Oleh Eka Ruriani
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknlogi Pertanian Universitas Jember
Berdasarkan hasil penelitian Danaraeksa Research Institute pada tahun 2023, konsumsi kemasan plastik di Indonesia jauh di atas rata-rata dunia, mencapai 31,26%. Tingginya penggunaan plastik ini menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi pada permasalahan lingkungan.
Di Indonesia, sampah plastik menyumbang 18% dari total sampah, menempati posisi kedua setelah sampah makanan dan minuman yang mencapai 41%. Sebagian besar plastik tersebut berasal dari polimer sintetik pengolahan minyak bumi. Plastik jenis ini tidak dapat diurai dengan mudah oleh alam dalam waktu yang singkat, sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran tanah. Perhatian terhadap ekologi mendorong usaha untuk menemukan material alami dan kompatibel. Isu biodegradable dan keamanan lingkungan menjadi sangat penting. Dalam beberapa tahun terakhir ini pengembangan material biodegradable yang berasal dari bahan terbarukan (renewable resources) cukup meningkat.
Pengembangan bahan pengemas biodegradable dilakukan dengan memanfaatkan biopolimer atau polimer yang berasal dari alam. Penggunaan bahan matrik ramah lingkungan berupa polimer alami dapat menggantikan matrik yang berasal dari derivat minyak bumi. Hal ini menjadi peluang penggunaan bahan pertanian seperti selulosa, pati ataupun turunan dari karbohidrat seperti poli lactic acid (PLA), protein, enzim, kitin, karet dan DNA untuk menghasilkan komposit yang dapat didaur ulang. Biopolimer mempunyai potensi komersil untuk digunakan sebagai bioplastic dan edible film, tetapi beberapa sifat-sifat dari bahan ini seperti kerapuhan, permeabilitas yang tinggi serta viscositas melting yang rendah membatasi penggunaan bahan ini secara luas. Oleh karena itu perlu ditingkatkan sifat-sifat tersebut dengan cara memodifikasi polimer dengan inkorporasi partikel nano di dalam matrik polimer tersebut.
Nanokomposit berbahan baku polimer alami (bio-nanokomposit) mempunyai potensi dikembangkan sebagai bahan pengemas makanan karena mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan bahan pengemas makanan konvensional. Bio-nanokomposit memiliki sifatsifat mekanik dan barier yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan biopolimer murninya. Bahan ini bersifat biodegradabel dan diproduksi dari dari sumber yang dapat diperbaharui, sehingga bersifat ramah lingkungan. Selain itu, sifat bahan kemasan yang dihasilkan juga lebih baik dibandingkan kemasan konvensiona dalam hal mechanical strength, tensile strenth, dan thermal stability. Karakteristik bionanokomposit menunjukkan peningkatan sifat mekanik, kestabilan thermal dengan penambahan sejumlah kecil bahan pengisi berukuran nano (<10%). Hasil penelitian Warsiki et al. (2020) menunjukkan bahwa penambahan 4% nanosilika sekam padi pada komposit bioplastik pati kulit singkong berhasil meningkatkan ketebalan 20%-55% dan kuat tarik 6% sampai 100%. Bio-nanokomposit juga mempunyai kelebihan yaitu transparency, density, good flow, surface properties, dan recyclability. Hal terpenting adalah polimer nanokomposit mempunyai surface erosion lebih besar, sehingga proses biodegradasi lebih cepat dan hasil degradasi bersifat non toksik seperti gas CO2dan H2O (eco-friendly).
