Kopi Indonesia: Tantangan di Tengah Perubahan Iklim



oleh Purwiyatno Hariyadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, dan South-East Asian Food and Agriculltural Science and Technology (SEAFAST) Center, IPB University 

Kopi, sebagai minuman telah menjadi bagian dari budaya global, yang dapat ditemui di berbagai sudut dunia. Diperkirakan 5 miliar cangkir kopi dikonsumsi setiap hari.

Kopi telah menjadi salah satu komoditas yang paling banyak diperdagangkan di dunia, menempati urutan kedua setelah minyak bumi. Bahkan, Konferensi Tingkat Tinggi G7 Juni tahun ini menjadikan kopi sebagai salah satu agenda strategis yang dibahas, khususnya mengenai strategi pengembangan kopi, petani kopi serta isu adaptasi dengan perubahan iklim dan cuaca ekstrem. 

Terdapat dua jenis kopi utama yang ditanam diperdagangkan secara komersial, yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Jenis kopi arabika menyumbang sekitar 59% dari total kopi dunia dan dikenal dengan rasanya yang kompleks dan halus. Sedangkan sekitar 41% lainnya merupakan kopi robusta (Coffea canephora) dan dikenal dengan kandungan kafeinnya yang lebih tinggi dan rasa yang lebih pahit.

Kopi biasanya ditanam di daerah yang dikenal sebagai “Sabuk Kopi” (The Bean Belt), yang merupakan daerah dengan iklim ideal untuk tanaman kopi, memiliki kombinasi suhu hangat, curah hujan yang konsisten, dan sinar matahari yang cukup untuk tumbuh kembang ideal tanaman kopi. Berikut adalah 5 negara penghasil kopi terbesar di dunia pada tahun 2022, yaitu Brasil, Vietnam, Kolombia, Indonesia dan Ethiopia (Tabel 1).


lebih baik. USDA memperkirakan bahwa produksi kopi indonesia akan meningkat pada tahun 2024/25, dengan panen kopi melonjak 2,8 juta kantong menjadi 10,9 juta kantong, terdiri dari robusta (2,7 juta kantong) dan total produksi Arabika akan menjadi sekitar 1,4 juta kantong (Gambar 1). Laporan ini juga memperkirakan bahwa ekspor Indonesia akan bertambah 2,2 juta kantong (menjadi 6,5 juta).

Karakteristik rantai pasok kopi global
Rantai pasok kopi secara umum dicirikan oleh produsen yang umumnya adalah negara berkembang (Brasil, Vietnam, Kolombia, Indonesia, dll.) dan konsumen utamanya adalah negara maju, seperti AS, Italia, Jerman, Swiss, dll. Kondisi ini menjadikan pasar kopi sangat kompetitif, tetapi tergantung pada beberapa roaster besar dan perusahaan transnasional, yang menguasai hampir 50% pangsa pasar kopi global. Dengan demikian, perusahaan besar dapat mengontrol harga karena volume pembelian mereka yang tinggi. Di sisi lain, produsen kopi umumnya bersifat padat karya dan sangat bergantung pada petani kecil untuk pengelolaan produksi kopi. Secara global petani kopi kecil ini menghasilkan 70% dari produksi global, tetapi pada posisi kekurangan informasi pasar dan mempunyai daya tawar rendah, sehingga bagian keuntungannya juga rendah. Hal ini diungkap oleh the Fairtrade International (2022) dalam laporannya yang berjudul The Global Value Gap in Coffee yang mengidentifikasi adanya kesenjangan antara apa yang diterima petani dan harga eceran akhir kopi, Di mana petani hanya menerima sekitar 8,7% dari harga eceran kopi. 

Masalah keberlanjutan (termasuk lingkungan hidup) dalam rantai pasok kopi
Perubahan iklim telah menjadi tantangan utama yang mengancam keberlanjutan industri kopi global. Kenaikan suhu, pola curah hujan yang tidak menentu, dan peningkatan frekuensi kejadian ekstrem seperti kekeringan dan banjir telah secara signifikan mempengaruhi produksi kopi di berbagai wilayah. Akibatnya, petani kopi menghadapi penurunan hasil panen, hilangnya lahan tanam yang cocok, serta munculnya hama dan penyakit baru yang semakin sulit dikendalikan.

