Mengingat sangat pentingnya isu keamanan pangan, FOODREVIEW INDONESIA bekerja sama dengan SEAFAST Center IPB, pada 9 Desember di Hotel Menara Peninsula menyelenggarakan seminar bertajuk Food Safety: Hot Issues.
Hadir sebagai pembicara antara lain Dr. Deddy Saleh (Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI), Drs. Endang Kusnadi, Apt., MKes (Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI), Dr. Nuri Andarwulan (Peneliti SEAFAST Center IPB), Dr. Ratih Dewanti Hariyadi (Peneliti SEAFAST Center IPB), dan Dr. Lilis Nuraida (Peneliti SEAFAST Center IPB).
Deddy Saleh mengungkapkan bahwa dari delapan jenis produk Indomie, sebenarnya hanya tiga jenis yang dipermasalahkan di Taiwan, yakni mi goreng, goreng pedas, dan goreng satay. “Oleh sebab itu, kami meminta pemerintah Taiwan untuk tidak menggeneralisir dengan mempermasalahkan semua produk Indomie,” kata Deddy. Tidak hanya itu, ternyata produk yang tidak memenuhi persyaratan tersebut juga bukan berasal dari importir resmi yang ditunjuk oleh PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP).
Berkenaan dengan hal tersebut, Deddy mengharapkan agar industri dapat memetik pelajaran agar kejadian serupa tidak terulang. “Alangkah lebih baiknya jika kemasan untuk ekspor dibedakan secara nyata,” saran Deddy. Selain itu, peristiwa ini menurut Deddy, juga menunjukkan potensi pasar mi instan yang cukup besar dan belum tergarap dengan baik di Taiwan.
Hikmah penting lainnya adalah agar ke depannya Indonesia bisa lebih memperhatikan notifikasi perdagangan yang diajukan suatu negara ke WTO. “Untuk kasus mi instan ini, sebenarnya Taiwan sudah melakukan notifikasi mengenai peraturannya di WTO. Hanya saja waktu itu Indonesia tidak memberikan perhatian yang serius mengenai hal tersebut,” tambah Deddy.
Hal yang tidak kalah penting lagi jika akan melakukan ekspor adalah perlunya industri pangan untuk mempelajari dan memahami peraturan yang berlaku di setiap negara. “Banyak kasus yang terjadi berkaitan dengan hal tersebut,” ujar Deddy. Dia menyontohkan beberapa kasus yang terjadi pada produk Indonesia, antara lain Food and Environmental Hygiene Department Hongkong yang mempermasalahkan bika ambon yang mengandung asam sorbat; Department of Health aiwan yang mempermasalahkan produk permen yang mengandung pewarna (azorubine, carmoisine) dan pemutih; adanya holding order produk terhadap cassava chips oleh Australian Quarantine and Inspection Service (AQIS) Australia dengan alasan mengandung hydrocyanic acid (HCN); dan lainnya.
Safety assessment of chemicals
Sementara itu,dalam kesempatan yang sama Peneliti SEAFAST Center IPB, Dr. Nuri Andarwulan, mengungkapkan bahwa terdapat prioritas dalam assessment paparan bahan tambahan pangan (BTP). BTP yang mendapat prioritas adalah tingkat penggunaannya yang tinggi, keberadaannya dalam pangan dikonsumsi oleh sebagian besar populasi masyarakat, dan emiliki nilai ADI (Acceptable Daily Intake) yang rendah. Sedangkan, yang tidak tergolong prioritas adalah BTP yang nilai ADI nya tidak dinyatakan (not specified), dan telah diterapkannya GMP (Good Manufacturing Practices) secara optimum.
Nuri menyontohkan, bahwa dari data yang ada sebenarnya asam sitrat merupakan BTP yang paling banyak digunakan di Indonesia. Namun, karena nilai ADI nya tidak dinyatakan, maka tidak menjadi prioritas dalam assessment paparan BTP. Berbeda dengan tartrazin yang memenuhi persyaratan untuk menjadi prioritas.
Penggunaan kriteria mikrobiologi
Bahaya mikrobiologi dalam produk pangan bersifat dinamis. Hal tersebut diungkapkan oleh Peneliti SEAFAST Center IPB, Dr. Ratih ewanti, pada kesempatan yang sama. “Bahkan seringkali emerging pathogen tumbuh dengan cepat, mengalahkan kecepatan untuk mengantisipasinya,” tutur Ratih. Oleh sebab itu, sangat beralasan jika pengujian mikrobiologi menjadi angat penting dalam menjamin keamanan pangan.
Menurut Ratih, pengujian mikrobiologi dilakukan untu memenuhi suatu kriteria mikrobiologi tertentu, yakni kriteria dimana menunjukkan keterimaan suatu lot berdasarkan jumlah mikroorganisme atau ketiadaan mikroorganisme tertentu dari suatu roduk/bahan pangan. “Dalam hal ini ICMSF telah memberikan acuan sampling plan,” ungkap Ratih yang juga Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.
Penerapan Konsep Hurdle
Konsep hurdle merupakan salah satu teknik untuk mencapai kriteria mikrobiologi yang diharapkan. “Pada prinsipnya, konsep hurdle adalah memberikan rintangan pada mikroorganisme supaya tidak tumbuh atau tidak survive,” kata Dr. Lilis Nuraida yang juga Peneliti SEAFAST Center IPB. Dalam metode hurdle digunakan berbagai rintangan untuk tujuan tersebut.
(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Januari 2011)