Permintaan terhadap gula rendah kalori, mendorong banyak pihak melakukan inovasi dengan mengembangkan berbagai jenis pemanis. Namun, di balik potensinya sebagai pemanis rendah kalori, ternyata ada juga yang memiliki manfaat lainnya, yakni sebagai prebiotik. Setidaknya ada dua jenis pemanis yang memiliki efek prebiotik, yaitu laktitol dan tagatose.
Penjualan ingridien prebiotik diperkirakan mencapai 90 juta Euro di pasar Uni Eropa pada 2009 lalu. Nilai ini diprediksi oleh Frost & Sullivan akan meningkat menjadi 179,7 juta Euro pada 2010 ini. Peningkatan tersebut kemungkinan tidak hanya terjadi di Eropa, tetapi di belahan dunia lain, termasuk Indonesia. Walau konsumen lebih mengenal probiotik, namun perlahan istilah dan manfaat prebiotik mulai dipahami secara luas.
Dari total pasar prebiotik tersebut, memang saat ini masih didominasi oleh inulin. Namun, dalam perkembangannya ingridien lain yang memiliki manfaat prebiotik juga menunjukkan potensinya. Termasuk di dalamnya dua jenis pemanis laktitol dan tagatose.
Laktitol
Laktitol merupakan salah satu jenis gula alkohol yang diijinkan penggunaannya di Indonesia. Pemanis ini berkontribusi terhadap energi sebesar 2,0 Kal/g dan memiliki tingkat kemanisan relatif 30-40% terhadap sukrosa. Nilai ADI-nya tidak dinyatakan, karena termasuk Generally Recognized as Safe (GRAS). Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, pada label wajib mencantumkan peringatan “Konsumsi berlebihan dapat mengakibatkan efek laksatif”, apabila diyakini dikonsumsi lebih dari 20 gram perhari.
Seperti halnya poliol lain, laktitol memberikan sifat bulk dan cooling effect, mempertahankan kelembaban, serta tidak mengakibatkan efek pencoklatan. Laktitol bisa digunakan untuk produk berbasis susu, jam, jellies, kembang gula, produk bakery, dan lainnya.
Penelitian mengenai manfaat prebiotik dari laktitol di antaranya dipublikasikan oleh European Journal of Nutrition. Dalam jurnal tersebut, Finney et al. (2007) melakukan studi terhadap laktitol. Pemanis dengan nama kimia 4-beta-d-galactopyranosil-d-glucitol ini ternyata mempengaruhi populasi mikroflora usus, termasuk meningkatkan Bifidobacteria.
Tagatose
Tagatose tergolong low carbohydrate sweetener yang berkontribusi terhadap energi sebesar 1,5 Kalori per gram (bandingkan dengan sukrosa yang berkontribusi 4 Kalori per gram).
Tagatose berlaku seperti fruktosa dalam tubuh, tapi hanya 15-20% yang terserap dalam usus kecil. Karena penyerapan yang tidak lengkap tersebut, tagatose memiliki pengaruh yang minimal terhadap kadar insulin dan gula darah. Selain itu, tagatose yang belum terserap tersebut dapat beraksi sebagaimana prebiotik dengan meningkatkan produksi butirat dan mendukung pertumbuhan bakteri asam laktat.
Seperti halnya low digestibility carbohydrates dan dietary fibers lainnya, tagatose difermentasi di kolon menjadi asam lemak rantai pendek -yang mengurangi keasaman dan berkontribusi terhadap kesehatan epitelium di usus besar. Asam lemak rantai pendek kemudian diserap dan dimetabolisme secara sempurna, dan pada beberapa inividu yang sensitif dapat menimbulkan flatulensi.
Status tagatose
Secara teknis, pemanis yang memiliki nama D-tagatose tersebut berupa bubuk kristal putih dan merupakan epimer dari D-fruktosa. Bahan utama pembuatan ini adalah laktosa, karena sebenarnya tagatose secara alami ditemukan pada susu dalam jumlah kecil.
Pertama kali dilaunching di Amerika Serikat pada 2003 dan FDA (Food Drug and Administration) memberikan status sebagai GRAS (Generally Recognized as Safe). Selain itu, FDA juga menyetujui “dental claims” terhadap produk dengan tujuan “tooth friendly products”. Klaim tersebut misalnya gula tagatose tidak mengakibatkan kerusakan gigi” atau “gula tagatose dapat mengurangi risiko kerusakan gigi”. Sementara itu, JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) menyatakan nilai ADI (Acceptable Daily Intake) “not specified” (tidak dinyatakan), yang artinya pemanis ini berada dalam kategori aman. Di Korea, penggunaan tagatose disetujui pada 2003. Sedangkan Australia dan Selandia Baru menyetujui penggunaannya pada 2004. Indonesia sendiri, Badan POM belum menyertakan tagatose dalam daftar pemanis yang diijinkan penggunaannya.
Penggunaan tagatose
Tagatose ideal digunakan pada minuman ringan “diet”. Pemanis ini memiliki pengaruh sinergis dalam meningkatkan flavor jika digunakan dengan pemanis berintensitas tinggi lainnya -seperti acesulfam-K, sukralosa, dan aspartam. Tagatose juga dapat meningkatkan flavor mint dan lemon pada chewing gum, toffee flavor, dan ceaminess dalam berbagai produk berbasis susu.
Tagatose stabil pada produk asam seperti minuman berkarbonasi dan yoghurt. Selain itu, juga dapat digunakan pada produk yang mengalami “frosting”, karena sifatnya yang mudah membentuk kristal.
Pada produk bakery, tagatose dapat digunakan dalam jumlah kecil untuk meningkatkan kelembaban dan flavor. Tetapi komponen ini dapat mengalami karamelisasi seperti halnya sukrosa.
Dalam perkembangannya, tagatose kemudian juga banyak digunakan di dunia farmasi. Berbagai macam studi mencoba mengeksplorasi manfaatnya sebagai antidiabetic dan obesitas. Fri-09
Referensi
- Finney, M., J. Smullen, H. A. Foster., S. Brokx, and D. M. Storey. 2007. Effects of Low Doses of Lactitol on Faecal Microflora, pH, Short Chain Fatty Acids, and Gastrointestinal Symptomology. European Journal of Nutrition. 46: 307-314.