Dampak perubahan iklim terhadap kualitas dan kuantitas kopi
Selain penurunan produksi, perubahan iklim juga berdampak pada kualitas biji kopi. Paparan sinar matahari yang lebih intens dapat menurunkan kualitas cita rasa, sementara pergeseran area tanam ke dataran yang lebih tinggi, meskipun berpotensi meningkatkan kualitas, juga menimbulkan tantangan baru dalam pengelolaan perkebunan. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, meskipun masih memerlukan penelitian lebih lanjut, diperkirakan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kopi dan proses metabolisme biji.

Selain perubahan iklim, industri kopi menghadapi sejumlah tantangan keberlanjutan serius. Banyak petani kopi, terutama skala kecil, kesulitan memenuhi kebutuhan hidup akibat pendapatan yang rendah. Tekanan untuk meningkatkan produksi seringkali menyebabkan deforestasi dan penurunan kualitas biji kopi. Minimnya minat generasi muda, pengelolaan limbah yang buruk, serta penggunaan pestisida berlebihan semakin memperparah situasi.

Meskipun demikian, perubahan iklim juga membawa peluang, seperti perluasan area tanam di dataran tinggi. Namun, potensi ini harus diimbangi dengan upaya adaptasi yang tepat. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi pengembangan varietas kopi tahan iklim, penerapan praktik pertanian berkelanjutan, pembangunan sistem irigasi efisien, serta peningkatan kapasitas petani. Kerja sama antara berbagai pihak sangat penting untuk mengatasi kompleksitas masalah ini dan membangun masa depan yang berkelanjutan bagi industri kopi.

Masalah-masalah baru keamanan pangan kopi
Selain tantangan keberlanjutan, industri kopi juga dihadapkan pada berbagai masalah keamanan pangan yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Dalam hal ini, pelaku usaha kopi perlu menerapkan prinsip-prinsip higiene pangan sebagaimana tertuang dalam General Principles of Food Hygiene dari Codex (CXC 1-1969). Penerapan GPFH secara konsisten akan membantu mencegah kontaminasi oleh berbagai jenis mikroorganisme, termasuk bakteri patogen, virus, dan parasit, serta kontaminan kimia seperti pestisida dan logam berat. Dengan demikian, keamanan dan mutu produk kopi dapat terjamin, sehingga dapat memenuhi persyaratan pasar domestik maupun internasional.Beberapa kontaminan utama yang sering ditemukan dalam kopi antara lain okratoksin A (OTA), residu pestisida, akrilamida, dan hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH).

Okratoksin A (OTA)
Okratoksin A adalah racun berbahaya yang dihasilkan oleh jamur yang sering ditemukan pada biji kopi. Jika tidak dikendalikan dengan baik, pembentukan racun ini dapat mengancam kesehatan dan menyebabkan kanker dan kerusakan ginjal. JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) menetapkan batas asupan mingguan yang dapat ditoleransi sementara (PTWI) sebesar 100 nanogram per kilogram berat badan per minggu untuk OTA. Jamur yang menghasilkan OTA berasal dari beberapa spesies Aspergillus dan Penicillium. Khusus pada kopi, spesies Aspergillus adalah jamur yang berperan utama, khususnya A. ochraceus, A. niger, dan A. carbonarius. Kontaminasi biasanya terjadi selama proses pengeringan dan penyimpanan kopi jika kondisi lingkungan tidak terkendali. Pertumbuhan dan pembentukan OTA terjadi ketika kondisi aktivitas air, kandungan gizi, dan suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan biosintesis jamur tersebut terpenuhi. Untuk mencegah dan mengurangi kontaminasi okratoksin A, Indonesia perlu menerapkan praktik pertanian yang baik sejak awal, memilih buah kopi yang berkualitas, dan mengeringkan serta menyimpan kopi dalam kondisi yang tepat. Dengan mengontrol suhu, kelembapan, dan lama pengeringan, serta menyimpan kopi di tempat yang bersih dan kering, maka pertumbuhan jamur dapat dijegah dan mutu kopi dapat dikendalikan.

