Dalam menganalisa mengapa orang mau membeli dan sebaliknya tidak mau membeli, kita membutuhkan pemahaman terlebih dahulu siapa orang yang dituju tersebut. Perbedaan kebutuhan dari tiap-tiap segmen/kelompok akan menyebabkan jawaban terhadap pertanyaan tentang motivation dan barriers tersebut menjadi terdispersi.
Umumnya Divisi R&D ini masih mempercayakan informasi dan data tentang konsumen dari cerita dan hasil studi yang dikerjakan oleh divisi pemasaran. Dalam kesehariannya, R&D tidak berusaha untuk menjadi lebih dekat dengan kehidupan konsumennya dan mencari informasi secara lebih dalam kesulitan dan keinginan terhadap produk pangan tertentu.
Perusahaan yang masih product-oriented mempunyai tingkat pemborosan yang tinggi - perusahaan selalu melakukan trial and error. Seperti halnya gambling, maka setiap produk yang diluncurkan mempunyai chance yang sama antara berhasil dan tidak berhasil.
Pemborosan perusahaan seputar produk yang gagal di pasar sangatlah besar. Berapa biaya yang sudah dikeluarkan pada saat pengembangan produk? Juga, produk ini harus diproduksi dalam jumlah yang cukup besar untuk mencapai economic of scale. Belum lagi biaya distribusi. Berapa biaya listingnya di pasar modern? Juga betapa banyak biaya komunikasi mulai dari iklan teve, koran, majalah, media sosial dan juga kegiatan-kegiatan yang langsung berinteraksi dengan konsumen seperti sampling dan event-event.
Mitos bahwa perusahaan harus sering mengeluarkan produk baru karena hanya 1 dari 4 produk baru yang akan sukses di pasar - harus dihilangkan! Ini adalah pendapat yang keliru. Seyogyanya, 3 dari 4 produk baru yang diluncurkan, harus diterima oleh konsumennya.
Bagaimana caranya? Mulailah transformasi organisasi menjadi jajaran yang consumer-oriented. Secara praktis beberapa hal yang perlu dirubah antara lain:
• Formulasi produk baru dibuat setelah jelas apa gap keinginan konsumen di pasar
• Tidak reaktif terhadap gerakan kompetitor, tetapi responsif terhadap permintaan konsumen
• Adanya sinergi antar divisi: Pemahaman tentang kepentingan perusahaan lebih penting dibandingkan dengan kepentingan divisi
Responsif dan proaktif
Banyak perusahaan pangan yang masih pasif dan reaktif. Hanya karena perusahaan lain mengeluarkan jenis makanan atau tipe rasa dan kemasan tertentu, maka semua berlomba-lomba untuk menyajikan hal yang sama. Perusahaan masih menyangka bahwa produk yang sama fungsinya jika ditawarkan dengan harga lebih rendah, maka akan diminati oleh konsumen.
Masih banyak perusahaan makanan yang dipimpin oleh teman-teman dengan background eksakta yang biasa berpikir dengan rumus-rumus. Psikologi konsumen tidak sesederhana rumus matematika, jadi satu ditambah satu belum tentu sama dengan dua. Anggapan bahwa produk yang ditingkatkan features (kualitas)nya dan dijual dengan harga yang lebih murah akan menjadi pilihan konsumen – adalah asumsi berbasis matematika.
Konsumen tidak membeli feature produk. Yang dibeli adalah benefitnya. Dan dalam benefit ada dua tipe, yang pertama adalah functional benefit. Yang kedua adalah emotional benefit.
Functional benefit membedakan produk satu dengan lainnya dari sisi teknis, tangible/kasat mata. Apakah rasanya, warnanya, harumnya, kemasannya yang praktis, vitaminnya ditambahkan secara ekstra, dll.Emotional benefit menyentuh aspek-aspek yang lebih abstrak dan intangible, tidak kasat mata.
Sebuah kategori produk yang sudah mapan seperti halnya snack, wafer, misalnya, sudah tidak lagi tepat untuk hal-hal yang bersifat fungsional. Bahwa rasanya enak, renyah digigitnya, dan mengandung vitamin. Semua itu merupakan hal yang bersifat parity atau sama saja antar pesaing. Yang membedakan merek satu dengan lainnya adalah kedekatan emosional merek.
Apa yang dipikirkan oleh konsumen pada saat memikirkan tentang merek tertentu? Misalnya seputar snack, apakah snack tersebut memberikan emotional benefit seperti keceriaan/fun, apakah mempererat persahabatan bersama teman, ataukah menjadi teman setia disaat bosan, dan lain-lain.
Komunikasi pemasaran untuk produk-produk makanan yang sudah jenuh di pasar harus masuk ke kancah pembahasan secara emosional benefit. Pembahasan tentang fungsi produk bukan sesuatu yang bisa membuat seseorang berpaling dan kemudian menjadi konsumen loyal dalam pasar yang sesak.
Produsen bisa mendisain komunikasi kepada konsumennya secara baik pada waktu mereka sudah mengenal karakteristik targetnya. Mengenali konsumen ini tidak bisa dilakukan secara divisional, yaitu di divisi pemasaran saja, atau di divisi penjualan saja, bahkan juga di divisi R&D saja. Semua orang yang terlibat dalam proses mendeliver value bagi konsumen harus ikut memikirkan dan mengerti seperti apa yang menjadi aspirasi konsumen dan bisa menerjemahkannya secara kongkrit sesuai dengan kompetensi perusahaan.
Kompetisi semakin ketat. Hanya produk makanan yang dekat di hati konsumennya saja yang akan menjadi pemenang. Dan produk ini hanya lahir dari perusahaan yang juga menganggap penting kedekatan dengan konsumennya. Mulailah bergerak - menjadi a Consumer Oriented Organization.
Oleh :
Amalia E. Maulana, Ph.D.
Director,
ETNOMARK Consulting