
DPR telah mengesahkan undang-undang pangan yang baru, yakni UU Pangan No. 18 tahun 2012. Pasal 2 dalam undang-undang pangan ini menyebutkan prinsip atau asas penyelenggaraan pangan di Indonesia harus berdasarkan kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, berkelanjutan, dan keadilan. Secara keseluruhan undang-undang pangan ini memaparkan tujuan utama negara adalah untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap sumber-sumber pangan dari luar.
Hal-hal tersebut menjadi bahasan dalam acara “The Food Law 2012: Economic Cost Benefit Analysis and Other Consideration di Hotel Borobudur, Jakarta (20/3). Acara yang membahas implementasi UU Pangan No. 18, Tahun 2012 ini di gagas oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, didukung oleh USAID-SEADI (United State Agency International Development – Support From Economic Analysis Development in Indonesia).
Menurut Achmad Suryana, Kepala Badan Ketahaan Pangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, filosofi UU Pangan No. 18/2012 menitikberatkan pada dua hal yakni kedaulatan pangan dan kemandirian pangan. “Dua poin ini harus dipandang sebagai keputusan, pendirian politik, ketetapan dan kebijakan Negara. Kebijakan ini nantinya digunakan secara optimal untuk meningkatkan produktivitas dan produksi pangan (pertanian, peternakan, juga perikanan), dan memperkuat cadangan pangan nasional. Kebijakan ini juga diharapkan dapat mendukung petani kecil untuk siap menjadi pemasok yang berkualitas, “ jelas Achmad.
Mewakili lembaga parlemen Indonesia, DR. Ir. H SIswono Yudi Husodo, Anggota Komisi IV DPR RI menjelaskan bahwa arah kebijakan UU Pangan No. 18/2012 ini adalah agar tercapai kondisi kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Latar belakang perumusan undang-undang ini menurut Siswono ada beberapa hal, yakni karena persentase impor terhadap kebutuhan sosial yang makin meningkat, karena itu diangkat poin ‘self-suffiency’; neraca perdagangan Indonesia yang defisit; konsumsi protein per kapita yang masih rendah; dan harga pangan yang terus naik.
Pendekatan atau langkah-langkah yang digunakan untuk mencapai tujuan yang disebutkan dalam UU Pangan No. 18/2012 akan memiliki dampak besar pada pasar makanan Indonesia. Misalnya, menempatkan swasembada pangan sebagai tujuan utama dalam UU Pangan, kemungkinan akan menghasilkan serangkaian kebijakan pangan yang bergeser jauh dari keterbukaan perdagangan pangan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal yang berkaitan dengan ekspor makanan (Pasal 34) dan impor pangan (pasal 36). Dalam Pasal 36 disebutkan bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Pasal ekspor-impor (Pasal 34-40) menyiratkan bahwa ekspor dan impor hanya dapat dilakukan setelah tercapainya keseimbangan pangan (surplus dan defisit). Sedangkan data untuk mendukung keseimbangan pangan (seperti misalnya daging sapi) jauh dari akurat. Ita