Dalam hal ini, Codex telah mengeluarkan Kode Praktik Pencegahan dan Pengurangan Kontaminasi Ochratoxin A pada Kopi (Code of Practice for the Prevention and Reduction of Ochratoxin A Contamination in Coffee, CXC 60- 2009). Kode praktik ini memberikan panduan praktik yang disarankan untuk berbagai tahap produksi kopi, mulai dari pra-panen hingga transportasi pengiriman. Langkahlangkah pencegahan mencakup penanganan sebelum panen, proses panen, pasca panen, pengolahan kering dan basah, pengeringan biji kopi yang telah dipilah dan diolah, penyimpanan, transportasi, perdagangan, hingga pengiriman melalui kapal. Uni Eropa, yang merupakan salah satu negara tujuan ekspor kopi Indonenesia, telah menetapkan batas maksimum untuk OTA (Regulation (EU) 2022/1370) yang berlaku efektif pada January 1, 2023; yaitu 3.0 μg/kg untuk roasted coffee beans and ground roasted coffee, excluding soluble coffee) serta 5.0 μg/kg untuk roasted soluble coffee (kopi instan). Karena itu, Indopnesia sebagai penghasil kopi perlu mecermati dan melakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami dampak keseluruhan perubahan iklim terhadap mikotoksin, terutama OTA, pada kopi. Penerapan praktik pertanian yang baik (GAP) sangat penting, begitu juga dengan penanganan pasca panen yang tepat, seperti pengeringan dan penyimpanan.

Residu Pestisida
Penggunaan pestisida dalam budidaya kopi memang penting untuk melindungi tanaman dari hama dan penyakit. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, pestisida dapat meninggalkan residu berbahaya pada biji kopi. Residu pestisida yang melebihi batas aman dapat membahayakan kesehatan konsumen. Dalam hal ini, perlu dilakukan pemantauan residu pestisida secara berkala, baik oleh industry maupun pemerintah, untuk memastikan tidak melebih Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida yang telah ditetapkan dalam regulasi, termasuk dalam standar Codex. Informasi BMR khusus untuk biji kopi dapat diperoleh melalui Codex Pesticides Residues in Food Online 


Database, yang antara lain disajikan pada Tabel 2.

Sebagai negeri pengekspor kopi, Indonesia perlu memperhatikan bahwa regulasi terkait residu pestisida dapat berbeda-beda antar negara tujuan ekspor. Sebagai contoh, Uni Eropa memiliki standar yang sangat ketat terhadap residu pestisida dalam produk kopi, termasuk larangan total penggunaan pestisida pada kopi organik. Selain itu, Uni Eropa juga tengah merancang aturan yang lebih tegas terkait penggunaan pestisida dan batas maksimum residu. Sebagai ilustrasi, Uni Eropa telah melarang penggunaan chlorpyrifos dan chlorpyrifos-methyl. Oleh karena itu, penting bagi eksportir kopi untuk memahami dan memenuhi regulasi spesifik negara tujuan ekspor untuk menghindari penolakan atau penarikan produk.


Untuk mengatasi masalah ini, terutama dalam rangka menjamin keamanan pangan kopi, Indonesia perlu menerapkan praktik baik perkembunan kopi sejak awal, seperti memilih varietas kopi yang tahan penyakit dan memanfaatkan musuh alami hama. Selain itu, pemantauan residu pestisida secara berkala juga sangat penting untuk memastikan keamanan produk kopi.

Akrilamida
Akrilamida adalah senyawa kimia yang terbentuk saat kopi dipanggang pada suhu tinggi. Semakin tinggi suhu pemanggangan, semakin banyak akrilamida yang terbentuk. Pembentukan akrilamida dalam kopi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti varietas kopi, proses pemanggangan, dan penyimpanan, seperti diilustrasikan pada Gambar 2. 

