Cocoa Butter Alternatives dari Biji Rambutan



Oleh Noor Ariefandie Febrianto 
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 

Anomali lonjakan harga kakao dunia selama tiga bulan terakhir menunjukkan tingginya ketergantungan industri konfeksioneri berbasis cokelat terhadap pasokan biji kakao (Theobroma cacao L.). 

Sampai saat ini, bahan baku produk konfeksioneri berbasis cokelat dalam skala komersial hanya mampu disuplai oleh komoditas T. cacao. Walaupun upaya pemanfaatan spesies Theobroma lain seperti T. grandiflorum (cupuassu), T. bicolor (macambo), dan T. subincanum (macambilo) sudah mulai dilakukan, keterbatasan produksinya masih belum mampu untuk menggantikan T. cacao sebagai bahan baku utama produk cokelat.

Produk cokelat umumnya disukai karena karakteristik sensorinya yang meliputi aroma/flavor dan teksturnya. Aroma dan flavor pada produk cokelat didapatkan dari biji kakao yang terfermentasi dengan baik untuk menghasilkan prekursor aroma kemudian disangrai sehingga memicu adanya reaksi Maillard non-enzymatic browning. Tekstur pada produk cokelat couverture biasanya didapatkan dari lemak kakao yang mampu memberikan penampakan produk cokelat yang glossy, snap (mudah dipatahkan) dan meleleh di mulut. Namun, penggunaan lemak kakao sebagai matriks utama produk cokelat berkonsekuensi pada meningkatnya biaya produksi dan tingginya harga jual produk cokelat couverture. 

Upaya untuk menggantikan penggunaan lemak kakao secara parsial ataupun seluruhnya sudah banyak dilakukan dengan menggunakan cocoa butter alternatives (CBA). Selain dapat menekan biaya produksi produk cokelat, penggunaan CBA juga memperbaiki konsistensi produk cokelat pada kondisi penyimpanan yang ekstrem (misal ekstrem panas). Berdasarkan kemiripan komposisi kimia dan sifat fisiknya, CBA dapat dibedakan menjadi Cocoa Butter Equivalent (CBE), Cocoa Butter Replacer (CBR), dan Cocoa Butter Substitutes (CBS). Saat ini, sumber CBA masih terbatas pada minyak/lemak komersial seperti minyak sawit, lemak tengkawang (illipe butter), shea butter, kokum fat, sal fat, minyak terhidrogenasi, minyak kedelai, rapeseed oil, minyak kelapa dan minyak komersial lain. Salah satu sumber minyak/lemak CBA yang potensial adalah lemak biji rambutan yang didapatkan dari hasil samping pengolahan buah rambutan.

Lemak biji rambutan

Lemak biji rambutan dapat diekstrak dari biji rambutan yang telah dikeringkan. Hasil kajian SoilisFuentes et al. (2010) dan Chai et al. (2018) menunjukkan bahwa lemak biji rambutan berwujud padat pada suhu ruang dengan komposisi asam lemak yang didominasi oleh asam oleat (C18:1, 40.3%) dan asam arakidat (C20:0, 34.5%). Asam lemak lain yang terdapat di lemak biji rambutan antara lain asam palmitat (C16:0, 6.1%), asam stearat (C18:0, 7.1%), asam gondoat (C20:1, 6.3%) dan asam behenat (C22:0, 2.9%). Secara komposisi kimia, lemak ini dapat dimasukkan dalam golongan CBR dikarenakan komposisi asam lemaknya yang cukup berbeda dari lemak kakao. Dari karakteristik fisik, lemak ini mempunyai sifat leleh yang juga berbeda dengan lemak kakao. Dalam kondisi nontempered, lemak biji rambutan memiliki tiga titik leleh utama yaitu pada suhu 24,3; 31,2; dan 45,9 °C. Lemak kakao non-tempered mempunyai titik leleh utama pada kisaran 21-23 °C. Perbedaan ini menyebabkan lemak biji rambutan non-tempered mempunyai tekstur lebih keras dan rentang leleh yang lebih luas (sulit meleleh dengan cepat) dibandingkan dengan lemak kakao. Lemak kakao dapat meleleh dengan cepat sehingga memberikan kesan meleleh di mulut karena mempunyai kisaran temperatur titik leleh yang sempit.

