Bila dicermati tayangan komersial televisi beberapa waktu ini, ditemukan satu iklan kecap yang mengklaim bahwa penambahan kecap tersebut akan memperbaiki tekstur dari masakan, tentu banyak yang bertanya-tanya apa itu bisa? Kemungkinan yang dimaksud di sini bukanlah mengeraskan, melunakkan, membuat liat atau membuat renyah tetapi lebih pada satu lagi karakteristik tekstur yang melekat erat pada atribut flavor yang dikenal dengan terminologi mouthfeel.
Seperti dilaporkan oleh Stokes et al (2013) bahwa mouthfeel yang diperoleh pada saat suatu pangan yang dikonsumsi merupakan faktor yang kritikal pada pemilihan dan penerimaan oleh konsumen. Pemanfaatan atribut mouthfeel dalam pengembangan produk pangan, terutama produk pangan fungsional menjadi tren baru dewasa ini. Banyak produk pangan komersial yang dikembangkan saat ini fokus pada modifikasi karakteristik mouthfeel yang dimiliki seperti halnya “yoghurt fufu” yang memodifikasi fisik yoghurt ke dalam bentuk “busa” (foam) sehingga produk yoghurt Jepang ini memberi sensasi sensori yang berbeda dari produk orisinilnya; atau juga yoghurt yang sengaja dibuat dengan kesan sangat creamy untuk menjaring konsumen yang menginginkan yoghurt dengan mouthfeel sangat lembut.
Hanya saja seperti dilaporkan oleh Ginard dan Mazzucchlelli (1996), terbatasnya pemahaman tentang fisiologis persepsi mouthfeel dan kesukaan konsumen akan karakteristik “taktil” (tactile) dan “kinestetik” (kinesthetic) dari produk memang membuat inovasi formulasi produk yang memiliki spesifikasi mouthfeel tertentu menjadi bagian yang paling sulit dalam pengembangan produk di industri pangan. Namun tetap tak dapat dipungkiri bahwa peluang diversifikasi produk dengan tambahan sentuhan dimensi flavor yang satu ini akan membentang peluang kreatifitas pengembangan produk sangat luas sehingga sangat menggiurkan dan tak mungkin dihindarkan untuk tidak mengenal dan mempelajari mouthfeel ini lebih jauh.
Apakah itu mouthfeel?
Contoh termudah bagi orang Indonesia untuk memahami tentang mouthfeel adalah perbedaan antara es puter dan es krim. Banyak di antara kita pasti telah merasakan perbedaan kesan mouthfeel kedua produk tersebut. Keunggulan mouthfeel pada es krim membuat produk ini lebih banyak penggemar dibanding produk-produk sejenis seperti gelato, sherbet dan lain-lain.
Ada beberapa versi dalam mendefinisikan mouthfeel. Menurut Langstaff dan Lewis (1993), mouthfeel didefinisikan sebagai atribut tekstur dari suatu makanan atau minuman yang bertanggung jawab untuk diperolehnya karakteristik sensasi taktil pada permukaan mukosa mulut. Sedangkan Thomas Barnes (2013) mendefinisikan mouthfeel sebagai karakter taktil dari suatu makanan atau minuman yang dapat dirasakan di dalam mulut dan mampu menstimulasi saraf-saraf sensori pada mulut dan lidah selain “pupil pencecap” (taste buds). Oleh karenanya, tanpa lidah pun sensasi mouthfeel tetap dapat dirasakan. Dengan kata lain mouthfeel tidak menyertakan sensasi flavor dari atribut rasa seperti pahit, asin, asam atau manis, walau beberapa karakter sensasi rasa ini dapat berpengaruh pada mouthfeel sebagai sensasi taktil. Prof. C. Hanny Wijaya
Lebih lengkap mengenai artikel ini, dapat dibaca di majalah FOODREVIEW INDONESIA edisi Maret 2014 atau klik di sini