Untuk mengurangi kandungan akrilamida dalam kopi, para ahli berusaha untuk mengoptimalkan proses pemanggangan. Dengan menyesuaikan suhu dan waktu pemanggangan, kandungan akrilamida dapat dikenalikan tetap rendah. Secara umum, Code of Practice for the Reduction of Acrylamide in Food yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius memberikan panduan komprehensif untuk mengurangi pembentukan akrilamida dalam produk pangan, termasuk kopi. Mengingat potensi risiko kesehatan yang terkait dengan akrilamida, pengendalian pembentukan senyawa ini menjadi sangat penting. Hal ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari produsen kopi, peneliti, pemerintah, hingga konsumen. Dengan menerapkan praktik terbaik yang telah direkomendasikan, risiko kesehatan yang terkait dengan akrilamida akan dapat ditekan. Selain itu, penelitian lebih lanjut terus dilakukan untuk menemukan metode yang lebih efektif lagi dalam mengurangi pembentukan akrilamida. 

Berbagai potensi masalah keamanan pangan merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh industri kopi. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari seluruh pihak yang terlibat dalam rantai pasok kopi, mulai dari petani hingga konsumen. Penerapan praktik pertanian yang baik, pengendalian proses pengolahan, dan meningkatkan kesadaran semua aktor pada bisnis kopi, sangat diperlukan untuk memastikan keamanan kopi.

Tantangan terkini terkait keamanan pangan kopi
Perkembangan tren konsumsi kopi, terutama kopi cold brew dan kopi siap minum (RTD), menghadirkan tantangan baru dalam menjaga keamanan pangan. Metode produksi yang berbeda dari kopi tradisional ini membawa risiko kontaminasi yang unik dan memerlukan penanganan khusus. Kopi Cold Brew: Risiko Kontaminasi Mikroba. Kopi cold brew, yang dihasilkan dengan merendam biji kopi dalam air dingin, menawarkan profil rasa yang segar namun juga rentan terhadap kontaminasi mikroba. Namun, karena dibuat dengan merendam biji kopi dalam air dingin tanpa melalui proses pemanasan, kopi jenis ini sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri seperti E. coli dan Salmonella. Bakteri ini dapat tumbuh dengan cepat pada suhu rendah yang digunakan dalam pembuatan cold brew.

Untuk menjaga keamanan dan kualitas kopi cold brew, kebersihan adalah kunci. Semua peralatan yang digunakan harus dibersihkan secara menyeluruh, dan air yang digunakan harus dipastikan aman untuk dikonsumsi. Selain itu, biji kopi juga harus disimpan dan ditangani dengan higienis. Setelah proses pembuatan selesai, kopi cold brew harus segera didinginkan dan disimpan pada suhu yang sangat rendah untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Semua orang yang terlibat dalam produksi kopi cold brew harus selalu menjaga kebersihan diri dan mengikuti prosedur keamanan pangan yang baik.

Kopi RTD (Ready-to-Drink Coffee): Risiko Clostridium botulinum
Kasus penarikan produk kopi cold brew “Death Wish” “dan “Snapchilled Coffee” di Amerika Serikat menjadi peringatan nyata bagi produsen minuman kopi RTD, harus lebih memilih dan mengaplikasikan teknologi yang tepat untuk memastikan keamanan produk. Kopi, pada umumnya mempunyai pH > 4,6 sehingga rentan terhadap kontaminasi dan pertumbuhan oleh bakteri berbahaya Clostridium botulinum. Bakteri ini dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi anaerobik dan penyimpanan suhu ruang, jika tingkat keasaman minuman > 4,6. Untuk mencegah terjadinya kasus serupa, industri kopi RTD kemasan perlu menerapkan standar produksi yang sangat ketat, yaitu proses sterilisasi komersial. Proses sterilisasi komersial menggunakan panas harus dilakukan secara cermat untuk memastikan nilai Fo sekurangkurangnya mencapai 3,0 menit, sesuai Persyaratan Pangan Olahan Berasam Rendah Dikemas Hermetis. Selain itu, integritas kemasan juga sangat penting dikendalikan untuk tetap menjaga sterilitas produk setelah proses produksi. 