Lemak kakao yang telah di-tempering secara sempurna mempunyai kurva leleh yang tajam pada suhu 34-38 °C. Hal ini menyebabkan lemak kakao dapat leleh dengan cepat pada suhu tubuh segera setelah dikonsumsi. Karakteristik ini juga memberikan kemampuan pelepasan flavor dan daya oles yang tinggi pada lemak kakao. Apabila diaplikasikan pada produk cokelat, aroma cokelat dapat terlepas secara optimum ketika dikonsumsi. Kajian sebelumnya oleh Febrianto et al. (2014) menunjukkan bahwa pencampuran lemak kakao dengan lemak biji rambutan dapat menurunkan titik leleh lemak kakao. Pencampuran dengan proporsi 10% lemak biji rambutan mampu menghasilkan lemak dengan titik leleh yang relatif tajam dan sempit pada suhu 30-32 °C. Lemak ini cukup ideal untuk diaplikasikan pada produk cokelat terutama pada negaranegara sub-tropis yang bersuhu dingin untuk memberikan produk cokelat yang dapat meleleh dengan cepat ketika dikonsumsi.

Nilai tambah lemak biji rambutan 
Dibandingkan dengan CBA dari sumber lain, lemak biji rambutan memiliki beberapa keunggulan yang membuat lemak ini semakin menarik untuk digunakan, antara lain:

  1. Dapat menghasilkan aroma/ flavor seperti biji kakao
    Secara morfologis, buah rambutan memiliki kemiripan dengan buah kakao. Biji rambutan diselimuti oleh pulpa atau daging buah yang kaya akan gula seperti halnya biji kakao. Hasil kajian Febrianto et al. (2016) dan Chai (2018) menunjukkan bahwa biji rambutan yang didapatkan sebagai limbah pengalengan buah (fruit-canning), yang masih memiliki sedikit daging buah yang menyelimuti biji, dapat difermentasi seperti halnya biji kakao. Proses fermentasi ini mampu menghasilkan biji rambutan dengan aroma/ flavor yang mirip dengan biji kakao terfermentasi. Lemak yang diekstrak dari biji rambutan yang telah difermentasi selama 6-9 hari dan disangrai mempunyai kandungan aroma seperti pirazine dan aldehida yang juga berperan penting dalam membentuk aroma cokelat. Penggunaan lemak biji rambutan ini dapat memberikan sensasi cita rasa cokelat meskipun tidak menggunakan bahan yang berasal dari biji kakao.
  2. Kuantitas besar.
    Produksi rambutan di Indonesia berada pada kisaran 840.920 ton pada tahun 2022 (DataIndonesia.id). Dengan proporsi biji rambutan sebesar 5-7% dari total berat buah, diperkirakan terdapat minimal 42.000 ton limbah biji rambutan yang diproduksi per tahun. Jumlah ini cukup besar mengingat bahwa pemanfaatan biji rambutan di Indonesia masih sangat minim. Pemanfaatan limbah tersebut sebagai sumber bahan baku CBA tentunya dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan nilai tambah biji rambutan. 
  3. Minim proses kimiawi.
    Lemak biji rambutan secara alami berbentuk padat dan dapat diekstrak secara fisik menggunakan expeller atau pengempa hidrolis. Berbeda dengan trigliserida lain yang berbentuk cair pada suhu ruang (minyak), lemak biji rambutan tidak memerlukan adanya proses hidrogenasi, fraksinasi maupun inter-esterifikasi untuk mendapatkan tesktur yang padat. Minimnya penggunaan bahan kimia dalam pembuatan CBA berbasis lemak biji rambutan tentunya merupakan salah satu keunggulan ditengah tingginya permintaan konsumen terhadap less-processed product. 

Tantangan pengembangan CBA berbasis lemak biji rambutan
Walaupun secara umum lemak biji rambutan memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai bahan baku produk konfeksioneri, aplikasinya pada produk pangan sampai saat ini masih sangat terbatas. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  1. Distribusi bahan baku yang belum tersentral. 
    Rambutan merupakan komoditas pertanian yang sampai saat ini masih minim intervensi industri di Indonesia. Hal ini juga didukung oleh budaya masyarakat yang masih lebih menyukai konsumsi buah segar dan cenderung menghindari produk buah kalengan/awetan. Pola konsumsi ini menyebabkan limbah rambutan terdistribusi ke level rumah tangga sehingga sangat sulit untuk dikumpulkan dan dikelola secara tersentral. Adanya pengolahan rambutan yang tersentral seperti industri pengalengan buah akan sangat membantu mempermudah penanganan bahan baku biji rambutan.
  2. Proses produksi perlu dioptimalkan
    Sebagai limbah yang belum teroptimalkan, eksplorasi teknologi pemanfaatan biji rambutan tentunya masih sangat terbatas. Perlu kajian mendalam dalam pengembangan metode produksi lemak biji rambutan disesuaikan dengan karakter genotipe dan fisikokimianya. Kajian perlu difokuskan pada komposisi asam lemak dan trigliserida biji rambutan untuk mengetahui karakter dari lemak yang dihasilkan. Selain itu, kajian terhadap daging buah sebagai media fermentasi dan aktivitas enzimatis pada biji rambutan perlu dilakukan untuk mengoptimalkan proses fermentasinya. Fermentasi yang optimal akan diharapkan mampu menghasilkan aroma/flavor cokelat dan karakter lemak yang optimal.
  3. Tidak umum dikonsumsi. 
    Biji rambutan tidak umum dikonsumsi dikarenakan mengandung komponen anti-gizi seperti saponin, alkaloid, tannin, phytate dan oksalat yang cukup tinggi. Walaupun demikian, bukan berarti biji rambutan tidak bisa digunakan sebagai bahan pangan. Proses perebusan dan penyangraian ditengarai mampu mendegradasi komponen-komponen antigizi tersebut. Namun, dalam konteks lemak biji rambutan yang didominasi oleh asam lemak jenuh berantai panjang, kajian mengenai aspek toksisitas dan efek konsumsi jangka panjang perlu dilakukan segera. Asupan asam lemak jenuh rantai panjang diasosiasikan dengan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular.