Potensi pati sebagai kemasan nanokomposit
Bio-nanokomposit merupakan gabungan dari sifat dua fasa atau lebih dari polimer alami yang berskala nanometer. Puiggali et al. (2017) menjelaskan bahwa nanokomposit merupakan polimer yang telah diinkorporasi dengan material berukuran nano sebagai filler. Beberapa filler tersebut dapat berupa nano composit clay, nano partikel silika (SiO2), carbon nanotubes, graphene, pati nanokristal, nanofiber berbasis selulosa atau nanowhiskers, atau nanopartikel kitin kitosan. Polimer alami dalam bionanokomposit berperan sebagai matrik dan fase organik/anorganik sebagai bahan pengisi (filler) atau penguat (reinforcement agent). Pada prinsipnya, nanokomposit dapat dikembangkan melalui 3 teknik pembuatan yaitu: solution technique, in-situ polymerisation, dan melt compounding.
Polimer yang dipergunakan sebagai matrik adalah biopolimer yang mempunyai sifat biodegradabel, sumber yang dapat diperbaharui, relatif murah harganya serta ketersediaan yang melimpah dialam. Penggunaan biopolimer secara alami mempunyai kelemahan dalam sifat-sifat mekanik dan barriernya. Beberapa kelemahan sifat polimer alam (biobased) seperti kerapuhan, permeabilitas yang tinggi serta viscositas melting yang rendah. Inkorporasi partikel nano didalam polimer dapat meningkatkan kekuatan bahan, sehingga berpotensi dipergunakan sebagai bahan pengemas disamping sifat yang biodegradable.
Pati salah satu polimer alami sangat melimpah ketersediaanya, murah, mudah diproses, dan mempunyai karaktersitik fisikokimia yang dapat dimanfaatkan secara luas. Pati yang dapat diperoleh ubi kayu, sagu, kentang, jagung, dan umbi-umbian lainnya telah dipergunakan sebagai matriks dalam pembuatan nanokomposit. Akan tetapi, pati alami memiliki beberapa kelemahan sebagai bahan komposit, yaitu kekuatan mekanik dan stabilitas termal rendah, hidrofilik, tidak kompatibel dengan polimer hidrofobik, mudah dipengaruhi factor lingkungan eksternal dan mudah terdegradasi, sehingga perlu dilakukan modifikasi pati untuk memperbaiki karakteristiknya. Pati dapat dimodifikasi menjadi nanopartikel atau dimodifikasi secara fisik (penggilingan, pencampuran dengan polimer lain, ekstrusi, pemlastis) dan kimia (substitusi, graftkopolimerisasi, ikatan silang, oksidasi, eterifikasi, esterifikasi, dual modifikasi) (Zarski et al., 2021).
Selain itu, pati juga dapat diinkorporasi dengan nanopartikel/ nanokristal berbasis pati atau nano polimer lain untuk mendapatkan sifat yang diinginkan dan menghasilkan nanokomposit yang bersifat green sustainable. Beberapa nanopolimer yang dapat disisipkan antara lain nanoclay (montmorillonites/MMTs), halloysites nanotubes (HNTs), carbon nanotubes (CNTs), nanofibers dan nanowhiskers dari selulosa/kitin, dan logam atau logam oksida seperti TiO2,NPs, ZnO NPs (Madhumitha et al. 2018). Penambahan nanofiller dan aditif dengan sifat antioksidan dan antimikroba juga dapat meningkatkan atau mempengaruhi biodegradasi nanokomposit berbasis pati, sehingga dapat dipastikan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Aplikasi starch-based nanokomposit sebagai kemasan pangan
Film nanokomposit berbasis pati merupakan salah satu pengembangan material yang menggunakan teknologi nano dan bahan polimer untuk memenuhi kebutuhan material pengemasan serta menjadi solusi permasalahan lingkungan. Madhumita et al. (2018) melaporkan bahwa nanokomposit berbasis starch-clay sangat berpotensi sebagai bahan yang bersifat green sustainable. Pada pembuatan film nanocomposit pati/clay bahan penyusun yang digunakan terdiri atas pati sebagai matriks polimer, clay sebagai bahan pengisi, dan bahan pemlastis.