Penutup
Perubahan iklim, kontaminasi, dan beragam isu sosial lainnya menyadarkan pelaku usaha kopi mengenai pentingnya pendekatan holistik dalam menjaga keamanan pangan dan keberlanjutan. Petani kopi, sebagai ujung tombak produksi, menjadi kunci dalam mengatasi tantangan ini. Dengan mendukung petani kecil melalui pelatihan, akses teknologi, dan dukungan finansial, tidak hanya akan meningkatkan produktivitas mereka, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk rantai pasok yang transparan dan berkelanjutan.

Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak. Mulai dari petani, produsen, pemerintah, hingga konsumen, setiap individu memiliki peran penting. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil antara lain:

  • Membangun sistem ketertelusuran (traceability) pada rantai pasok. Dengan tracebility yang baik, maka keamanan dan mutu kopi dapat dijamin, serta informasi dapat diterima oleh konsumen secara transparan.
  • Menerapkan standar keamanan pangan yang tepat di seluruh tahap produksi, mulai dari pengolahan biji kopi hingga pengemasan, merupakan langkah krusial untuk menjamin keamanan dan mutu kopi.
  • Mempromosikan praktik perkebunan kopi berkelanjutan, misalnya dengan sistem agroforestri, dan teknik pertanian lainnya yang ramah lingkungan, untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup petani.
  • Meningkatkan kesadaran konsumen tentang keamanan dan mutu kopi. Konsumen memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan positif dalam industri kopi. Dengan memilih produk kopi yang bersertifikasi dan mendukung petani kecil, konsumen dapat berkontribusi pada pembangunan rantai pasok yang lebih berkelanjutan.
  • Memperkuat kerja sama multistakeholder. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, organisasi non-profit, dan masyarakat sipil sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan industri kopi yang berkelanjutan.

Dengan komitmen bersama, Indonesia dapat memastikan bahwa kopi tidak hanya menjadi komoditas, tetapi juga menjadi bagian dari solusi untuk masalah global seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan kesehatan masyarakat. 

Artikel Lainnya

  • Okt 04, 2024

    Jual Produk Non-Halal, Jasa Retailer Tetap Wajib Sertifikasi Halal

    Sertifikat halal untuk jasa retailer memberikan persepsi yang beragam di masyarakat. Sebagian memahami bahwa sertifikasi halal jasa retailer oleh LPH bukan berarti seluruh produk yang dijual sudah dipastikan halal. Sebagian lainnya beranggapan bahwa sertifikat halal pada jasa retailer menandakan kehalalan seluruh produk di dalamnya. Hal ini patut menjadi perhatian serius agar salah paham yang ada di masyarakat tidak terus mengakar.  ...

  • Okt 03, 2024

    Inovasi Ingridien Pangan: Tren & TANTANGAN

    Peningkatan populasi global yang pesat, ditambah dengan dampak perubahan iklim seperti gagal panen dan penurunan produktivitas pertanian, telah memicu krisis pangan global yang semakin mendesak.   ...

  • Okt 03, 2024

    ALLPACK Indonesia 2024 Siap Diselenggarakan

    Perkembangan industri pangan di Indonesia terus meningkat dan terus tumbuh di tahun 2024 ini, yang terbukti hingga triwulan pertama tahun 2024, struktur PDB industri non-migas didominasi oleh industri makanan dan minuman sebesar 39,91%, atau 6,47% dari total PDB Nasional. Sejalan dengan itu, industri pengemasan pangan. ...

  • Okt 02, 2024

    FOOMA akan Hadir di ALLPACK 2024

    The Japan Food Machinery Association (FOOMA) akan hadir dalam paviliun khusus di pameran akbar Allpack Indonesia yang akan berlangsung di JIEXpo Kemayoran Jakarta pada 9-12 Oktober 2024. Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan, seingga FOOMA bermaksud menginformasikan daya tarik mesin-mesin produksi pangan dari Jepang.  ...

  • Okt 02, 2024

    Klarifikasi LPPOM Soal Viralnya Penamaan Produk Halal “Wine” dan “Beer”

    Dalam sepekan ini, media sosial ramai memberitakan terkait dengan produk pangan dengan penamaan "tuyul", "tuak", "beer", dan "wine" yang mendapat sertifikat halal. Hal ini tidak sesuai dengan ketetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat disertifikasi Halal. Pada rilis persnya (01/10/2024), BPJPH menegaskan dua hal.   ...