pada daging sapi eks Australia dan New Zealand yang dipakai di Indonesia.
Di perbatasan dengan Malaysia seperti Batam dan Pontianak telah ditemukan cukup banyak produk olahan dari Malaysia hasil selundupan (tanpa ML) dengan harga yang jauh lebih murah, baik berasal dari ayam maupun sapi.
Bahkan baru-baru ini kami telah menemukan sosis dan bakso Malaysia di Jakarta yang masuk resmi dengan no ML 215101007675 untuk produk bakso sapi dan ML 21480101009675 untuk sosis sapi.
Permasalahannya tentunya pada kenyataan bahwa industri pengolahan sapi Indonesia tidak boleh menggunakan bahan baku dari India, sebaliknya produk jadi dari luar negeri yang memakai bahan itu boleh masuk, sehingga dirasa tidak ada “equal treatment“, yang lebih menguntungkan produsen luar negeri, dan berpotensi mematikan industri dalam negeri.
Secondary cuts
Untuk bahan baku daging olahan, digunakan bagian sapi yang tergolong “secondary cuts “, bukan daging terbaik yang biasa di gunakan untuk “steaks”.
Amerika Serikat sebagai salah satu produsen daging sapi terbesar, membuat amat banyak sosis dan burger sehingga untuk secondary cuts justru masih impor. Dengan demikian sumbernya tinggallah Australia, New Zealand, Brazil, Argentina dan India. Ketiga negara terakhir belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) sehingga dilarang diimpor
Indonesia.
Untuk produk olahan ayam, sebagian besar pasokan dipenuhi oleh pasokan dalam negeri, kecuali dirasakan kekurangan bagian yang disebut MDM (daging ayam yg diperoleh dari pemisahan secara mekanis daging dari tulang), menurut peraturan yang ada boleh diimpor, tapi masih mengalami kendala, terutama untuk menentukan berapa sebenarnya kekurangan terhadap pasokan lokal.
Permasalahan pengiriman ke daerah
Hambatan lain adalah transportasi, di mana Malaysia membutuhkan biaya yang jauh lebih rendah untuk mengirim produk ke Kalimantan dan Sumatera dibanding industri dalam negeri yang umumnya berlokasi di Jawa dan Bali. Begitu pun Filipina akan jauh lebih murah jika mengirim ke wilayah perbatasannya dengan Indonesia. Di lain pihak pengiriman antar daerah di Indonesia saja, juga adakalanya dipersulit dengan pungutan dari Peraturan daerah tertentu.
Prospek
Di lain pihak, selama pemerintah dapat menjaga serbuan yang tidak adil dari produk asing yang menggunakan bahan yang dilarang di Indonesia, atau adanya “equal treatment”, serta dijaminnya kebutuhan bakan baku -baik dari pasokan dalam maupun luar, maka prospek industri pengolahan daging Indonesia sangat cerah mengingat:
- Akan terus meningkatnya konsumsi daging per kapita rakyat sejalan dengan peningkatan pendapatan
- Peningkatan akan kebutuhan produk siap saji seiring dengan makin banyaknya suami istri bekerja dan makin langkanya PRT (Pembantu Rumah Tangga)
- Keinginan untuk makanan yang lebih bervariasi
- Keinginan memanfaatkan “portion pack” yang memudahkan perhitungan biaya
- Mendapatkan produk hewani dengan harga terjangkau (cukup banyak produk olahan yang per kg nya lebih murah dari harga daging per kg)
Perkembangan pasar
Pada Dekade tahun 70 – 80, industri pengolahan daging mulai berkembang cukup cepat seiring dengan tumbuhnya supermarket pada masa itu seperti Hero, Gelael , Golden Truly. Sebab untuk mendistribusikan produk olahan pangan sejenis sosis , burger dengan baik diperlukan rantai dingin yang hanya di miliki oleh supermarket, baik berupa show case maupun cold storage untuk stok nya.
Kemudian juga berkembang “freezer point”. Di mana toko yang relatif kecil berjualan dengan menggunakan beberapa freezer box. Ini tentu di luar produk kornet sapi kaleng yang sudah dikenal jauh hari.
Pada perkembangan yang lebih mutakhir, beberapa produsen telah mengeluarkan produk sosis yang tidak memerlukan rantai dingin dalam penyimpanan dan distribusi. Ini membuka wacana baru penjualan sosis ke warung yang lebih kecil di daerah yang lebih terpencil.
Tren yang juga tampak nyata adalah makin banyaknya dijual produk dalam kemasan kecil, yang walaupun menyebabkan sangat tingginya ongkos kemasan, tetapi menyebabkan harga bisa menjangkau kalangan yang lebih rendah pendapatannya.
Produsen daging olahan Indonesia juga sudah mampu memenuhi kebutuhan konsumen kelas atas, seperti hotel berbintang dan restoran kelas atas, bahkan juga restoran yang merupakan jaringan international.
Di semua lapisan masyarakat, bakso, sosis, burger, dan nugget tampaknya sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari hari. Walau pun demikian, faktanya kemajuan yang ada masih sangat lambat dibanding apa yang terjadi di negara tetangga.
Abdul Salam Babji and Seri Chempaka Mohd. Yusof, Universiti Kebangsaan Malaysia (1995) menyatakan :
Per capita consumption of meat and meat products in Malaysia more than doubled from 15.70
kg in 1970 to 35.71 kg in 1990. This increase in meat consumption is mainly due to the rapid
development and wide acceptance of value added meat and poultry products amongst Malaysian
consumers. Meat products such as burgers, sausages, hotdogs and nuggets are widely accepted
and consumed by all ethnic groups at home as well as in the fast food restaurants.
Apa yang terjadi di Malaysia sesungguhnya bisa juga terjadi jika kemudahan mendapatkan bahan baku baik produksi lokal maupun impor yang mutu dan harganya sesuai mudah didapat di Indonesia.
Konsumsi per kapita untuk daging merah Indonesia hanya konstan sekitar 1.7 kg sementara untuk ayam sekitar 5.5 kg, atau total sekitar 7 kg. Sesungguhnya industri pengolahan daging bisa menjadi lokomotif kemajuan agroindustri peternakan, jika saja yang terjadi bukan sebaliknya, dimana kemajuan produksi dalam negeri sangat tidak memadai, karena pasokan bahan baku lokal kurang. Sementara pengadaan bahan dari luar negeri juga dibuat tersendat.
Malaysia membuktikan bahwa industri peternakan ayamnya tetap bisa maju seiring dengan perkembangan value added products, yang sebagian bahan bakunya antara lain Chicken MDM yang di impor dari luar negeri yaitu dari Belanda dan Denmark. Sementara Filipina banyak mengimpornya dari Brazil.
Keadaan di Indonesia, seolah industri pengolahan terjepit, antara fakta belum terpenuhinya produksi lokal untuk bahan baku, di lain pihak tidak diperkenankan melakukan impor.
Oleh : Haniwar Syarif Direktur Eksekutif NAMPA
(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Maret 2011)