Oleh V. Erlita Kristianto
Susu dengan rasa coklat merupakan produk terfavorit sampai saat ini karena disamping rasa dan aromanya yang banyak disukai berbagai kalangan, unsur kesehatan pada susu dan coklat / cocoa juga sudah dikenal oleh konsumen.
temperature short time (HTST) dan ultra high temperature (UHT). Metode HTST pada susu adalah pemanasan pada temperatur 71.7oC selama 15 detik, sedangkan metode UHT adalah pemanasan pada temperatur 135oC selama 1 detik (Adams and Moss, 2000). Temperatur dan waktu pada kedua metode ini dapat bervariasi, disesuaikan dengan komposisi dan jenis susu.
Aplikasi cocoa powder pada susu coklat liquid
Kualitas cocoa powder sangat menentukan kualitas dari susu coklat yang akan dihasilkan. Spesifikasi cocoa powder berkualitas yang dapat diaplikasikan untuk susu coklat adalah seperti yang terlihat pada Tabel.
Aplikasi cocoa powder pada susu coklat dapat terbilang cukup kompleks karena berkaitan dengan warna, rasa, aroma dan kestabilan selama masa penyimpanan. Faktor-faktor pada cocoa powder yang dapat mempengaruhi kualitas dari produk susu
coklat liquid adalah sebagai berikut:
Nilai pH
Semakin tinggi pH cocoa powder yang diaplikasikan ke dalam susu coklat, maka susu akan semakin kurang stabil terhadap panas yang dapat mengakibatkan terbentuknya gel (gelling) seperti yang terlihat pada Gambar 1, ataupun gumpalan lunak (curdling) seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Di lain sisi, semakin alkalis cocoa powder yang diaplikasikan ke dalam susu, semakin kuat rasa dan aroma yang dihasilkan serta warna akan semakin gelap. Apabila pH terlalu rendah (misalnya dibawah 6 untuk produk natural cocoa powder), protein susu juga akan rusak karena sifat asam dari cocoa powder. Dalam hal ini, protein susu sangat sensitif terhadap pH. Semakin dekat pH cocoa powder dengan pH susu, semakin kecil kemungkinan ketidakstabilan yang ditimbulkan. Nilai pH cocoa powder yang biasa digunakan untuk aplikasi susu coklat adalah 6.5 – 7.0.
Kehalusan (Fineness)
Kehalusan pada cocoa powder sangat berperan terhadap kestabilan dan mouthfeel yang ditimbulkan. Semakin tinggi kehalusan dari cocoa powder, maka kestabilan cocoa powder pada susu akan semakin tinggi dan mouthfeel semakin halus (tidak terasa kasar / grity). Cocoa powder dengan kualitas tinggi biasanya memiliki kehalusan minimum 99.75% (melalui sieve 75µm) dimana akan memiliki kestabilan lebih tinggi dan optimalisasi dalam penggunaan stabilizer. Sedimentasi atau terbentuknya endapan merupakan permasalahan utama pada susu coklat apabila cocoa powder memiliki kehalusan yang rendah, biasanya fineness dibawah 99.5%. Hal ini berhubungan dengan stabilizer dimana apabila partikel cocoa powder terlalu besar/kasar, maka ikatan antara antara cocoa powder, protein susu dan stabilizer yang disebut sebagai thixotropic network akan lemah, akibatnya cocoa powder akan mengendap ke bawah dan terbentuk sedimen.
Shell content
Seperti halnya kehalusan, kadar shell (kulit biji coklat) dalam cocoa powder berpengaruh terhadap kestabilan dan mouthfeel. Cocoa powder dengan kandungan shell yang tinggi, apabila diaplikasikan ke dalam susu akan terbentuk endapan berupa titik-titik hitam yang tidak larut. Untuk produk susu coklat, biasanya diterapkan spesifikasi untuk shell content maksimum 1.75%. Kadar shell content cocoa powder yang tinggi dapat mengakibatkan pengendapan dan mouthfeel kasar pada susu. Disamping itu, shell content yang tinggi dimungkinkan dapat menimbulkan perubahan rasa/aroma pada susu coklat selama masa penyimpanan.
Mikrobiologi
Kualitas mikrobiologi pada cocoa powder juga perlu diperhatikan sebab susu merupakan media yang mudah untuk berkembang mikroorganisme dan spora. Kandungan mikroorganisme ataupun spora yang tidak memenuhi spesifikasi dapat berpengaruh terhadap kualitas organoleptik (warna, rasa, aroma), kestabilan, umur simpan serta keamanan (food safety) dari produk susu coklat. Cocoa powder dengan kandungan mikroorganisme atau spora yang tinggi dapat menyebabkan curdling, susu menjadi mengental serta rasa yang asam. Susu dalam kondisi tersebut tidak layak dikonsumsi karena dapat menyebabkan penyakit, terutama gangguan pencernaan. Bakteri yang bersifat patogen yang perlu diwaspadai dapat berkembang pada produk susu adalah Bacillus, Staphylococcus, Salmonella dan Escherichia coli.
Stabilizer
Pada aplikasi susu coklat, diperlukan stabilizer untuk menstabilkan cocoa powder pada susu. Fungsi stabilizer sangat penting pada produk susu coklat diantaranya adalah mencegah terbentuknya endapan cocoa powder selama masa penyimpanan serta berperan dalam mengatur kekentalan (viskositas) yang berhubungan dengan mouthfeel. Terbentuknya endapan cocoa powder merupakan permasalahan utama pada produk susu coklat liquid. Hal tersebut terlihat pada Gambar 3.
Untuk menghindari terjadinya pengendapan pada susu coklat, diperlukan ikatan/ jaringan antara cocoa powder, protein susu dan stabilizer yang disebut sebagai thixotropic network (Lihat Gambar 4). Stabilizer yang dapat digunakan untuk susu coklat adalah carrageenan, alginat, xanthan gum, guar gum, gellan gum, sodium CMC, dan sebagainya. Parameter yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis stabilizer adalah jenis /asal susu, jenis cocoa powder, proses pemanasan dan homogenisasi serta pH dari larutan susu.
Aplikasi stabilizer pada susu coklat harus pada konsenstrasi yang optimum sebab apabila stabilizer terlalu banyak, maka susu akan sangat encer (watery) dan apabila stabilizer terlalu sedikit, maka akan terjadi pengendapan cocoa powder. Disamping itu, stabilizer sangat sensitif terhadap suhu dan pH. Parameter yang mempengaruhi dosis dari stabilizer adalah kuantitas dan kualitas dari cocoa powder yang ditambahkan, tipe stabilizer, suhu pada saat filling, proses pemanasan, kadar dan komposisi protein susu serta kadar lemak pada susu.
V. Erlita Kristianto, MSc, Research and Department PT. Bumitangerang Mesindotama (BT COCOA)
Referensi
- Adams, M.R. and Moss, M.O., 2000, Food Microbiology 2nd edition, The Royal Society of Chemistry, UK
- Johnson,. et al., 2002, The nutritional consequences of flavored milk consumption by school-aged children and adolescents in the United States, Journal of the American Dietetic Association; 102(6): 853-856.