Upaya eksplorasi bahan baku alternatif CBA perlu terus-menerus dilakukan demi keberlangsungan pasokan produk konfeksioneri. Hasil samping industri pertanian seperti biji rambutan terbukti memiliki potensi untuk digunakan sebagai sumber CBA. Kemampuan biji rambutan untuk dapat menghasilkan aroma/flavor seperti biji kakao merupakan keunggulan utama komoditas ini yang belum bisa didapatkan dari sumber CBA yang ada saat ini. Tentunya, tantangan-tantangan dan kendala pemanfaatan komoditas yang ada perlu segera diselesaikan untuk mengoptimalkan nilai tambah biji rambutan sebagai alternatif pengganti biji kakao.

Referensi:
J.A. Solís-Fuentes, G. Camey-Ortíz, M. del R. Hernández-Medel, F. Pérez-Mendoza, C. Duránde-Bazúa. Composition, phase behavior and thermal stability of natural edible fat from rambutan (Nephelium lappaceum L.) seed. Bioresource Technology, 101 (2) (2010), pp. 799-803
K.F. Chai, N.M. Adzahan, R. Karim, Y. Rukayadi, H.M. Ghazali. Characteristics of fat, and saponin and tannin contents of 11 varieties of rambutan (Nephelium lappaceum L.) seed. International Journal of Food Properties, 21 (1) (2018), pp. 1091-1106
N.A. Febrianto, T.A. Yang, N.W. Wan Abdullah. Cocoalike flavor compound development of rambutan seed fat as the effect of fermentation and roasting. International Food Research Journal, 23 (5) (2016), pp. 2166-2174
N.A. Febrianto, U. Issara, T.A. Yang, N.W. Wan Abdullah. Thermal behavior, microstructure, and texture properties of fermented-roasted rambutan seed fat and cocoa butter mixtures. Pelita Perkebunan, 30 (1) (2014), pp. 65-79
 

Artikel Lainnya

  • Des 03, 2024

    Autentifikasi Pangan: Jaminan Keamanan, Mutu & Keaslian Selama masa simpan

    ...

  • Nov 28, 2024

    Time Horizon dalam S&OP

    Panjang waktu (time horizon) yang dilibatkan dalam proyeksi permintaan dan pasokan dalam siklus Sales and Operations Planning (S&OP) dapat bervariasi tergantung pada sifat industri, karakteristik produk, dan kebijakan perusahaan. ...

  • Nov 27, 2024

    PENDUGAAN Masa Simpan Produk Pangan

    Kerusakan pangan merupakan kondisi di mana suatu produk pangan mengalami perubahan yang signifikan sehingga tidak lagi aman atau layak untuk dikonsumsi. Hal ini dapat berupa perubahan penampilan, tekstur, aroma, rasa maupun nilai gizi. ...

  • Nov 26, 2024

    Label Pangan: Jendela Informasi bagi Konsumen

    Label pada kemasan pangan olahan yang kita temui di warung, toko, pasar, atau platform online, memiliki peran penting. Label ini, yang bisa berupa stiker, cetakan langsung pada kemasan, atau bagian dari kemasan itu sendiri, berfungsi memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen. Informasi tersebut meliputi nama produk, komposisi bahan, tanggal produksi, tanggal kedaluwarsa, serta keterangan lainnya yang dibutuhkan. Konsumen berhak mengetahui sejelasjelasnya kondisi produk pangan yang dikemas sehingga memberikan rasa aman saat membeli dan/atau mengonsumsi pangan olahan. ...

  • Nov 25, 2024

    Standardisasi Kemasan Pintar (Smart Packaging )

    Kemasan pangan telah berevolusi menjadi elemen penting dalam strategi pemasaran produk pangan. Desain kemasan yang menarik dan informasi yang jelas pada label secara signifikan memengaruhi keputusan konsumen dalam memilih dan membeli produk pangan.   ...