Clay berpotensi sebagai pengisi yang merupakan mineral alami yang melimpah bebas racun dan dapat digunakan sebagai salah satu komponen untuk makanan, medis, kosmetik dan kesehatan, sehingga aman untuk dikembangkan sebagai pengemas. Nanoclay secara alami merupakan aluminium silikat yang terdiri dari mineral halus/berbutir dan struktur alami geometri berupa lembaran. Silikat dapat berupa mineral lempung alam seperti montmorillonite, hektorit, saponite fluorohactorite, laponite atau magatiide. Montmorillonite (MMT) paling prospektif digunakan sebagai nanofiller dalam penyusunan nanocomposites. Penggunaan jenis clay cloisite Na (MMT), cloisite 30B (30B-MMT) dan modified clay (CMMT) berpengaruh terhadap sifat mekanik film yang dihasilkan. Tipe clay 30B-MMT menghasilkan Modulus Young dan galeri spasi lebih rendah dibandingkan dengan MMT dan CMMT. Nanofiller juga berperan penting dalam meningkatkan kekuatan mekanik, stabilitas termal, sifat barrier, dan berkontribusi terhadap filler loading, ukuran dan bentuk, dan afinitas terhadap bahan matriks.
Pembuatan film nanokomposit pati/ clay dapat dilakukan dengan mengacu pada mekanisme interaksi antara polimer dan clay yang dipengaruhi oleh polaritas, berat molekul, hidrofilik, grup reaktif polimer dan tipe pelarut seperti air, larutan polar atau nonpolar serta tipe clay sebagai bahan pengisi. Pada prinsipnya terdapat perbedaan tipe polimer clay nanocomposit yaitu in situ polimerisaasi, interkalasi polimer dalam pelarut, polimerisasi emulsi dengan adanya silikat dan dispersi nanoclay dalam polimer. Adanya gugus hidroksil dalam pati mengakibatkan pati bersifat hidrofilik, sehingga yang dihasilkan sensitif terhadap kelembaban lingkungan. Kekurangan sifat native starch dapat ditingkatkan dengan plastisasi pati. Sifat pati yang diplastisasi dapat diatur dengan merubah temperatur proses, kandungan air, jumlah pemlastis dan jenis clay.
Metode preparasi film nanokomposit starch/clay berpengaruh terhadap sifat sifat fisik dari film yang dihasilkan. Nanocomposit starch/clay yang disiapkan dengan kombinasi mekanik dan ultrasonik menghasilkan lapisan clay yang terdispersi paling baik dalam polimer matriks jika dibandingkan dengan hanya mekanik atau ultrasonik saja. Adapun kandungan gliserol memberikan pengaruh terhadap derajat interkalasi/exfoliasi film. Penurunan jumlah gliserol dari 20% menjadi 5% meningkatkan derajat exfoliasi clay, sedangkan penambahan konsentrasi gliserol 10% atau 15% membentuk morfologi interkalasi.
Referensi
Danareksa Research Institute. 2023. Tren produksi dan konsumsi plastic di Indonesia. https://www.danareksa. co.id/storage/2023/other/641444d08d734.pdf.
Madhumitha G, Fowsiya J, Mohana Roopan S, Thakur VK. 2018. Recent Advances in Starch–Clay Nanocomposites. Int. J. Polym. Anal. Charact. 23: 331–345.
Puiggalí J, Katsarava R. 2017. Chapter 7— Bionanocomposites. In Clay-Polymer Nanocomposites. Jlassi K, Chehimi MM, Thomas S, Eds. Elsevier: Amsterdam: The Netherlands: 239–272.
Warsiki E, Setiawan I, Hoerudin. 2020. Sintesa komposit bioplastik pati kulit singkong- partikel nanosilika dan karakterisasinya. J Kimia dan Kemasan. 42(2): 37-45
Zarski A, Bajer K, Kapu´sniak J. 2021. Review of the most important methods of improving the processing properties of starch toward non-food applications. Polymers. 13: 832