Perkembangan bisnis bakery di Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Baik usaha kecil, menengah maupun besar. Baik dalam bentuk industri maupun boutique bakery. Demikian pula industri pendukungnya, seperti mesin-mesin, bahan penunjang dan bahan baku seperti terigu. Hal tersebut diungkapkan oleh Operation Director PT Nippon Indosari Corpindo, Yusuf Hady. Dia memperkirakan pertumbuhan bisnis bakery antara 7-10% setiap tahunnya. “Diprediksi bisnis bakery (roti dan kue) bernilai sekitar Rp. 14 trilliun” . Kedepannya pertumbuhan bisnis bakery sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan per kapita bangsa dan infrastruktur. Jika meningkat, industri roti akan lebih memiliki prospek cerah dan efisien.
Menurut Yusuf, prospek ke depan tetap menjanjikan, karena roti termasuk makanan yang praktis, tidak membutuhkan proses memasak di rumah (ready to eat), sehingga ibu bisa memberikan sarapan keluarganya di pagi hari. “Lagi pula roti merupakan makanan yang cukup bagus, karena mempunyai keseimbangan dalam nilai gizi. Selain karbohidrat, terkandung pula protein. Apalagi jika mengonsumsi roti tawar, bisa dibuat sandwich dengan isian telur, daging, dan lainnya,” tambah Yusuf.
Mengingat semakin pentingnya peranan bakery, terutama roti dalam asupan gizi masyarakat. Kini banyak industri bakery yang berusaha meningkatkan kandungan gizi produknya. Perkembangannya produk roti kini fokus kepada kesehatan, seperti penambahan vitamin, mineral (kalsium), omega, dietary fiber, dan lainnya.
Fluktuasi terjadi lebih karena faktor harga. Hal ini lebih karena nilai tukar. “Nah dengan nilai tukar 1 USD sebesar Rp 8500, maka harga gandum atau terigu menjadi lebih baik,” tutur Yusuf. Untuk menghadapi hal tersebut, Yusuf mengemukakan bahwa Industri harus bisa melakukan operasional secara efisien. Low cost sangat penting bagi industri untuk bisa membuat produk dengan harga yang bersaing.
Hal senada juga diungkapkan oleh Operational Director PT Sriboga Raturaya, Eddy Mulyadi. Pada 2011 ini harga gandum relatif stabil. “Paling fluktuatif pada 2008 lalu, karena gagal panen dan perebutan lahan antara fuel dan food,” kata Eddy.
Survei menunjukkan, bahwa konsumsi tepung terigu di Indonesia mencapai 18 kg/kapita/ tahun. “Dan setiap tahunnya meningkat 5-10%”, tutur Eddy. Mi merupakan pengguna tepung terigu terbesar, terutama mi kering, mi instan, dan mi basah -yakni sebesar 50%. Kemudian diikuti oleh kategori bakery dan biskuit. Sementara itu, jenis tepung terigu yang digunakan di Indonesia sebagian besar dengan kandungan protein
(FOODREVIEW INDONESIA Edisi Juli 2011)

