Oleh Eka Ruriani
Department of Agroindustrial Technology
Faculty of Agricultural Technology
University of Jember
Tren kemasan lebih berkelanjutan (eco packaging atau green packaging) saat ini sedang aktif berkembang menawarkan solusi kreatif dan tepat bagi industri kemasan.
Menggunakan bahan yang ramah lingkungan dan mudah didaur ulang, kemasan dapat menjadi salah satu upaya mengurangi kerusakan lingkungan dengan tetap memaksimalkan fungsi primer kemasan yakni melindungi serta menyampaikan informasi kepada konsumen. Model kemasan berkelanjutan dan ramah lingkungan ini juga mengalami perkembangan, tidak hanya 3R (reduce, recycle, reusable), tetapi 4R dengan menambahkan variabel renewable (dapat diperbarui).
Penggunaan kemasan ramah lingkungan untuk produk pangan sudah menjadi sebuah tren internasional. Di Indonesia, perkembangannya berjalan seiring dengan maraknya isu terkait pemanasan global serta pencemaran linkungan. Hal ini kemudian dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan dan mengikuti tren ini agar tidak tersisih dalam persaingan global. Selain itu, penggunaan kemasan ramah lingkungan merupakan suatu keperluan yang harus diterapkan oleh setiap pelaku industri di Indonesia berkaitan dengan bahaya limbah terutama limbah plastik.
Dalam aplikasinya, desain suatu kemasan dapat diklaim “kemasan berkelanjutan” jika memenuhi prinsip keberlanjutan. Artinya, proses dalam mendesain kemasan tersebut harus memerhatikan dampak yang diakibatkan dari penggunaan kemasan tersebut, terutama terhadap lingkungan, baik dari sisi material, proses pembuatan, transportasi, dan disposal akhir saat kemasan dibuang. Secara lebih spesifik, kemasan pangan berkelanjutan perlu memenuhi beberapa karakteristik tertentu yakni:
Pertama, bahan baku kemasan bersifat dapat diperbarui dan atau didaur ulang. Penggunaan bahan baku alami ini dapat dilakukan dengan membuat kemasan biodgradable plastic dari komoditas lokal yang belum termanfaatkan secara optimal. Kedua, bahan kemasan berukuran lebih kecil dan ringan. Selain efisiensi dalam penggunaan bahan baku, berat kemasan yang lebih ringan juga menekan emisi karbon karena berat transportasi berkurang. Ketiga, bahan kemasan harus memenuhi aspek keamanan pangan baik dari sisi material, proses pembuatan, maupun saat penyimpanan dalam kurun waktu tertentu. Artinya bahan kemasan tidak bersifat toksik, menghasilkan toksin saat proses pembuatan, dan tidak menyebabkan terjadinya migrasi plastik yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Active bio-packaging
Pengembangan kemasan berkelanjutan harus mempertimbangkan aspek kualitas, kemampuan biodegradasi, dan keamanan pangan. Secara umum, bahan pengemas berfungsi sebagai barrier atau penghalang perpindahan massa, seperti uap air, gas, zat terlarut dan cahaya; memperpanjang umur simpan dan menjaga keamanan produk (Fasihnia et al., 2017). Seiring dengan perkembangan teknologi, fungsi pengemasan dapat ditingkatkan tidak hanya sebagai barrier yang bersifat pasif dalam memberikan perlindungan terhadap produk yang dikemasnya, akan tetapi juga dapat secara aktif mempertahankan kualitas produk pada saat penyimpanan dan distribusi dalam jangka waktu tertentu.
Salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas fungsi pengemas adalah dengan mengembangkan active packaging (kemasan aktif). Dobrucka dan Cierpiszewski (2014) menjelaskan bahwa kemasan aktif merupakan inkorporasi senyawa aditif tertentu ke dalam film kemasan dengan tujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan umur simpan produk. Dalam sistem kemasan aktif terjadi penambahan atau inkorporasi senyawa aktif dalam pengemas, sehingga terjadi interaksi aktif dari bahan kemasan dengan bahan pangan yang dikemas. Secara umum, teknik pengemasan aktif dapat dibagi dalam sistem penjerap (scavenging/absorbing system), dan sistem pelepas (release system). Dalam sistem penjerap, komponen aktif dalam kemasan mampu menyerap senyawa yang tidak diinginkan hasil dari metabolit produk seperti oksigen, karbondioksida, etilen, kelebihan air, polutan dan beberapa komponen lainnya (Singh et al., 2011).
Sebaliknya, dalam sistem pelepas dengan cara menambahkan bahan tertentu yang secara aktif dapat melepaskan antioksidan, pengawet, karbondioksida atau bahan tambahan pangan ke dalam kemasan atau kebagian head-space kemasan secara aktif. Selain itu, terdapat juga sistem kemasan aktif yang berfungsi sebagai pencegah panas, self-heating cans and containers, self cooling cans and containers, kemasan dalam microwave, film yang sensitif terhadap panas, film yang telah diradiasi sinar ultra violet dan film yang telah dilapisi material tertentu (Prasad et al., 2014).
Matrik utama kemasan aktif dapat berupa biodegradable plastic dari bahan nabati yang dapat diperbaharui dan dapat terdegradasi lebih cepat karena bersifat ramah lingkungan. Bahan utama yang sering digunakan dalam pembuatan plastik biodegradable adalah pati ubi kayu, pati sagu, dan pati jagung. Perbaikan karakteristik fisik maupun fungsional bahan kemasan dapat dilakukan dengan penambahan biopolimer atau bahan lain. Salah satunya dapat dilakukan dengan penambahan kitosan karena mempunyai sifat yang menguntungkan dari sisi hydrophilicity, biocompatibility, degradability, sifat antimikroba,
afinitas besar terhadap enzim, nilai permeabilitas gas yang cukup rendah (Saputro dan Ovita, 2017).
Adapun senyawa aktif yang ditambahkan dapat dikembangkan dari komponen bioaktif alami yang kaya akan antioksidan dan antimikroba, seperti ekstrak bawang putih, kunyit, daun jati, sehingga mampu memberikan fungsi ganda sebagai food ingredient dan pengawet alami. Pemanfaatan ekstrak daun jati dalam pembuatan active packaging perlu menjadi point of view untuk meningkatkan local wisdom, karena selama ini pemanfaatanya belum optimal, sementara nilai fungsionalnya cukup tinggi. Daun jati mengandung karbohidrat, alkaloid, tanin, sterol, saponin, protein, kalsium, fosfor, serat mentah dan juga mengandung pewarna (cokelat kekuningan atau kemerahan). Ekstrak daun jati juga mengandung senyawa antioksidan dan antimikroba dari golongan senyawa flavonoid, saponin, tanin galat, tanin katekat, kuinon, dan steroid/niterpenoid yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Referensi:
Dobrucka, R., dan Cierpiszewski, R. 2014. Active and intelligent packaging food – research and development – A review. Ryszard Cierpiszewski Department of Industrial Products Quality and Ecology. Faculty of Commodity Science. 64(1): 7–15.
Fasihnia, S., Peighambardoust, H., dan Peighambardoust, J. S. 2017. Nanocomposite films containing organoclay nanoparticles as an antimicrobial (active) packaging for potential food application. J of Food Proc and Pres.1- 10
Prasad, S., Gupta, S., Tyagi, A., and Aggarwal, B. 2014. Curcumin, a component of golden spice: From bedside to bench and back. J Biot. Adv. 32: 1053-1064.
Saputro, A.N.C., dan Ovita, A.L. 2017. Synthesis and characterization of bioplastic from chitosan-ganyong starch (Canna edulis). J Kim dan Pend Kim). 2(1): 13-21
Singh, P., Wani, A.A., dan Saengerlaub, S. 2011. Active packaging of food products: recent trends. J Nutr and Food Seci. 41(4): 249-260