Selama ini masyarakat Indonesia mengenal ubi jalar sebagai makanan sumber karbohidrat. Pemerintah pun mendorong masyarakat mengonsumsi ubi jalar guna mengurangi ketergantungan pada makanan pokok beras yang harganya makin mahal. Untuk itu mengembangkan pembangunan pertanian berbasis ubi jalar selain sesuai dengan agroklimat di Indonesia, juga memiliki daya ungkit yang amat baik untuk meningkatkan kesejahteraan warga perdesaan karena produktivitas ubi jalar yang tinggi.
Mendorong masyarakatmengonsumsi ubi jalar patut dicatat sebagai bagian dari proses diversifikasi konsumsi pangan. Pemerintah sejak lama mengampanyekan gerakan diversifikasi konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal guna menekan ketergantungan kita pada pangan impor yang kerap menguras devisa negara. Program ini juga memberi dampak positif terhadap kesejahteraan warga karena membuka ruang bagi pelaku agroindustri untuk mengembangkan bisnis pangan berbasis ekonomi kerakyatan. Selain itu program diversifikasi pangan yang indikator pencapaiannya adalah terbentuknya keragaman pola konsumsi pangan masyarakat dan meningkatnya skor Pola Pangan Harapan (PPH) sangat penting artinya untuk mengtrol kualitas sumberdaya manusia Indonesia.
Arah pengembangan
Pengembangan produk olahan ubi jalar ke arah pangan nutrasetikal memiliki alasan yang kuat. Selain produktivitasnya cukup tinggi dibandingkan dengan tanaman padi, ubi jalar mengandung zat gizi yang berpengaruh positif bagi kesehatan karena mengandung serat makanan dan vitamin antioksidan yang handal untuk mencegah stres oksidatif.
Sebuah artikel ilmiah bertajuk Antioxidant Capacity and Antioxidant Content in Roots of 4 Sweetpotato Varieties yang dimuat di Journal of Food Science edisi Juli 2010, menyebutkan ubi jalar sarat dengan kandungan antioksidan β-karoten, asam khlorogenat, dan vitamin C. Meski proses pengolahan dengan menggunakan panas menurunkan kandungan β-karoten dan vitamin C, kandungan asam khlorogenat dan kapasitas antioksidan ubi jalar meningkat.
Penggorengan ubi jalar dapat meningkatkan bioavailability β-karotennya karena minyak berperan sebagai pelarut senyawa tersebut. Di dalam tubuh, β-karoten menjadi lebih mudah diserap. Sekitar sepertiga dari β-karoten yang diserap kemudian diangkut oleh chylomicron, dan sisanya akan diekskresikan.
Ubi jalar memiliki kandungan β-karoten paling tinggi dibanding jenis tanaman padi-padian (serealia) dan umbi-umbian lainnya. Satu porsi, sekitar 200 gram, ubi jalar rebus yang berwarna kuning, mengandung betakaroten sekitar 5400 mikrogram, atau setara dengan 900 retinol ekivalen (RE). Angka tersebut sudah jauh di atas angka kecukupan vitamin A yang dianjurkan, yakni 350-600 RE. Kadar β-karoten ubi jalar dapat diperkirakan dari warnanya, kecuali ubi jalar ungu, semakin kuat intensitas warna kuningnya semakin besar pula kandungan β-karotennya.
Sebagai antioksidan, β-karoten ubi jalar dapat menetralisir keganasan radikal bebas, penyebab penuaan dini dan pencetus aneka penyakit degeneratif seperti kanker dan penyakit jantung. Jadi jika mengonsumsi ubi jalar secara rutin setiap hari dapat meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit degeneratif sekaligus menghaluskan kulit dan menyehatkan mata.
Ubi jalar juga berperan sebagai sumber serat yang dapat menyerap kelebihan kolesterol darah, sehingga kadar kolesterol dalam darah tetap aman dan terkendali. Serat alami oligosakarida yang bersemayam dalam ubi jalar kini menjadi komoditas bernilai jual tinggi sebab digunakan sebagai prebiotik pada produk pangan olahan seperti susu dan makanan bayi. Selain mencegah sembelit, oligosakarida memudahkan buang angin. Kandungan serat yang tak dapat dicerna ini, bermanfaat mengawal keseimbangan flora usus dan merangsang pertumbuhan bakteri yang baik dalam usus kita.
Perubahan gaya hidup masyarakat yang secara umum menunjukkan adanya peningkatan tekanan mental akibat beban kerja yang semakin berat dan minimnya kebiasaan berolah raga telah menurunkan kualitas kesehatan. Kondisi real ini menjadi peluang untuk memasarkan produk pangan fungsional berbasis ubi jalar yang sesuai dengan perkembangan gaya hidup saat ini. Pangan fungsional – pertama kali dimunculkan oleh Stephen De Fellice pada tahun 1989, pendiri Foundation for Inovation in Medicine (FIM) – mengacu pada kelompok senyawa yang terdapat pada bahan pangan yang mampu memberi kebugaran atau mencegah penyakit tertentu.
Satu hal lain yang tak kalah penting adalah melakukan edukasi pada konsumen tentang prospek produk pangan fungsional berbasis ubi jalar. Erat kaitannya dengan promosi, uji preferensi produk dan upaya untuk mempertahankan pola hidup sehat guna mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan.
Tren permintaan konsumen pangan pada 2011 diprediksi akan cenderung memilih makanan yang dapat meningkatkan stamina tubuh. Ini tentu menjadi peluang bagi industri pangan nasional untuk pengembangan pangan fungsional. Perancangan yang tepat dengan memilih bahan baku lokal yang mengandung komponen bioaktif yang mampu menguntungkan kesehatan di luar keuntungan yang diberikan oleh komponen gizi tradisional seperti ubi jalar akan membuka lapangan kerja baru di tengah masyarakat.
(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Januari 2011)